tag:blogger.com,1999:blog-49427252090722402342023-06-20T06:44:05.482-07:00Puspoxs Widi“Ilahi, aku ingin dekat dengan-Mu.”
“Ilahi, aku ingin kasih sayang-Mu.”Puspo Widianotohttp://www.blogger.com/profile/18352577488779133633noreply@blogger.comBlogger67125tag:blogger.com,1999:blog-4942725209072240234.post-69703139078212847512012-03-22T18:55:00.003-07:002012-03-22T18:55:30.955-07:00Bacaan Shalat Menurut Majelis Tarjih MuhammadiyahBacaan Shalat Menurut Majelis Tarjih Muhammadiyah <br />
<br />
<br />
Shalat merupakan ibadah yang pertama kali yang bakal dihisab diakhirat nanti. Ibadah shalat sudah ada tuntunannya dari Rasulullah SAW, baik dari segi gerakan maupun bacaannya. Bagaimana kita bisa tahu seperti apa gerakan maupun bacaan shalat yang dicontohkan Nabi? Kita bisa tahu dari hadist-hadist beliau yang diriwayatkan oleh sahabat-sahabat maupun istri beliau. Oleh karena shalat ini sudah ada tuntunannya, maka kita sebagai umatnya tentu ibadah shalat yang kita lakukan juga harus sesuai dengan yang dicontohkan beliau baik gerakan maupun bacaanya. <br />
<br />
Nah, pada postingan kali ini saya akan mengutip bacaan shalat yang telah diputuskan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah. Sebagaimana kita ketahui, Muhammadiyah hanya memilih hadist-hadist yang Shahih atau yang kuat terutama dalam masalah ibadah termasuk dalam ibadah shalat ini. Disamping itu Muhammadiyah juga tidak taklid terhadap satu mahzab saja, sehingga terkadang Muhammadiyah mempunyai pendapat yang sama dengan mahzab Syafi’i, terkadang Maliki, Hanafi maupun mahzab Hambali. Berbeda dengan umat islam di Indonesia umumnya yang hanya berpegang dan terpaku pada mahzab Syafi’i saja. Semoga bacaan shalat yang saya posting ini bermanfaat bagi kita semua terutama warga maupun simpatisan Muhammadiyah.<br />
<br />
Do’a Iftitah<br />
<br />
اَللّهُمَّ باَعِدْ بَيْنِى وَبَيْنَ خَطَاياَيَ كَمَا باَعَدْتَ بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ <br />
اَللّهُمَّ نَقِّنِى مِنَ الْخَطَاياَ كَماَ يُنَقَّى الثَّوْبُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ <br />
اَللّهُمَّ اغْسِلْ خَطَاياَيَ باِلْماَءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ.<br />
<br />
<br />
Allaahumma baa’id bainii wabainaa khotoo yaa ya kamaa baa ‘adta bainal masyriqi wal maghrib.<br />
Allaahumma naqqinii minal khotoo yaa kamaa yunqqots tsaubul abyadhuu minaddanas.<br />
Allaahummaghsil khotoo yaa ya bil maa i wats tsalji walbarod. <br />
<br />
Artinya : “Ya Allah, jauhkanlah antara diriku dan di antara kesalahan-kesalahanku sebagaimana Engkau jauhkan antara timur dan barat.<br />
Ya Allah, bersihkanlah aku dari kesalahan sebagaimana dibersihkannya kain putih dari kotoran.<br />
Ya Allah, cucilah kesalahan-kesalahanku dengan air, salju dan embun.”<br />
<br />
<br />
Bacaan Ruku’/Sujud<br />
<br />
<br />
سُبْحَانَكَ اللّهُمَّ رَبَّناَ وَبِحَمْدِكَ اَللّهُمَّ اغْفِرْلِى<br />
<br />
Subhaanaka allaahuma robbanaa wabihamdika allaahumaghfirlii.<br />
<br />
Artinya: “Segala puji bagi-Mu, Ya Allah Tuhan kami, dan dengan memuji-Mu yan Allah ampunilah <br />
aku”.<br />
<br />
<br />
Do’a I’tidal<br />
<br />
<br />
رَبَّنَا وَلَكَ اْلحَمْدُ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ <br />
<br />
Robbanaa walakalhamdu hamdan katsiiran thayyiban mubaarokan fiihi.<br />
<br />
Artinya : “Ya Tuhan kami, (hanya) untukMu lah (segala) pujian yang banyak, baik, dan diberkahi padanya ”.<br />
<br />
<br />
<br />
Do’a Duduk Diantara Dua Sujud<br />
<br />
اَللّهُمَّ اغْفِرْلِى وَارْحَمْنِى وَاجْبُرْنِى وَاهْدِنِى وَارْزُقْنِى<br />
<br />
Allaahummaghfirlii warhamnii wajburnii wahdinii warzuqnii.<br />
<br />
Artinya : “Ya Allah ampunilah aku, kasihanilah aku, cukupilah aku, tunjukilah aku, dan berilah rizki <br />
untukku”.<br />
<br />
Do’a Tasyahud<br />
<br />
اَلتَّحِيَّاتُ لِلّهِ وَالصَّلَوَاتُ وَالطَّيِّباَتُ. اَلسَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهاَ النَّبِيُّ <br />
وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكاَتُهُ. اَلسَّلاَمُ عَلَيْناَ وَعَلَى عِباَدِاللهِ الصَّالِحِيْنَ.<br />
أَشْهَدُ اَنْ لاَاِلَهَ اِلاَّ اللهِ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.<br />
<br />
<br />
Attahiyyaatu lillaahi washsholawaatu waththoyyibaat. Assalaamu ‘alaika ayyuhannabiyyu warohmatullaahi wabarokaatuh. Assalaamu’alainaa wa’ala ‘ibaadillaahi shshoolihiin. Asyhadu anlaa ilaaha illallaah waasyhadu annamuhammadan ‘abduhu warosuuluh.<br />
<br />
Artinya : “Segala kehormatan, kebahagiaan dan kebagusan adalah kepunyaan Allah, Semoga keselamatan bagi Engkau, ya Nabi Muhammad, beserta rahmat dan kebahagiaan Allah. Mudah-mudahan keselamatan juga bagi kita sekalian dan hamba-hamba Allah yang baik-baik. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad itu hamba Allah dan utusan-Nya”.<br />
<br />
<br />
Do’a Shalawat Kepada Nabi<br />
<br />
<br />
<br />
اَللّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى الِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَالِ إِبْرَاهِيْمَ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَالِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَالِ إِبْرَاهِيْمَ. إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.<br />
Allaahumma sholli ‘alaa Muhammad wa’alaa aali Muhammad. Kamaa shollaita ‘alaa ibroohiim wa aali ibroohiim. Wabaarik ‘alaa Muhammad wa aali Muhammad. Kamaa baarokta ‘alaa ibroohiim wa aali ibroohiim. Innaka hamiidummajiid.<br />
<br />
Artinya : “Ya Allah, limpahkanlah kemurahan-Mu kepada Muhammad dan keluarganya, sebagaimana Kau telah limpahkan kepada Ibrahim dan keluarganya, berkahilah Muhammad dan keluarganya sebagaimana Kau telah berkahi Ibrahim dan keluarganya. Sesungguhnya Engkau yang Maha Terpuji dan Maha Mulia”.<br />
<br />
Do’a Sesudah Tasyahud Akhir<br />
<br />
<br />
<br />
اَللّهُمَّ إِنِّى أَعُوْذُبِكَ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ, وَمِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ, وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْياَ وَالْمَمَاتِ, وَمِنْ شَرِّ فِتْنَةِ الْمَسِيْحِ الدَّجَّالِ<br />
<br />
Allaahumma innii a’uudzubika min ‘adzaabi jahannam. Wamin ‘adzaabil qobri. Wamin fitnatil mahyaa walmamaati. Wamin syarri fitnatil masiihiddadjaal.<br />
<br />
Artinya : “Ya Allah aku berlindung kepada Engkau dari siksa jahannam dan siksa kubur, begitu juga dari fitnah hidup dan mati, serta dari jahatnya fitnah dajjal (pengembara yang dusta)”.<br />
<br />
<br />
Salam<br />
<br />
<br />
<br />
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ<br />
<br />
Assalaamua’alaikum warohmatullaahi wabarokaatuh.<br />
<br />
Artinya : “ Berbahagialah kamu sekalian dengan rahmat dan berkah Allah”.Puspo Widianotohttp://www.blogger.com/profile/18352577488779133633noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4942725209072240234.post-34012528148445615722011-11-29T21:34:00.001-08:002011-11-29T21:34:44.721-08:00DIAGNOSA KEPERAWATAN BERSIHAN JALAN NAFAS TIDAK EFEKTIF DAN POLA NAFAS TIDAK EFEKTIFDIAGNOSA KEPERAWATAN<br />
BERSIHAN JALAN NAFAS TIDAK EFEKTIF <br />
DAN POLA NAFAS TIDAK EFEKTIF <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Disusun Oleh:<br />
Dewi Maryatul Qivia<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
DIII KEPERAWATAN<br />
STIKES MUHAMMADIYAH GOMBONG<br />
2011<br />
I. Bersihan jalan napas tidak efektif<br />
<br />
PENGERTIAN :<br />
Bersihan jalan nafas tidak efektif adalah Ketidakmampuan untuk membersihkan sekresi atau obstruksi saluran pernapasan guna mempertahankan jalan napas yang bersih<br />
Bersihan jalan napas tidak efektif adalah ketidakmampuan membersihkan sekresi atau obstruksi dari saluran pernafasan untuk menjaga bersihan jalan napas (Nanda, 2005)<br />
Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan:<br />
1) infeksi<br />
2) disfungsi neuromuscular<br />
3) hyperplasia dinding bronkus<br />
4) alergi jalan nafas<br />
5) asma<br />
6) trauma<br />
7) Obstruksi jalan nafas <br />
8) spasme jalan nafas<br />
9) sekresi tertahan<br />
10) penumpukan sekret<br />
11) adanya benda asing di jalan nafas<br />
12) adanya jalan nafas buatan<br />
13) sekresi bronkus<br />
14) adanya eksudat di alveolus.<br />
DO: Dispnea<br />
DS:<br />
1) Penurunan suara nafas<br />
2) Orthopneu<br />
3) Cyanosis<br />
4) Kelainan suara nafas (rales/ wheezing)<br />
5) Kesulitan berbicara<br />
6) Produksi sputum<br />
7) Gelisah<br />
8) Perubahan frekuensi dan irama nafas<br />
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan masalah bersihan jalan nafas tidak efektif teratasi, dengan<br />
Kriteria hasil: mendemonstrasikan batuk efektif, dan suara nafas bersih, tidak ada sianosis dan dispnea.<br />
Menunjukan jalan nafas yang paten.<br />
Intervensi: <br />
1) Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi misal: semifowler.<br />
2) Lakukan fisioterapi dada jika perlu<br />
3) Keluarkan sekret dengan batuk atau suction<br />
4) Auskultasi suara nafas dan catat adanya suara nafas tambahan misal ronkhi.<br />
5) Observasi hasil pemeriksaan AGD<br />
6) Anjurkan untuk minum air hangat<br />
7) Bantu klien untuk melakukan latihan batuk efektif bila memungkinkan Lakukan fifioterapi dada sesuai indikasi : Postural drainase, perkusi dan vibrasi<br />
8) Motivasi dan berikan minum sesuai dengan kebutuhan cairan (40-50 cc/kg BB/24 jam)<br />
9) PENDIDIKAN KESEHATAN : Jelaskan penggunaanperalatan pendukung dengan benar (oksigen, pengisapan, spirometer, inhaler, dan intermitten pressure breathing/IPPB)<br />
10) Instruksikan pada klien dan keluarga kepada rencana perawatan di rumah (pengobatan, hidrasi, nebulisasi, peralatan, drainase postural, tanda dan gejala komplikasi, sumber-sumber di komunitas)<br />
11) TINDAKAN KOLABORASI : Berikan oksigen lembab sesuai program<br />
- Berikan terapi sesuai program<br />
<br />
<br />
II. Pola napas tidak efektif<br />
<br />
PENGERTIAN :<br />
Pola napas tidak efektif adalah Inspirasi dan/ atau ekspirasi yang tidak member ventilasi yang adekuat<br />
Pola nafas tidak efektif adalah kondisi dimana pola inhalasi dan ekshalasi pasien tidak mampu karena adanya gangguan fungsi paru (Tarwoto,2003).<br />
Pola nafas tidak efektif adalah keadaan dimana seseorang individu mengalami kehilangan ventilasi yang aktual atau potensial yang berhubungan dengan perubahan pola nafas (Carpenito, 2001).<br />
Pola napas tidak efektif berhubungan dengan: <br />
1. hiperventilasi<br />
2. hipoventilasi <br />
3. Kelelahan/ penurunan energy<br />
4. kelemahan musculoskeletal<br />
5. kelelahan otot pernafasan<br />
6. nyeri<br />
7. kecemasan<br />
8. disfungsi neuromuskuler<br />
9. obesitas<br />
10. injuri tulang belakang.<br />
DS: Dyspnea, Nafas pendek<br />
DO: <br />
1) Penurunan tekanan inspirasi / ekspirasi<br />
2) Penurunan pertukaran udara per menit<br />
3) Menggunakan otot pernafasan tambahan<br />
4) Orthopnea<br />
5) Tahap ekspirasi berlangsung sangat lama<br />
6) Penurunan kapasitas vital<br />
7) Respirasi: < 11-24 x/ menit.<br />
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pasien menunjukan keefektifan pola nafas , dengan <br />
Kriteria hasil: <br />
1. Suara nafas bersih<br />
2. Tidak ada siaonsis, dispnea<br />
3. Menunjukan jalan nafas yang paten (tidak merasa tercekik, irama nafas, frekuensi pernafasan dalam rentang normal, tidak ada suara nafas abnormal).<br />
4. TTV dalam rentang normal<br />
Intervensi:<br />
1. Monitor vital sign<br />
2. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi<br />
3. Lakukan fisioterapi dada jika perlu<br />
4. Keluarkan sekret dengan batuk atau suction<br />
5. Auskultasi suara nafas dan catat adanya suara nafas tambahan<br />
6. Pertahankan jalan nafas yang paten<br />
7. Observasi adanya tanda-tanda hipoventilasi<br />
8. PENDIDIKAN KESEHATAN : Ajarkan pada klien dan keluarga teknik relaksasi untuk meningkatkan pola napas efektif<br />
Ajarkan cara batuk efektif Diskusikan mengenai rencana perawatan di rumah<br />
9. TINDAKAN KOLABORASI : <br />
Seting ventilator dan sesuaikan pola ventilator dengan kondisi klien<br />
Observasi konsintrasi O2 (Fi O2) yang diberikan<br />
Anjurkan napas dalam melalui abdomen selama periode distress pernapasan Catat tekanan dan monitor gelombang tekanan jalan napas<br />
Jamin kelembapan dan temperature udara inspirasi dan cek secara berkala<br />
Set dan cek alarm ventilator<br />
<br />
<br />
<br />
III. 10 Macam penyakit yang dapat muncul masalah keperawatan bersihan jalan nafas tidak efektif dan pola nafas tidak efektif<br />
1. Asma<br />
2. Tuberkolusis<br />
3. PPOM ( Pneumonia, Atelektasis, Pneumotoraks)<br />
4. ISPA<br />
5. Bronkitis Kronis<br />
6. Empiema<br />
7. Efusi pleura<br />
8. Bronkiektasis<br />
9. Flu Burung<br />
10. Ca Paru<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
<br />
Iqbal, Wahit dan Nurul hayatin. 2007. “Buku Ajar KDM Teori dan Aplikasi <br />
dalam Praktek”. Jakarta: EGC.<br />
Mansjoer, A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi ketiga Jilid 2. Media <br />
Aesculapius: Jakarta<br />
NANDA, 2006. Diagnosa Keperawatan. PSIK-FK UGM: Yogyakarta<br />
Wartonah, Tarwoto.2006. Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses kepertawatan, <br />
edisi 3. Jakarta:Salemba Medika<br />
Wilkinson, J.M, 2007. Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi <br />
NIC dan Kriteria Hasil NOC. EGC: JakartaPuspo Widianotohttp://www.blogger.com/profile/18352577488779133633noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-4942725209072240234.post-74800018112861101942011-07-01T00:25:00.001-07:002011-07-01T00:25:34.793-07:00LAPORAN PENDAHULUAN KEBUTUHAN DASAR MANUSIA POLA NUTRISILAPORAN PENDAHULUAN KEBUTUHAN DASAR MANUSIA POLA NUTRISI <br />
A.DEFINISI<br />
<br />
Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh adalah keadaaan dimana individu yang mengalami kekurangan asupan nutrisi untuk memenuhi kebutuhan metabolic.( Wilkinso Judith M. 2007)<br />
Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh adalah intake nutrisi tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan metabolic.( Nanda. 2005-2006 )<br />
<br />
B.FISIOLOGI<br />
<br />
Fungsi utama sistem pencernaan adalah memindahkan zat nutrien (zat yang sudah dicerna), air, dan garam yang berasal dari zat makanan untuk didistribusikan ke sel-sel melalaui sistem sirkulasi. Zat makanan merupakan sumber energi bagi tubuh seperti ATP yang dibutuhkan sel-sel untuk melaksanakn tugasnya.<br />
Agar makanan dapat dicerna secara optimal dalam saluran pencernaan , maka saluran pencernaan harus mempunyai persediaan air, elektrolit dan zat makanan yang terus menerus.Untuk ini dibutuhkan:<br />
<br />
1.Pergerakan makan melaui saluran pencernaan.<br />
2.Sekresi getah pencernaan.<br />
3.Absorbpsi hasil pencernaan, air, dan elektrolit.<br />
4.Sirkulasi darah melalui organ gastrointestinal yang membawa zat yang diabsorbpsi.<br />
5.Pengaturan semua fungsi oleh sistem saraf dan hormon<br />
<br />
Dalam lumen saluran gastroinrestinal (GI) harus diciptakan suatu lingkunugan khusus supaya pencernaan dan absorbsi dapat berlangsung.<br />
Sekresi kelenjar dan kontraksi otot harus dikendalikan sedemikian rupa supaya tersedia lingkungan yang optimal. Mekanisme pengendalian lebih banyak dipengaruhi oleh volume dan komposisi kandungan dan lumen gastrointestinal.<br />
Sistem pengendalian harus dapat mendeteksi keadaan lumen.sistem ini terdapat didalam dinding saluran gastrointestinal. Kebanyakan refleks GI dimulai oleh sejumlah rangsangan dilumen yaitu regangan dinding oleh isi lumen ,osmolaritas kimus atau konsenttrasi zat yang terlarut, keasaman kimus atau konsentrsi ion H, dan hasil pencernaan karbohidrat, lemak, protein (monosakarida, asam lemak dan peptide dari asam amino).<br />
<br />
Proses pencernaan makanan antara lain :<br />
1.Mengunyah<br />
2.Menelan(deglusi)<br />
a.Pengaturan saraf pada tahap menelan<br />
b.Tahap menelan diesofagus<br />
3.Makanan dilambung<br />
4.Pengosongan dilambung<br />
5.Factor reflexs duodenum<br />
6.Pergerakan usus halus<br />
a.Gerakan kolon<br />
b.Gerakan mencampur<br />
c.Gerakan mendorong<br />
7.Defekasi<br />
<br />
<br />
C.MANIFESTAI KLINIS<br />
<br />
Manifestasi klinis atau tanda dan gejala nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh menurut buku saku diagnosa keperawatan NIC-NOC antara lain :<br />
A.Subjektif<br />
a.Kram abdomen<br />
b.Nyeri abdomen dengan atau tanpa penyakit.<br />
c.Merasakan ketidakmampuan untuk mengingesti makanan.<br />
d.Melaporkan perubahan sensasi rasa.<br />
e.Melaporkan kurangnya makanan.<br />
f.Merasa kenyang segrav setelah mengingesti makanan.<br />
<br />
B.Objektif<br />
a.Tidak tertarik untuk makan.<br />
b.Diare.<br />
c.Adanya bukti kekurangan makanan.<br />
d.Kehilangan rambut yang berlebiahan.<br />
e.Busing usus hiperaktif.<br />
f.Kurangnya minat pada makanan.<br />
g.Luka,rongga mulut inflamasi.<br />
<br />
<br />
<br />
D.FOKUS PENGKAJIAN<br />
<br />
Pengkajian<br />
<br />
1.Riwayat keperawatann dan diet.<br />
a.Anggaran makan, makanan kesukaan, waktu makan.<br />
b.Apakah ada diet yang dilakukan secara khusus.<br />
c.Adakah penurunan dan peningkatan berat badan dan berapa lama periode waktunya?<br />
d.Adakah sttus fisik pasien ang dapat meningkatakan diet seperti luka bakar dan demam?<br />
e.Adakah toleransi makanan/minumam tertentu?<br />
<br />
2.Factor yang mempengaruhi diet<br />
a.Status keehatan<br />
b.Kultur dan keperrcayaan<br />
c.Status sosial ekonomi.<br />
d.Factor psikolpgis.<br />
e.Informasi yang salah tentang makanan dan cara berdiet.<br />
<br />
3.Pemeriksaan fisik<br />
a.Keadaan fisik:apatis,lesu<br />
b.Berat badan :obesitas,kurus.otot : flaksia,tonus Kurang,tidak mampu bekerja.<br />
c.Sistem saraf:bigung,rasa terbakar,reflek menurun.<br />
d.Fungsi gastrointestinal: anoreksia,konstipasi,diare,pembesaran liver.<br />
e.Kardiovaskuler:denyut nadi lebih dari 100 kali/menit,irama abnormal,tekanan darah <br />
rendah/tinggi.<br />
f.Rambut: kusam,kering,pudar,kemerahan,tipis,pecah/patah-patah.<br />
g.Kulit: kering,pucat,iritasi,petekhie,lemak disubkutan tidak ada.<br />
h.Bibir: kering,pecah-pecah,bengkak,lesi,stomatitis,membrane mukosa pucat.<br />
i.Gusi: perdarahan,peradangan.<br />
j.Lidah: edema,hiperemasis.<br />
k.Gigi: karies,nyeri, kotor.<br />
l.Mata: konjungtiva pucat,kering,exotalmus,tanda-tanda infeksi.<br />
m.Kuku: mudah patah.<br />
<br />
<br />
4.Pengukuran antopometri:<br />
<br />
a.Berat badan ideal: (TB- 100)*10%<br />
b.LINGKAR PERGELNGAN TANGAN<br />
c.LINGKAR LENGAN ATAS (MAC) :<br />
Nilai normal <br />
Wanita :28,5c<br />
Pria :28,3 cm<br />
d.Lipatan kulit paad otot trisep (TSF)<br />
Nilai normal Wanita : 16,5-18 cm<br />
Pria :12,5-16,5 cm<br />
<br />
<br />
5.Laboratorium<br />
<br />
a.Albumin (N:4-5,5 mg/100ml)<br />
b.Transferin (N:170-25 MG/100 ML)<br />
c.Hb (N: 12 MG%)<br />
d.BUN (N:10-20 mg/100ml)<br />
e.Ekskresi kreatinin untuk 24 jam (N :LAKI-LAK1: 0,6-1,3 MG/100 ML,WANITA: 0,5-1,0 MG/ <br />
100 ML)<br />
<br />
<br />
E.DIAGNOSA KEPERAWTAN DAN INTERVENSI<br />
<br />
INTERVENSI RASIONAL<br />
1.Tingkatkan intake makanan melalui:<br />
a.Mei pasien.ngurani gangguan lingkungan yang berisik dan lain0lain.<br />
b.Berikan obat sebelum makan bila ada indikasi.<br />
c.Jaga privasi pasien.<br />
2.Jaga kebersihan mulut pasien<br />
3.Bantu pasien makan jika tidak mampu.<br />
4.Sajikan makanan yang mudah dicerna,dalam keadaan hangat, tertutup, dan berikan sedikit-sedikit <br />
tapi seing.<br />
5.Kaji tanda vital,sensori dan bising usus.<br />
6.Monitor hasil lab,seperti glukosa,elektrolit,albumin,Hb, kolaborasi dengan dokter.<br />
7.Berikan pendidikan kesehatan tentang cara diet, kebutuhan kalori dan tindakan keperawatan yang berhubungan dengan nutrisi jika pasien menggunakan NGT.<br />
8.Pemberian caiaran/ makanan tidak lebih 150 cc sekali pemberian.<br />
1.Cara khusus untuk meningkatkan nafsu makan.<br />
2.Mulut yang bersih meningkatakan nafsu majkan.<br />
3.Membantu pasien makan.<br />
4.Meningkatkan selera makan dan intake makan.<br />
5.Membantu mengkaji keadaan pasien.<br />
6.Monitor status nutrisi.<br />
7.Meningkatkan pengetahuan agar pasien le bih koopeartifonitor.<br />
8.Menghindari aspirasi<br />
<br />
<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
Nanda 2005-2006. 2005. Panduan Diagnosa Keperawatan. Jakarta : Prima Medika.<br />
Wilkinson, Judith M. 2007. Diagnosa Keperawatan. Jakarta : EGC.<br />
Syaifudin.2006.Anatomi Fisiologi untuk mahasiswa keperawatan.Jakarta: EGCPuspo Widianotohttp://www.blogger.com/profile/18352577488779133633noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4942725209072240234.post-30089421681222077342011-07-01T00:24:00.000-07:002011-07-01T00:24:36.672-07:00LAPORAN PENDAHULUAN KEBUTUHAN DASAR MANUSIA OKSIGENASII. PENGERTIAN OKSIGENASI<br />
Oksigenasi adalah memberikan aliran gas oksigen (O2) lebih dari 21 % pada tekanan 1 atmosfir sehingga konsentrasi oksigen meningkat dalam tubuh.<br />
<br />
II. TUJUAN PEMBERIAN OKSIGENASI<br />
1. Untuk mempertahankan oksigen yang adekuat pada jaringan<br />
2. Untuk menurunkan kerja paru-paru<br />
3. Untuk menurunkan kerja jantung<br />
<br />
III. ANATOMI SISTEM PERNAPASAN<br />
A. Saluran Nafas Atas<br />
1. Hidung<br />
• Terdiri atas bagian eksternal dan internal<br />
• Bagian eksternal menonjol dari wajah dan disangga oleh tulang hidung dan kartilago<br />
• Bagian internal hidung adalah rongga berlorong yang dipisahkan menjadi rongga hidung kanan dan kiri oleh pembagi vertikal yang sempit, yang disebut septum<br />
• Rongga hidung dilapisi dengan membran mukosa yang sangat banyak mengandung vaskular yang disebut mukosa hidung<br />
• Permukaan mukosa hidung dilapisi oleh sel-sel goblet yang mensekresi lendir secara terus menerus dan bergerak ke belakang ke nasofaring oleh gerakan silia<br />
• Hidung berfungsi sebagai saluran untuk udara mengalir ke dan dari paru-paru<br />
• Hidung juga berfungsi sebagai penyaring kotoran dan melembabkan serta menghangatkan udara yang dihirup ke dalam paru-paru<br />
• Hidung juga bertanggung jawab terhadap olfaktori (penghidu) karena reseptor olfaktori terletak dalam mukosa hidung, dan fungsi ini berkurang sejalan dengan pertambahan usia<br />
<br />
<br />
2. Faring<br />
• Faring atau tenggorok merupakan struktur seperti tuba yang menghubungkan hidung dan rongga mulut ke laring<br />
• Faring dibagi menjadi tiga region : nasal (nasofaring), oral (orofaring), dan laring (laringofaring)<br />
• Fungsi faring adalah untuk menyediakan saluran pada traktus respiratorius dan digestif<br />
3. Laring<br />
• Laring atau organ suara merupakan struktur epitel kartilago yang menghubungkan faring dan trakea<br />
• Laring sering disebut sebagai kotak suara dan terdiri atas :<br />
- Epiglotis : daun katup kartilago yang menutupi ostium ke arah laring selama menelan<br />
- Glotis : ostium antara pita suara dalam laring<br />
- Kartilago tiroid : kartilago terbesar pada trakea, sebagian dari kartilago ini membentuk jakun (Adam's apple)<br />
- Kartilago krikoid : satu-satunya cincin kartilago yang komplit dalam laring (terletak di bawah kartilago tiroid)<br />
- Kartilago aritenoid : digunakan dalam gerakan pita suara dengan kartilago tiroid<br />
- Pita suara : ligamen yang dikontrol oleh gerakan otot yang menghasilkan bunyi suara (pita suara melekat pada lumen laring)<br />
• Fungsi utama laring adalah untuk memungkinkan terjadinya vokalisasi<br />
• Laring juga berfungsi melindungi jalan nafas bawah dari obstruksi benda asing dan memudahkan batu<br />
4. Trakea<br />
• Disebut juga batang tenggorok<br />
• Ujung trakea bercabang menjadi dua bronkus yang disebut karina<br />
B. Saluran Nafas Bawah<br />
1. Bronkus<br />
• Terbagi menjadi bronkus kanan dan kiri<br />
• Disebut bronkus lobaris kanan (3 lobus) dan bronkus lobaris kiri (2 bronkus)<br />
• Bronkus lobaris kanan terbagi menjadi 10 bronkus segmental dan bronkus lobaris kiri terbagi menjadi 9 bronkus segmental<br />
• Bronkus segmentalis ini kemudian terbagi lagi menjadi bronkus subsegmental yang dikelilingi oleh jaringan ikat yang memiliki : arteri, limfatik dan saraf<br />
2. Bronkiolus<br />
• Bronkus segmental bercabang-cabang menjadi bronkiolus<br />
• Bronkiolus mengadung kelenjar submukosa yang memproduksi lendir yang membentuk selimut tidak terputus untuk melapisi bagian dalam jalan napas<br />
3. Bronkiolus Terminalis<br />
• Bronkiolus membentuk percabangan menjadi bronkiolus terminalis (yang tidak mempunyai kelenjar lendir dan silia)<br />
4. Bronkiolus respiratori<br />
• Bronkiolus terminalis kemudian menjadi bronkiolus respiratori<br />
• Bronkiolus respiratori dianggap sebagai saluran transisional antara jalan napas konduksi dan jalan udara pertukaran gas<br />
5. Duktus alveolar dan Sakus alveolar<br />
• Bronkiolus respiratori kemudian mengarah ke dalam duktus alveolar dan sakus alveolar<br />
• Dan kemudian menjadi alveoli<br />
6. Alveoli<br />
• Merupakan tempat pertukaran O2 dan CO2<br />
• Terdapat sekitar 300 juta yang jika bersatu membentuk satu lembar akan seluas 70 m2<br />
• Terdiri atas 3 tipe :<br />
- Sel-sel alveolar tipe I : adalah sel epitel yang membentuk dinding alveoli<br />
- Sel-sel alveolar tipe II : adalah sel yang aktif secara metabolik dan mensekresi surfaktan (suatu fosfolipid yang melapisi permukaan dalam dan mencegah alveolar agar tidak kolaps)<br />
- Sel-sel alveolar tipe III : adalah makrofag yang merupakan sel-sel fagotosis dan bekerja sebagai mekanisme pertahanan<br />
PARU<br />
• Merupakan organ yang elastis berbentuk kerucut<br />
• Terletak dalam rongga dada atau toraks<br />
• Kedua paru dipisahkan oleh mediastinum sentral yang berisi jantung dan beberapa pembuluh darah besar<br />
• Setiap paru mempunyai apeks dan basis<br />
• Paru kanan lebih besar dan terbagi menjadi 3 lobus oleh fisura interlobaris<br />
• Paru kiri lebih kecil dan terbagi menjadi 2 lobus<br />
• Lobos-lobus tersebut terbagi lagi menjadi beberapa segmen sesuai dengan segmen bronkusnya<br />
<br />
PLEURA<br />
• Merupakan lapisan tipis yang mengandung kolagen dan jaringan elastis<br />
• Terbagi mejadi 2 :<br />
- Pleura parietalis yaitu yang melapisi rongga dada<br />
- Pleura viseralis yaitu yang menyelubingi setiap paru-paru<br />
• Diantara pleura terdapat rongga pleura yang berisi cairan tipis pleura yang berfungsi untuk memudahkan kedua permukaan itu bergerak selama pernapasan, juga untuk mencegah pemisahan toraks dengan paru-paru<br />
• Tekanan dalam rongga pleura lebih rendah dari tekanan atmosfir, hal ini untuk mencegah kolap paru-paru<br />
<br />
IV. FISIOLOGI SISTEM PERNAPASAN<br />
Bernafas / pernafasan merupkan proses pertukaran udara diantara individu dan lingkungannya dimana O2 yang dihirup (inspirasi) dan CO2 yang dibuang (ekspirasi).<br />
Proses bernafas terdiri dari 3 bagian, yaitu :<br />
1. Ventilasi yaitu masuk dan keluarnya udara atmosfir dari alveolus ke paru-paru atau sebaliknya.<br />
Proses keluar masuknya udara paru-paru tergantung pada perbedaan tekanan antara udara atmosfir dengan alveoli. Pada inspirasi, dada ,mengembang, diafragma turun dan volume paru bertambah. Sedangkan ekspirasi merupakan gerakan pasif.<br />
Faktor-faktor yang mempengaruhi ventilasi :<br />
a. Tekanan udara atmosfir<br />
b. Jalan nafas yang bersih<br />
c. Pengembangan paru yang adekuat<br />
2. Difusi yaitu pertukaran gas-gas (oksigen dan karbondioksida) antara alveolus dan kapiler paru-paru.<br />
Proses keluar masuknya udara yaitu dari darah yang bertekanan/konsentrasi lebih besar ke darah dengan tekanan/konsentrasi yang lebih rendah. Karena dinding alveoli sangat tipis dan dikelilingi oleh jaringan pembuluh darah kapiler yang sangat rapat, membran ini kadang disebut membran respirasi.<br />
Perbedaan tekanan pada gas-gas yang terdapat pada masing-masing sisi membran respirasi sangat mempengaruhi proses difusi. Secara normal gradien tekanan oksigen antara alveoli dan darah yang memasuki kapiler pulmonal sekitar 40 mmHg.<br />
Faktor-faktor yang mempengaruhi difusi :<br />
a. Luas permukaan paru<br />
b. Tebal membran respirasi<br />
c. Jumlah darah<br />
d. Keadaan/jumlah kapiler darah<br />
e. Afinitas<br />
f. Waktu adanya udara di alveoli<br />
3. Transpor yaitu pengangkutan oksigen melalui darah ke sel-sel jaringan tubuh dan sebaliknya karbondioksida dari jaringan tubuh ke kapiler.<br />
Oksigen perlu ditransportasikan dari paru-paru ke jaringan dan karbondioksida harus ditransportasikan dari jaringan kembali ke paru-paru. Secara normal 97 % oksigen akan berikatan dengan hemoglobin di dalam sel darah merah dan dibawa ke jaringan sebagai oksihemoglobin. Sisanya 3 % ditransportasikan ke dalam cairan plasma dan sel-sel.<br />
Faktor-faktor yang mempengaruhi laju transportasi :<br />
a. Curah jantung (cardiac Output / CO)<br />
b. Jumlah sel darah merah<br />
c. Hematokrit darah<br />
d. Latihan (exercise)<br />
<br />
V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERNAPASAN<br />
Faktor-faktor yang mempengaruhi oksigenasi adalah :<br />
1. Tahap Perkembangan<br />
Saat lahir terjadi perubahan respirasi yang besar yaitu paru-paru yang sebelumnya berisi cairan menjadi berisi udara. Bayi memiliki dada yang kecil dan jalan nafas yang pendek. Bentuk dada bulat pada waktu bayi dan masa kanak-kanak, diameter dari depan ke belakang berkurang dengan proporsi terhadap diameter transversal. Pada orang dewasa thorak diasumsikan berbentuk oval. Pada lanjut usia juga terjadi perubahan pada bentuk thorak dan pola napas.<br />
2. Lingkungan<br />
Ketinggian, panas, dingin dan polusi mempengaruhi oksigenasi. Makin tinggi daratan, makin rendah PaO2, sehingga makin sedikit O2 yang dapat dihirup individu. Sebagai akibatnya individu pada daerah ketinggian memiliki laju pernapasan dan jantung yang meningkat, juga kedalaman pernapasan yang meningkat.<br />
Sebagai respon terhadap panas, pembuluh darah perifer akan berdilatasi, sehingga darah akan mengalir ke kulit. Meningkatnya jumlah panas yang hilang dari permukaan tubuh akan mengakibatkan curah jantung meningkat sehingga kebutuhan oksigen juga akan meningkat. Pada lingkungan yang dingin sebaliknya terjadi kontriksi pembuluh darah perifer, akibatnya meningkatkan tekanan darah yang akan menurunkan kegiatan-kegiatan jantung sehingga mengurangi kebutuhan akan oksigen.<br />
3. Gaya Hidup<br />
Aktifitas dan latihan fisik meningkatkan laju dan kedalaman pernapasan dan denyut jantung, demikian juga suplay oksigen dalam tubuh. Merokok dan pekerjaan tertentu pada tempat yang berdebu dapat menjadi predisposisi penyakit paru.<br />
4. Status Kesehatan<br />
Pada orang yang sehat sistem kardiovaskuler dan pernapasan dapat menyediakan oksigen yang cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh. Akan tetapi penyakit pada sistem kardiovaskuler kadang berakibat pada terganggunya pengiriman oksigen ke sel-sel tubuh. Selain itu penyakit-penyakit pada sistem pernapasan dapat mempunyai efek sebaliknya terhadap oksigen darah. Salah satu contoh kondisi kardiovaskuler yang mempengaruhi oksigen adalah anemia, karena hemoglobin berfungsi membawa oksigen dan karbondioksida maka anemia dapat mempengaruhi transportasi gas-gas tersebut ke dan dari sel.<br />
5. Narkotika<br />
Narkotika seperti morfin dan dapat menurunkan laju dan kedalam pernapasan ketika depresi pusat pernapasan dimedula. Oleh karena itu bila memberikan obat-obat narkotik analgetik, perawat harus memantau laju dan kedalaman pernapasan.<br />
6. Perubahan/gangguan pada fungsi pernapasan<br />
Fungsi pernapasan dapat terganggu oleh kondisi-kondisi yang dapat mempengarhi pernapasan yaitu :<br />
a. Pergerakan udara ke dalam atau keluar paru<br />
b. Difusi oksigen dan karbondioksida antara alveoli dan kapiler paru<br />
c. Transpor oksigen dan transpor dioksida melalui darah ke dan dari sel jaringan.<br />
Gangguan pada respirasi yaitu hipoksia, perubahan pola napas dan obstruksi sebagian jalan napas.<br />
Hipoksia yaitu suatu kondisi ketika ketidakcukupan oksigen di dalam tubuh yang diinspirasi sampai jaringan. Hal ini dapat berhubungan dengan ventilasi, difusi gas atau transpor gas oleh darah yang dapat disebabkan oleh kondisi yang dapat merubah satu atau lebih bagian-bagian dari proses respirasi. Penyebab lain hipoksia adalah hipoventilasi alveolar yang tidak adekuat sehubungan dengan menurunnya tidal volume, sehingga karbondioksida kadang berakumulasi didalam darah.<br />
Sianosis dapat ditandai dengan warna kebiruan pada kulit, dasar kuku dan membran mukosa yang disebabkan oleh kekurangan kadar oksigen dalam hemoglobin. Oksigenasi yang adekuat sangat penting untuk fungsi serebral. Korteks serebral dapat mentoleransi hipoksia hanya selama 3 - 5 menit sebelum terjadi kerusakan permanen. Wajah orang hipoksia akut biasanya terlihat cemas, lelah dan pucat.<br />
7. Perubahan pola nafas<br />
Pernapasan yang normal dilakukan tanpa usaha dan pernapasan ini sama jaraknya dan sedikit perbedaan kedalamannya. Bernapas yang sulit disebut dyspnoe (sesak). Kadang-kadang terdapat napas cuping hidung karena usaha inspirasi yang meningkat, denyut jantung meningkat. Orthopneo yaitu ketidakmampuan untuk bernapas kecuali pada posisi duduk dan berdiri seperti pada penderita asma.<br />
8. Obstruksi jalan napas<br />
Obstruksi jalan napas lengkap atau sebagaian dapat terjadi di sepanjang saluran pernapasan di sebelah atas atau bawah. Obstruksi jalan napas bagian atas meliputi : hidung, pharing, laring atau trakhea, dapat terjadi karena adanya benda asing seperti makanan, karena lidah yang jatuh kebelakang (otrhopharing) bila individu tidak sadar atau bila sekresi menumpuk disaluran napas.<br />
Obstruksi jalan napas di bagian bawah melibatkan oklusi sebagian atau lengkap dari saluran napas ke bronkhus dan paru-paru. Mempertahankan jalan napas yang terbuka merupakan intervensi keperawatan yang kadang-kadang membutuhkan tindakan yang tepat. Onbstruksi sebagian jalan napas ditandai dengan adanya suara mengorok selama inhalasi (inspirasi).<br />
<br />
VI. PENGKAJIAN KEPERAWATAN<br />
Secara umum pengkajian dimulai dengan mengumpulkan data tentang :<br />
1. Biodata pasien (umur, sex, pekerjaan, pendidikan)<br />
Umur pasien bisa menunjukkan tahap perkembangan pasien baik secara fisik maupun psikologis, jenis kelamin dan pekerjaan perlu dikaji untuk mengetahui hubungan dan pengaruhnya terhadap terjadinya masalah/penyakit, dan tingkat pendidikan dapat berpengaruh terhadap pengetahuan klien tentang masalahnya/penyakitnya.<br />
2. Keluhan utama dan riwayat keluhan utama (PQRST)<br />
Keluhan utama adalah keluhan yang paling dirasakan mengganggu oleh klien pada saat perawat mengkaji, dan pengkajian tentang riwayat keluhan utama seharusnya mengandung unsur PQRST (Paliatif/Provokatif, Quality, Regio, Skala, dan Time)<br />
3. Riwayat perkembangan<br />
a. Neonatus : 30 - 60 x/mnt<br />
b. Bayi : 44 x/mnt<br />
c. Anak : 20 - 25 x/mnt<br />
d. Dewasa : 15 - 20 x/mnt<br />
e. Dewasa tua : volume residu meningkat, kapasitas vital menurun<br />
4. Riwayat kesehatan keluarga<br />
Dalam hal ini perlu dikaji apakah ada anggota keluarga yang mengalami masalah / penyakit yang sama.<br />
5. Riwayat sosial<br />
Perlu dikaji kebiasaan-kebiasaan klien dan keluarganya, misalnya : merokok, pekerjaan, rekreasi, keadaan lingkungan, faktor-faktor alergen dll.<br />
6. Riwayat psikologis<br />
Disini perawat perlu mengetahui tentang :<br />
a. Perilaku / tanggapan klien terhadap masalahnya/penyakitnya<br />
b. Pengaruh sakit terhadap cara hidup<br />
c. Perasaan klien terhadap sakit dan therapi<br />
d. Perilaku / tanggapan keluarga terhadap masalah/penyakit dan therapi<br />
7. Riwayat spiritual<br />
8. Pemeriksaan fisik<br />
a. Hidung dan sinus<br />
Inspeksi : cuping hidung, deviasi septum, perforasi, mukosa (warna, bengkak, eksudat, darah), kesimetrisan hidung.<br />
Palpasi : sinus frontalis, sinus maksilaris<br />
b. Faring<br />
Inspeksi : warna, simetris, eksudat ulserasi, bengkak<br />
c. Trakhea<br />
Palpasi : dengan cara berdiri disamping kanan pasien, letakkan jari tengah pada bagian bawah trakhea dan raba trakhea ke atas, ke bawah dan ke samping sehingga kedudukan trakhea dapat diketahui.<br />
d. Thoraks<br />
Inspeksi :<br />
• Postur, bervariasi misalnya pasien dengan masalah pernapasan kronis klavikulanya menjadi elevasi ke atas.<br />
• Bentuk dada, pada bayi berbeda dengan orang dewasa. Dada bayi berbentuk bulat/melingkar dengan diameter antero-posterior sama dengan diameter tranversal (1 : 1). Pada orang dewasa perbandingan diameter antero-posterior dan tranversal adalah 1 : 2<br />
Beberapa kelainan bentuk dada diantaranya : Pigeon chest yaitu bentuk dada yang ditandai dengan diameter tranversal sempit, diameter antero-posterior membesar dan sternum sangat menonjol ke depan. Funnel chest merupakan kelainan bawaan dengan ciri-ciri berlawanan dengan pigeon chest, yaitu sternum menyempit ke dalam dan diameter antero-posterior mengecil. Barrel chest ditandai dengan diameter antero-posterior dan tranversal sama atau perbandingannya 1 : 1.<br />
Kelainan tulang belakang diantaranya : Kiposis atau bungkuk dimana punggung melengkung/cembung ke belakang. Lordosis yaitu dada membusung ke depan atau punggung berbentuk cekung. Skoliosis yaitu tergeliatnya tulang belakang ke salah satu sisi.<br />
• Pola napas, dalam hal ini perlu dikaji kecepatan/frekuensi pernapasan apakah pernapasan klien eupnea yaitu pernapasan normal dimana kecepatan 16 - 24 x/mnt, klien tenang, diam dan tidak butuh tenaga untuk melakukannya, atau tachipnea yaitu pernapasan yang cepat, frekuensinya lebih dari 24 x/mnt, atau bradipnea yaitu pernapasan yang lambat, frekuensinya kurang dari 16 x/mnt, ataukah apnea yaitu keadaan terhentinya pernapasan.<br />
Perlu juga dikaji volume pernapasan apakah hiperventilasi yaitu bertambahnya jumlah udara dalam paru-paru yang ditandai dengan pernapasan yang dalam dan panjang ataukah hipoventilasi yaitu berkurangnya udara dalam paru-paru yang ditandai dengan pernapasan yang lambat.<br />
Perlu juga dikaji sifat pernapasan apakah klien menggunakan pernapasan dada yaitu pernapasan yang ditandai dengan pengembangan dada, ataukah pernapasan perut yaitu pernapasan yang ditandai dengan pengembangan perut.<br />
Perlu juga dikaji ritme/irama pernapasan yang secara normal adalah reguler atau irreguler, ataukah klien mengalami pernapasan cheyne stokes yaitu pernapasan yang cepat kemudian menjadi lambat dan kadang diselingi apnea, atau pernapasan kusmaul yaitu pernapasan yang cepat dan dalam, atau pernapasan biot yaitu pernapasan yang ritme maupun amplitodunya tidak teratur dan diselingi periode apnea.<br />
Perlu juga dikaji kesulitan bernapas klien, apakah dispnea yaitu sesak napas yang menetap dan kebutuhan oksigen tidak terpenuhi, ataukah ortopnea yaitu kemampuan bernapas hanya bila dalam posisi duduk atau berdiri.<br />
Perlu juga dikaji bunyi napas, dalam hal ini perlu dikaji adanya stertor/mendengkur yang terjadi karena adanya obstruksi jalan napas bagian atas, atau stidor yaitu bunyi yang kering dan nyaring dan didengar saat inspirasi, atau wheezing yaitu bunyi napas seperti orang bersiul, atau rales yaitu bunyi yang mendesak atau bergelembung dan didengar saat inspirasi, ataukah ronchi yaitu bunyi napas yang kasar dan kering serta di dengar saat ekspirasi.<br />
Perlu juga dikaji batuk dan sekresinya, apakah klien mengalami batuk produktif yaitu batuk yang diikuti oleh sekresi, atau batuk non produktif yaitu batuk kering dan keras tanpa sekresi, ataukah hemoptue yaitu batuk yang mengeluarkan darah<br />
• Status sirkulasi, dalam hal ini perlu dikaji heart rate/denyut nadi apakah takhikardi yaitu denyut nadi lebih dari 100 x/mnt, ataukah bradikhardi yaitu denyut nadi kurang dari 60 x/mnt.<br />
Juga perlu dikaji tekanan darah apakah hipertensi yaitu tekanan darah arteri yang tinggi, ataukah hipotensi yaitu tekanan darah arteri yang rendah.<br />
Juga perlu dikaji tentang oksigenasi pasien apakah terjadi anoxia yaitu suatu keadaan dengan jumlah oksigen dalam jaringan kurang, atau hipoxemia yaitu suatu keadaan dengan jumlah oksigen dalam darah kurang, atau hipoxia yaitu berkurangnya persediaan oksigen dalam jaringan akibat kelainan internal atau eksternal, atau cianosis yaitu warna kebiru-biruan pada mukosa membran, kuku atau kulit akibat deoksigenasi yang berlebihan dari Hb, ataukah clubbing finger yaitu membesarnya jari-jari tangan akibat kekurangan oksigen dalam waktu yang lama.<br />
Palpasi :<br />
Untuk mengkaji keadaan kulit pada dinding dada, nyeri tekan, massa, peradangan, kesimetrisan ekspansi dan taktil vremitus.<br />
Taktil vremitus adalah vibrasi yang dapat dihantarkan melalui sistem bronkhopulmonal selama seseorang berbicara. Normalnya getaran lebih terasa pada apeks paru dan dinding dada kanan karena bronkhus kanan lebih besar. Pada pria lebih mudah terasa karena suara pria besar<br />
<br />
VII. DIAGNOSA KEPERAWATAN<br />
Diagnosa keperawatan yang lazim terjadi pada pasien dengan gangguan pemenuhan kebutuhan oksigenasi diantaranya adalah :<br />
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif<br />
2. Pola napas tidak efektif<br />
3. Gangguan pertukaran gas<br />
4. Penurunan kardiak output<br />
5. Rasa berduka<br />
6. Koping tidak efektif<br />
7. Perubahan rasa nyaman<br />
8. Potensial/resiko infeksi<br />
9. Interaksi sosial terganggu<br />
10. Intoleransi aktifitas, dll sesuai respon klien<br />
1. Bersihan jalan napas tidak efektif<br />
Yaitu tertumpuknya sekresi atau adanya obstruksi pada saluran napas.<br />
Tanda-tandanya :<br />
• Bunyi napas yang abnormal<br />
• Batuk produktif atau non produktif<br />
• Cianosis<br />
• Dispnea<br />
• Perubahan kecepatan dan kedalaman pernapasan<br />
Kemungkinan faktor penyebab :<br />
• Sekresi yang kental atau benda asing yang menyebabkan obstruksi<br />
• Kecelakaan atau trauma (trakheostomi)<br />
• Nyeri abdomen atau nyeri dada yang mengurangi pergerakan dada<br />
• Obat-obat yang menekan refleks batuk dan pusat pernapasan<br />
• Hilangnya kesadaran akibat anasthesi<br />
• Hidrasi yang tidak adekuat, pembentukan sekresi yang kental dan sulit untuk di expektoran<br />
• Immobilisasi<br />
• Penyakit paru menahun yang memudahkan penumpukan sekresi<br />
2. Pola napas tidak efektif<br />
Yaitu respon pasien terhadap respirasi dengan jumlah suplay O2 kejaringan tidak adekuat<br />
Tanda-tandanya :<br />
• Dispnea<br />
• Peningkatan kecepatan pernapasan<br />
• Napas dangkal atau lambat<br />
• Retraksi dada<br />
• Pembesaran jari (clubbing finger)<br />
• Pernapasan melalui mulut<br />
• Penambahan diameter antero-posterior<br />
• Cianosis, flail chest, ortopnea<br />
• Vomitus<br />
• Ekspansi paru tidak simetris<br />
Kemungkinan faktor penyebab :<br />
• Tidak adekuatnya pengembangan paru akibat immobilisasi, obesitas, nyeri<br />
• Gangguan neuromuskuler seperti : tetraplegia, trauma kepala, keracunan obat anasthesi<br />
• Gangguan muskuloskeletal seperti : fraktur dada, trauma yang menyebabkan kolaps paru<br />
• CPPO seperti : empisema, obstruksi bronchial, distensi alveoli<br />
• Hipoventilasi akibat kecemasan yang tinggi<br />
• Obstruksi jalan napas seperti : infeksi akut atau alergi yang menyebabkan spasme bronchial atau oedema<br />
• Penimbunan CO2 akibat penyakit paru<br />
3. Gangguan pertukaran gas<br />
Yaitu perubahan asam basa darah sehingga terjadi asidosis respiratori dan alkalosis respiratori.<br />
4. Penurunan kardiak output<br />
Tanda-tandanya :<br />
• Kardiak aritmia<br />
• Tekanan darah bervariasi<br />
• Takikhardia atau bradikhardia<br />
• Cianosis atau pucat<br />
• Kelemahan, vatigue<br />
• Distensi vena jugularis<br />
• Output urine berkurang<br />
• Oedema<br />
• Masalah pernapasan (ortopnea, dispnea, napas pendek, rales dan batuk)<br />
Kemungkinan penyebab :<br />
• Disfungsi kardiak output akibat penyakit arteri koroner, penyakit jantung<br />
• Berkurangnya volume darah akibat perdarahan, dehidrasi, reaksi alergi dan reaksi kegagalan jantung<br />
• Cardiak arrest akibat gangguan elektrolit<br />
• Ketidakseimbangan elektrolit seperti kelebihan potassiom dalam darah<br />
<br />
VIII. RENCANA KEPERAWATAN<br />
1. Mempertahankan terbukanya jalan napas<br />
A. Pemasangan jalan napas buatan<br />
Jalan napas buatan (artificial airway) adalah suatu alat pipa (tube) yang dimasukkan ke dalam mulut atau hidung sampai pada tingkat ke-2 dan ke-3 dari lingkaran trakhea untuk memfasilitasi ventilasi dan atau pembuangan sekresi<br />
Rute pemasangan :<br />
• Orotrakheal : mulut dan trakhea<br />
• Nasotrakheal : hidung dan trakhea<br />
• Trakheostomi : tube dimasukkan ke dalam trakhea melalui suatu insisi yang diciptakan pada lingkaran kartilago ke-2 atau ke-3<br />
• Intubasi endotrakheal<br />
B. Latihan napas dalam dan batuk efektif<br />
Biasanya dilakukan pada pasien yang bedrest atau post operasi<br />
Cara kerja :<br />
• Pasien dalam posisi duduk atau baring<br />
• Letakkan tangan di atas dada<br />
• Tarik napas perlahan melalui hidung sampai dada mengembang<br />
• Tahan napas untuk beberapa detik<br />
• Keluarkan napas secara perlahan melalui mulut dampai dada berkontraksi<br />
• Ulangi langkah ke-3 sampai ke-5 sebanyak 2-3 kali<br />
• Tarik napas dalam melalui hidung kemudian tahan untuk beberapa detik lalu keluarkan secara cepat disertai batuk yang bersuara<br />
• Ulangi sesuai kemampuan pasien<br />
• Pada pasien pot op. Perawat meletakkan telapak tangan atau bantal pada daerah bekas operasi dan menekannya secara perlahan ketika pasien batuk, untuk menghindari terbukanya luka insisi dan mengurangi nyeri<br />
C. Posisi yang baik<br />
• Posisi semi fowler atau high fowler memungkinkan pengembangan paru maksimal karena isi abdomen tidak menekan diafragma<br />
• Normalnya ventilasi yang adekuat dapat dipertahankan melalui perubahan posisi, ambulasi dan latihan<br />
D. Pengisapan lendir (suctioning)<br />
Adalah suatu metode untuk melepaskan sekresi yang berlebihan pada jalan napas, suction dapat dilakukan pada oral, nasopharingeal, trakheal, endotrakheal atau trakheostomi tube.<br />
E. Pemberian obat bronkhodilator<br />
Adalah obat untuk melebarkan jalan napas dengan melawan oedema mukosa bronkhus dan spasme otot dan mengurangi obstruksi dan meningkatkan pertukaran udara.<br />
Obat ini dapat diberikan peroral, sub kutan, intra vena, rektal dan nebulisasi atau menghisap atau menyemprotkan obat ke dalam saluran napas.<br />
2. Mobilisasi sekresi paru<br />
A. Hidrasi<br />
Cairan diberikan 2±secara oral dengan cara menganjurkan pasien mengkonsumsi cairan yang banyak - 2,5 liter perhari, tetapi dalam batas kemampuan/cadangan jantung.<br />
B. Humidifikasi<br />
Pengisapan uap panas untuk membantu mengencerkan atau melarutkan lendir.<br />
C. Postural drainage<br />
Adalah posisi khuus yang digunakan agar kekuatan gravitasi dapat membantu di dalam pelepasan sekresi bronkhial dari bronkhiolus yang bersarang di dalam bronkhus dan trakhea, dengan maksud supaya dapat membatukkan atau dihisap sekresinya.<br />
Biasanya dilakukan 2 - 4 kali sebelum makan dan sebelum tidur / istirahat.<br />
Tekniknya :<br />
• Sebelum postural drainage, lakukan :<br />
- Nebulisasi untuk mengalirkan sekret<br />
- Perkusi sekitar 1 - 2 menit<br />
- Vibrasi 4 - 5 kali dalam satu periode<br />
• Lakukan postural drainage, tergantung letak sekret dalam paru.<br />
3. Mempertahankan dan meningkatkan pengembangan paru<br />
A. Latihan napas<br />
Adalah teknik yang digunakan untuk menggantikan defisit pernapasan melalui peningkatan efisiensi pernapasan yang bertujuan penghematan energi melalui pengontrolan pernapasan<br />
Jenis latihan napas :<br />
• Pernapasan diafragma<br />
• Pursed lips breathing<br />
• Pernapasan sisi iga bawah<br />
• Pernapasan iga dan lower back<br />
• Pernapasan segmental<br />
B. Pemasangan ventilasi mekanik<br />
Adalah alat yang berfungsi sebagai pengganti tindakan pengaliran / penghembusan udara ke ruang thoraks dan diafragma. Alat ini dapat mempertahankan ventilasi secara otomatis dalam periode yang lama.<br />
Ada dua tipe yaitu ventilasi tekanan negatif dan ventilasi tekanan positif.<br />
C. Pemasangan chest tube dan chest drainage<br />
Chest tube drainage / intra pleural drainage digunakan setelah prosedur thorakik, satu atau lebih chest kateter dibuat di rongga pleura melalui pembedahan dinding dada dan dihubungkan ke sistem drainage.<br />
Indikasinya pada trauma paru seperti : hemothoraks, pneumothoraks, open pneumothoraks, flail chest.<br />
Tujuannya :<br />
• Untuk melepaskan larutan, benda padat, udara dari rongga pleura atau rongga thoraks dan rongga mediastinum<br />
• Untuk mengembalikan ekspansi paru dan menata kembali fungsi normal kardiorespirasi pada pasien pasca operasi, trauma dan kondisi medis dengan membuat tekanan negatif dalam rongga pleura.<br />
Tipenya :<br />
a. The single bottle water seal system<br />
b. The two bottle water<br />
c. The three bottle water<br />
4. Mengurangi / mengoreksi hipoksia dan kompensasi tubuh akibat hipoksia<br />
Dengan pemberian O2 dapat melalui :<br />
• Nasal canule<br />
• Bronkhopharingeal khateter<br />
• Simple mask<br />
• Aerosol mask / trakheostomy collars<br />
• ETT (endo trakheal tube)<br />
5. Meningkatkan transportasi gas dan Cardiak Output<br />
Dengan resusitasi jantung paru (RJP), yang mencakup tindakan ABC, yaitu :<br />
A : Air way adalah mempertahankan kebersihan atau membebaskan jalan napas<br />
B : Breathing adalah pemberian napas buatan melalui mulut ke mulut atau mulut ke hidung<br />
C : Circulation adalah memulai kompresi jantung atau memberikan sirkulasi buatan<br />
Jadi secara umum intervensi keperawatan mencakup di dalamnya :<br />
a. Health promotion<br />
• Ventilasi yang memadai<br />
• Hindari rokok<br />
• Pelindung / masker saat bekerja<br />
• Hindari inhaler, tetes hidung, spray (yang dapat menekan nervus 1)<br />
• Pakaian yang nyaman<br />
b. Health restoration and maintenance<br />
• Mempertahankan jalan napas dengan upaya mengencerkan sekret<br />
• Teknik batuk dan postural drainage<br />
• Suctioning<br />
• Menghilangkan rasa takut dengan penjelasan, posisi fowler/semi fowler, significant other<br />
• Mengatur istirahat dan aktifitas dengan memberikan HE yang bermanfaat, fasilitasi lingkungan, tingkatkan rasa nyaman, terapi yang sesuai, ROM<br />
• Mengurangi usaha bernapas dengan ventilasi yang memeadai, pakaian tipis dan hangat, hindari makan berlebih dan banyak mengandung gas, atur posisi<br />
• Mempertahankan nutrisi dan hidrasi juga dengan oral hygiene dan makanan yang mudah dikunyah dan dicerna<br />
• Mempertahankan eliminasi dengan memberikan makanan berserat dan ajarkan latihan<br />
• Mencegah dan mengawasi potensial infeksi dengan menekankan prinsip medikal asepsis<br />
• Terapi O2<br />
• Terapi ventilasi<br />
• Drainage dada<br />
<br />
IX. IMPLEMENTASI KEPERAWATAN DAN EVALUASI<br />
Implementasi keperawatan sesuai dengan intervensi dan evaluasi dilakukan sesuai tujuan dan kriteria termasuk di dalamnya evaluasi proses. <br />
<br />
Daftar Pustaka <br />
http://iwansain.wordpress.com/2007/08/22/kebutuhan-oksigenasi/Puspo Widianotohttp://www.blogger.com/profile/18352577488779133633noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4942725209072240234.post-90987115041522933102011-06-12T22:54:00.000-07:002011-06-12T22:54:05.820-07:00TATA CARA SHOLAT DAN BACAAN-BACAANNYATATA CARA SHOLAT & <br />
BACAAN-BACAANNYA<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
1.TAKBIRATUL IHROM <br />
<br />
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam selalu memulai sholatnya (dilakukan hanya sekali ketika hendak memulai suatu sholat) dengan takbiratul ihrom yakni mengucapkan Allahu Akbar di awal sholat dan beliau pun pernah memerintahkan seperti itu kepada orang yang sholatnya salah. Beliau bersabda kepada orang itu: <br />
<br />
"Sesungguhnya sholat seseorang tidak sempurna sebelum dia berwudhu' dan melakukan wudhu' sesuai ketentuannya, kemudian ia mengucapkan Allahu Akbar." <br />
(Hadits diriwayatkan oleh Al Imam Thabrani dengan sanad shahih). <br />
<br />
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: <br />
<br />
"Apabila engkau hendak mengerjakan sholat, maka sempurnakanlah wudhu'mu terlebih dahulu kemudian menghadaplah ke arah kiblat, lalu ucapkanlah takbiratul ihrom." <br />
(Muttafaqun 'alaihi). <br />
<br />
Takbirotul ihrom diucapkan dengan lisan <br />
<br />
Takbirotul ihrom tersebut harus diucapkan dengan lisan (bukan diucapkan di dalam hati). <br />
<br />
Muhammad Ibnu Rusyd berkata, "Adapun seseorang yang membaca dalam hati, tanpa menggerakkan lidahnya, maka hal itu tidak disebut dengan membaca. Karena yang disebut dengan membaca adalah dengan melafadzkannya di mulut." <br />
<br />
An Nawawi berkata, "…adapun selain imam, maka disunnahkan baginya untuk tidak mengeraskan suara ketika membaca lafadz tabir, baik apakah dia sedang menjadi makmum atau ketika sholat sendiri. Tidak mengeraskan suara ini jika dia tidak menjumpai rintangan, seperti suara yang sangat gaduh. Batas minimal suara yang pelan adalah bisa didengar oleh dirinya sendiri jika pendengarannya normal. Ini berlaku secara umum baik ketika membaca ayat-ayat al Qur-an, takbir, membaca tasbih ketika ruku', tasyahud, salam dan doa-doa dalam sholat baik yang hukumnya wajib maupun sunnah…" beliau melanjutkan, "Demikianlah nash yang dikemukakan Syafi'i dan disepakati oleh para pengikutnya. Asy Syafi'i berkata dalam al Umm, 'Hendaklah suaranya bisa didengar sendiri dan orang yang berada disampingnya. Tidak patut dia menambah volume suara lebih dari ukuran itu.'." (al Majmuu' III/295). <br />
<br />
MENGANGKAT KEDUA TANGAN <br />
<br />
Disunnahkan mengangkat kedua tangannya setentang bahu (lihat gambar) ketika bertakbir dengan merapatkan jari-jemari tangannya, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar radiyallahu anhuma, ia berkata: <br />
<br />
"Rasulullah shallallahu alaihi wasallam biasa mengangkat kedua tangannya setentang bahu jika hendak memulai sholat, setiap kali bertakbir untuk ruku' dan setiap kali bangkit dari ruku'nya." <br />
(Muttafaqun 'alaihi). <br />
<br />
Atau mengangkat kedua tangannya setentang telinga (lihat gambar), berdasarkan hadits riwayat Malik bin Al-Huwairits radhiyyallahu anhu, ia berkata: <br />
<br />
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam biasa mengangkat kedua tangannya setentang telinga setiap kali bertakbir (didalam sholat)." <br />
(HR. Muslim). <br />
<br />
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah, Tamam dan Hakim disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengangkat kedua tangannya dengan membuka jari-jarinya lurus ke atas (tidak merenggangkannya dan tidak pula menggengamnya). (Shifat Sholat Nabi). <br />
<br />
BERSEDEKAP <br />
<br />
Kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wasallam meletakkan tangan kanan di atas tangan kirinya (bersedekap). Beliau bersabda: <br />
<br />
"Kami, para nabi diperintahkan untuk segera berbuka dan mengakhirkan sahur serta meletakkan tangan kanan pada tangan kiri (bersedekap) ketika melakukan sholat." <br />
(Hadits diriwayatkan oleh Al Imam Ibnu Hibban dan Adh Dhiya' dengan sanad shahih). <br />
<br />
Dalam sebuah riwayat pernah beliau melewati seorang yang sedang sholat, tetapi orang ini meletakkan tangan kirinya pada tangan kanannya, lalu beliau melepaskannya, kemudian orang itu meletakkan tangan kanannya pada tangan kirinya. (Hadits riwayat Ahmad dan Abu Dawud dengan sanad yang shahih). <br />
<br />
Meletakkan atau menggenggam <br />
<br />
Beliau shallallahu 'alaihi wasallam meletakkan lengan kanan pada punggung telapak kirinya, pergelangan dan lengan kirinya (lihat gambar) berdasar hadits dari Wail bin Hujur: <br />
<br />
"Lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bertakbir kemudian meletakkan tangan kanannya di atas telapak tangan kiri, pergelangan tangan kiri atau lengan kirinya." <br />
(Hadits diriwayatkan oleh Al Imam Abu Dawud, Nasa'i, Ibnu Khuzaimah, dengan sanad yang shahih dan dishahihkan pula oleh Ibnu Hibban, hadits no. 485). <br />
<br />
Beliau terkadang juga menggenggam pergelangan tangan kirinya dengan tangan kanannya (lihat gambar) , berdasarkan hadits Nasa'i dan Daraquthni: <br />
<br />
"Tetapi beliau terkadang menggenggamkan jari-jari tangan kanannya pada lengan kirinya." <br />
(sanad shahih). <br />
<br />
Bersedekap di dada <br />
<br />
Menyedekapkan tangan di dada adalah perbuatan yang benar menurut sunnah berdasarkan hadits: <br />
<br />
"Beliau meletakkan kedua tangannya di atas dadanya." <br />
(Hadits diriwayatkan oleh Al Imam Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah, Ahmad dari Wail bin Hujur). <br />
<br />
Cara-cara yang sesuai sunnah ini dilakukan oleh Imam Ishaq bin Rahawaih. Imam Mawarzi dalam Kitab Masa'il, halaman 222 berkata: "Imam Ishaq meriwayatkan hadits secara mutawatir kepada kami…. Beliau mengangkat kedua tangannya ketika berdo'a qunut dan melakukan qunut sebeluim ruku'. Beliau menyedekapkan tangannya berdekatan dengan teteknya." Pendapat yang semacam ini juga dikemukakan oleh Qadhi 'Iyadh al Maliki dalam bab Mustahabatu ash Sholat pada Kitab Al I'lam, beliau berkata: "Dia meletakkan tangan kanan pada punggung tangan kiri di dada." <br />
<br />
MEMANDANG TEMPAT SUJUD <br />
<br />
Pada saat mengerjakan sholat, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menundukkan kepalanya dan mengarahkan pandangannya ke tempat sujud. Hal ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Ummul Mukminin 'Aisyah radhiyallahu 'anha: <br />
<br />
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tidak mengalihkan pandangannya dari tempat sujud (di dalam sholat)." <br />
(HR. Baihaqi dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani). <br />
<br />
Larangan menengadah ke langit <br />
<br />
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang keras menengadah ke langit (ketika sholat). Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: <br />
<br />
"Hendaklah sekelompok orang benar-benar menghentikan pandangan matanya yang terangkat ke langit ketika berdoa dalam sholat atau hendaklah mereka benar-benar menjaga pandangan mata mereka." <br />
(HR. Muslim, Nasa'i dan Ahmad). <br />
<br />
Rasulullah juga melarang seseorang menoleh ke kanan atau ke kiri ketika sholat, beliau bersabda: <br />
<br />
"Jika kalian sholat, janganlah menoleh ke kanan atau ke kiri karena Allah akan senantiasa menghadapkan wajah-Nya kepada hamba yang sedang sholat selama ia tidak menoleh ke kanan atau ke kiri." <br />
(HR. Tirmidzi dan Hakim). <br />
<br />
Dalam Zaadul Ma'aad (I/248) disebutkan bahwa makruh hukumnya orang yang sedang sholat menolehkan kepalanya tanpa ada keperluan. Ibnu Abdil Bar berkata, "Jumhur ulama mengatakan bawa menoleh yang ringan tidak menyebabkan shalat menjadi rusak." <br />
<br />
Juga dimakruhkan shalat dihadapan sesuatu yang bisa merusak konsentrasi atau di tempat yang ada gambar-gambarnya, diatas sajadah yang ada lukisan atau ukiran, dihadapan dinding yang bergambar dan sebagainya. <br />
<br />
2.MEMBACA DO'A ISTIFTAH <br />
<br />
Doa istiftah yang dibaca oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bermacam-macam. Dalam doa istiftah tersebut beliau shallallahu 'alaihi wasallam mengucapkan pujian, sanjungan dan kalimat keagungan untuk Allah. <br />
<br />
Beliau pernah memerintahkan hal ini kepada orang yang salah melakukan sholatnya dengan sabdanya: <br />
<br />
"Tidak sempurna sholat seseorang sebelum ia bertakbir, mengucapkan pujian, mengucapkan kalimat keagungan (doa istiftah), dan membaca ayat-ayat al Qur-an yang dihafalnya…" (HR. Abu Dawud dan Hakim, disahkan oleh Hakim, disetujui oleh Dzahabi). <br />
<br />
Adapun bacaan doa istiftah yang diajarkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam diantaranya adalah: <br />
<br />
"ALLAHUUMMA BA'ID BAINII WA BAINA KHATHAAYAAYA KAMAA BAA'ADTA BAINAL MASYRIQI WAL MAGHRIBI, ALLAAHUMMA NAQQINII MIN KHATHAAYAAYA KAMAA YUNAQQATS TSAUBUL ABYADHU MINAD DANAS. ALLAAHUMMAGHSILNII BIL MAA'I WATS TSALJI WAL BARADI" <br />
<br />
artinya: <br />
<br />
"Ya, Allah, jauhkanlah antara aku dan kesalahan-kesalahanku sebagaimana Engkau menjauhkan antara timur dan barat. Ya, Allah, bersihkanlah kau dari kesalahan-kesalahanku sebagaimana baju putih dibersihkan dari kotoran. Ya, Allah cucilah aku dari kesalahan-kesalahanku dengan air, salju dan embun." (HR. Bukhari, Muslim dan Ibnu Abi Syaibah). <br />
<br />
Atau kadang-kadang Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga membaca dalam sholat fardhu: <br />
<br />
"WAJJAHTU WAJHIYA LILLADZII FATARAS SAMAAWAATI WAL ARDHA HANIIFAN [MUSLIMAN] WA MAA ANA MINAL MUSYRIKIIN. INNA SHOLATII WANUSUKII WAMAHYAAYA WAMAMAATII LILLAHI RABBIL 'ALAMIIN. LAA SYARIIKALAHU WABIDZALIKA UMIRTU WA ANA AWWALUL MUSLIMIIN. ALLAHUMMA ANTAL MALIKU, LAA ILAAHA ILLA ANTA [SUBHAANAKA WA BIHAMDIKA] ANTA RABBII WA ANA 'ABDUKA, DHALAMTU NAFSII, WA'TARAFTU BIDZAMBI, FAGHFIRLII DZAMBI JAMII'AN, INNAHU LAA YAGHFIRUDZ DZUNUUBA ILLA ANTA. WAHDINII LI AHSANIL AKHLAAQI LAA YAHDII LI AHSANIHAA ILLA ANTA, WASHRIF 'ANNII SAYYI-AHAA LAA YASHRIFU 'ANNII SAYYI-AHAA ILLA ANTA LABBAIKA WA SA'DAIKA, WAL KHAIRU KULLUHU FII YADAIKA. WASY SYARRULAISA ILAIKA. [WAL MAHDIYYU MAN HADAITA]. ANA BIKA WA ILAIKA [LAA MANJAA WALAA MALJA-A MINKA ILLA ILAIKA. TABAARAKTA WA TA'AALAITA ASTAGHFIRUKA WAATUUBU ILAIKA" <br />
<br />
yang artinya: <br />
<br />
"Aku hadapkan wajahku kepada Pencipta seluruh langit dan bumu dengan penuh kepasrahan dan aku bukanlah termasuk orang-orang musyrik. Sholatku, ibadahku, hidupku dan matiku semata-mata untuk Allah, Rabb semesta alam, tiada sesuatu pun yang menyekutui-Nya. Demikianlah aku diperintah dan aku termasuk orang yang pertama-tama menjadi muslim. Ya Allah, Engkaulah Penguasa, tiada Ilah selain Engkau semata-mata. [Engkau Mahasuci dan Mahaterpuji], Engkaulah Rabbku dan aku hamba-Mu, aku telah menganiaya diriku dan aku mengakui dosa-dosaku, maka ampunilah semua dosaku. Sesungguhnya hanya Engkaulah yang berhak mengampuni semua dosa. Berilah aku petunjuk kepada akhlaq yang paling baik, karena hanya Engkaulah yang dapat memberi petunjuk kepada akhlaq yang terbaik dan jauhkanlah diriku dari akhlaq buruk. Aku jawab seruan-Mu, sedang segala keburukan tidak datang dari-Mu. [Orang yang terpimpin adalah orang yang Engkau beri petunjuk]. Aku berada dalam kekuasaan-Mu dan akan kembali kepada-Mu, [tiada tempat memohon keselamatan dan perlindungan dari siksa-Mu kecuali hanya Engkau semata]. Engkau Mahamulia dan Mahatinggi, aku mohon ampun kepada-Mu dan bertaubat kepada-Mu." <br />
(Hadits diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari, Muslim dan Ibnu Abi Syaibah) <br />
<br />
3.MEMBACA TA'AWWUDZ <br />
<br />
Membaca doa ta'awwudz adalah disunnahkan dalam setiap raka'at, sebagaimana firman Allah ta'ala: <br />
<br />
"Apabila kamu membaca al Qur-an hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk." (An Nahl : 98). <br />
<br />
Dan pendapat ini adalah yang paling shahih dalam madzhab Syafi'i dan diperkuat oleh Ibnu Hazm (Lihat al Majmuu' III/323 dan Tamaam al Minnah 172-177). <br />
<br />
Nabi biasa membaca ta'awwudz yang berbunyi: <br />
<br />
"A'UUDZUBILLAHI MINASY SYAITHAANIR RAJIIM “<br />
artinya: <br />
<br />
"Aku berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk, dari semburannya (yang menyebabkn gila), dari kesombongannya, dan dari hembusannya (yang menyebabkan kerusakan akhlaq)." <br />
(Hadits diriwayatkan oleh Al Imam Abu Dawud, Ibnu Majah, Daraquthni, Hakim dan dishahkan olehnya serta oleh Ibnu Hibban dan Dzahabi). <br />
<br />
<br />
<br />
4. MEMBACA AL FATIHAH <br />
<br />
Hukum Membaca Al-Fatihah <br />
<br />
Membaca Al-Fatihah merupakan salah satu dari sekian banyak rukun sholat, jadi kalau dalam sholat tidak membaca Al-Fatihah maka tidak sah sholatnya berdasarkan perkataan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam (yang artinya): <br />
<br />
"Tidak dianggap sholat (tidak sah sholatnya) bagi yang tidak membaca Al-Fatihah" <br />
(Hadits Shahih dikeluarkan oleh Al-Jama'ah: yakni Al-Imam Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa-i dan Ibnu Majah). <br />
<br />
"Barangsiapa yang sholat tanpa membaca Al-Fatihah maka sholatnya buntung, sholatnya buntung, sholatnya buntung…tidak sempurna" <br />
(Hadits Shahih dikeluarkan oleh Al-Imam Muslim dan Abu 'Awwanah). <br />
<br />
Kapan Kita Wajib Membaca Surat Al-Fatihah <br />
<br />
Jelas bagi kita kalau sedang sholat sendirian (munfarid) maka wajib untuk membaca Al-Fatihah, begitu pun pada sholat jama'ah ketika imam membacanya secara sirr (tidak diperdengarkan) yakni pada sholat Dhuhur, 'Ashr, satu roka'at terakhir sholat Mahgrib dan dua roka'at terakhir sholat 'Isyak, maka para makmum wajib membaca surat Al-Fatihah tersebut secara sendiri-sendiri secara sirr (tidak dikeraskan). <br />
<br />
Lantas bagaimana kalau imam membaca secara keras…? <br />
<br />
Tentang ini Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa pernah Rasulullah melarang makmum membaca surat dibelakang imam kecuali surat Al-Fatihah: <br />
<br />
"Betulkah kalian tadi membaca (surat) dibelakang imam kalian?" Kami menjawab: "Ya, tapi dengan cepat wahai Rasulallah." Berkata Rasul: "Kalian tidak boleh melakukannya lagi kecuali membaca Al-Fatihah, karena tidak ada sholat bagi yang tidak membacanya." <br />
(Hadits dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhori, Abu Dawud, dan Ahmad, dihasankan oleh At-Tirmidzi dan Ad-Daraquthni) <br />
<br />
Selanjutnya beliau shallallahu 'alaihi wa sallam melarang makmum membaca surat apapun ketika imam membacanya dengan jahr (diperdengarkan) baik itu Al-Fatihah maupun surat lainnya. Hal ini selaras dengan keterangan dari Al-Imam Malik dan Ahmad bin Hanbal tentang wajibnya makmum diam bila imam membaca dengan jahr/keras. Berdasar arahan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam: <br />
<br />
Dari Abu Hurairah, ia berkata: Telah berkata Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam :"Dijadikan imam itu hanya untuk diikuti. Oleh karena itu apabila imam takbir, maka bertakbirlah kalian, dan apabila imam membaca, maka hendaklah kalian diam (sambil memperhatikan bacaan imam itu)…" <br />
(Hadits Shahih dikeluarkan oleh Imam Ahmad, Abu Dawud no. 603 & 604. Ibnu Majah no. 846, An-Nasa-i. Imam Muslim berkata: Hadits ini menurut pandanganku Shahih). <br />
<br />
"Barangsiapa sholat mengikuti imam (bermakmum), maka bacaan imam telah menjadi bacaannya juga." <br />
(Hadits dikeluarkan oleh Imam Ibnu Abi Syaibah, Ad-Daraquthni, Ibnu Majah, Thahawi dan Ahmad lihat kitab Irwa-ul Ghalil oleh Syaikh Al-Albani). <br />
<br />
Dari Abu Hurairah, sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sesudah mendirikan sholat yang beliau keraskan bacaanya dalam sholat itu, beliau bertanya: "Apakah ada seseorang diantara kamu yang membaca bersamaku tadi?" Maka seorang laki-laki menjawab, "Ya ada, wahai Rasulullah." Kemudian beliau berkata, "Sungguh aku katakan: Mengapakah (bacaan)ku ditentang dengan Al-Qur-an (juga)." Berkata Abu Hurairah, kemudian berhentilah orang-orang dari membaca bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pada sholat-sholat yang Rasulullah keraskan bacaannya, ketika mereka sudah mendengar (larangan) yang demikian itu dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. <br />
(Hadits dikeluarkan oleh Abu Dawud, At Tirmidzi, An Nasa-i dan Malik. Abu Hatim Ar Razi menshahihkannya, Imam Tirmidzi mengatakan hadits ini hasan). <br />
<br />
Hadits-hadits tersebut merupakan dalil yang tegas dan kuat tentang wajib diamnya makmum apabila mendengar bacaan imam, baik Al-Fatihahnya maupun surat yang lain. Selain itu juga berdasarkan firman Allah Ta'ala (yang artinya): <br />
<br />
"Dan apabila dibacakan Al-Qur-an hendaklah kamu dengarkan ia dan diamlah sambil memperhatikan (bacaannya), agar kamu diberi rahmat." (Al-A'raaf : 204). <br />
<br />
Ayat ini asalnya berbentuk umum yakni dimana saja kita mendengar bacaan Al-Qur-an, baik di dalam sholat maupun di luar sholat wajib diam mendengarkannya walaupun sebab turunnya berkenaan tentang sholat. Tetapi keumuman ayat ini telah menjadi khusus dan tertentu (wajibnya) hanya untuk sholat, sebagaimana telah diterangkan oleh Ibnu Abbas, Mujahid, Sa'id bin Jubair, Adh Dhohak, Qotadah, Ibarahim An Nakha-i, Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dan lain-lain. Lihat Tafsir Ibnu Katsir II/280-281. <br />
<br />
Cara Membaca Al Fatihah <br />
<br />
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam membaca surat Al-Fatihah pada setiap roka'at. Membacanya dengan berhenti pada setiap akhir ayat (waqof), tidak menyambung satu ayat dengan ayat berikutnya (washol) berdasarkan hadits riwayat Abu Dawud, Sahmi dan 'Amr Ad Dani, dishahihkan oleh Hakim, disetujui Adz-Dzahabi. <br />
<br />
Jadi bunyinya: <br />
<br />
Bismillahirahmanirahim ,<br />
alhamdulillahirabbilalamin , arrahmanirahim, Maaliki yaumiddiin,Iyyaka nabudu waiyyaaka nastaiin, Ihdinashirratal mustaqim, shiratalladzina an’amta alaihim ghairil maghduubi alaihim waladhaalin, amiin.<br />
<br />
Terkadang beliau membaca: ( MAALIKI YAUMIDDIIN ) <br />
<br />
Atau dengan memendekkan bacaan 'maa' menjadi: ( MALIKI YAUMIDDIIN ), Berdasarkan riwayat yang mutawatir dikeluarkan oleh Tamam Ar Razi, Ibnu Abi Dawud, Abu Nu'aim, dan Al Hakim. Hakim menshahihkannya, dan disetujui oleh Adz-Dzahabi. <br />
<br />
Seandainya Seseorang Belum Hafal Al-Fatihah <br />
<br />
Bagi seseorang yang belum hafal Al Fatihah terutama bagi yang baru masuk Islam, tentu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberikan solusinya. Nasehatnya untuk orang yang belum hafal Al-Fatihah (tentunya dia tak berhak jadi Imam): <br />
<br />
Ucapkanlah: <br />
<br />
SUBHANALLAHI, WALHAMDULILLAHI, WA LAA ILAHA ILLALLAHU, WALLAHU AKBAR, WALAA HAULA WALAA QUWWATA ILLA BILLAHI <br />
<br />
artinya: <br />
<br />
"Maha Suci Allah, Segala puji milik Allah, tiada Ilah (yang haq) kecuali Allah, Allah Maha Besar, Tiada daya dan kekuatan kecuali karena pertolongan Allah." <br />
(Hadits Shahih dikeluarkan oleh Al-Imam Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah, Hakim, Thabrani dan Ibnu Hibban disahihkan oleh Hakim dan disetujui oleh Ad-Dzahabi). <br />
<br />
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam juga bersabda: <br />
<br />
"Jika kamu hafal suatu ayat Al-Qur-an maka bacalah ayat tersebut, jika tidak maka bacalah Tahmid, Takbir dan Tahlil." <br />
(Hadits dikeluarkan oleh Abu Dawud dan At-Tirmidzi dihasankan oleh At-Tirmidzi, tetapi sanadnya shahih, baca Shahih Abi Dawud hadits no. 807). <br />
<br />
<br />
<br />
MEMBACA AMIN <br />
<br />
Hukum Bagi Imam: <br />
<br />
Membaca amin disunnahkan bagi imam sholat. <br />
<br />
Dari Abu hurairah, dia berkata: "Dulu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, jika selesai membaca surat Ummul Kitab (Al-Fatihah) mengeraskan suaranya dan membaca amin." <br />
(Hadits dikeluarkan oleh Imam Ibnu Hibban, Al-Hakim, Al-Baihaqi, Ad-Daraquthni dan Ibnu Majah, oleh Al-Albani dalam Al-Silsilah Al-Shahihah dikatakan sebagai hadits yang berkualitas shahih) <br />
<br />
"Bila Nabi selesai membaca Al-Fatihah (dalam sholat), beliau mengucapkan amiin dengan suara keras dan panjang." <br />
(Hadits shahih dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Abu Dawud) <br />
<br />
Hadits tersebut mensyari'atkan para imam untuk mengeraskan bacaan amin, demikian yang menjadi pendapat Al-Imam Al-Bukhari, As-Syafi'i, Ahmad, Ishaq dan para imam fikih lainnya. Dalam shahihnya Al-Bukhari membuat suatu bab dengan judul 'baab jahr al-imaan bi al-ta-miin' (artinya: bab tentang imam mengeraskan suara ketika membaca amin). Didalamnya dinukil perkataan (atsar) bahwa Ibnu Al-Zubair membaca amin bersama para makmum sampai seakan-akan ada gaung dalam masjidnya. <br />
<br />
Juga perkataan Nafi' (maula Ibnu Umar): Dulu Ibnu Umar selalu membaca aamiin dengan suara yang keras. Bahkan dia menganjurkan hal itu kepada semua orang. Aku pernah mendengar sebuah kabar tentang anjuran dia akan hal itu." <br />
<br />
Hukum Bagi Makmum: <br />
<br />
Dalam hal ini ada beberapa petunjuk dari Nabi (Hadits), atsar para shahabat dan perkataan para ulama. <br />
<br />
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berkata: "Jika imam membaca amiin maka hendaklah kalian juga membaca amiin." <br />
<br />
Hal ini mengisyaratkan bahwa membaca amiin itu hukumnya wajib bagi makmum. Pendapat ini dipertegas oleh Asy-Syaukani. Namun hukum wajib itu tidak mutlak harus dilakukan oleh makmum. Mereka baru diwajibkan membaca amiin ketika imam juga membacanya. Adapun bagi imam dan orang yang sholat sendiri, maka hukumnya hanya sunnah. (lihat Nailul Authaar, II/262). <br />
<br />
"Bila imam selesai membaca ghoiril maghdhuubi 'alaihim waladhdhooolliin, ucapkanlah amiin [karena malaikat juga mengucapkan amiin dan imam pun mengucapkan amiin]. Dalam riwayat lain: "(apabila imam mengucapkan amiin, hendaklah kalian mengucapkan amiin) barangsiapa ucapan aminnya bersamaan dengan malaikat, (dalam riwayat lain disebutkan: "bila seseorang diantara kamu mengucapkan amin dalam sholat bersamaan dengan malaikat dilangit mengucapkannya), dosa-dosanya masa lalu diampuni." <br />
(Hadits dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari, Muslim, An-Nasa-i dan Ad-Darimi) <br />
<br />
Syaikh Al-Albani mengomentari masalah ini sebagai berikut: <br />
"Aku berkata: Masalah ini harus diperhatikan dengan serius dan tidak boleh diremehkan dengan cara meninggalkannya. Termasuk kesempurnaan dalam mengerjakan masalah ini adalah dengan membarengi bacaan amin sang imam, dan tidak mendahuluinya. (Tamaamul Minnah hal. 178) <br />
<br />
BACAAN SURAT SETELAH AL FATIHAH <br />
<br />
Membaca surat Al Qur-an setelah membaca Al Fatihah dalan sholat hukumnya sunnah karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam membolehkan tidak membacanya. Membaca surat Al-Qur-an ini dilakukan pada dua roka'at pertama. Banyak hadits yang menceritakan perbuatan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tentang itu. <br />
<br />
Panjang pendeknya surat yang dibaca <br />
<br />
Pada sholat munfarid Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam membaca surat-surat yang panjang kecuali dalam kondisi sakit atau sibuk, sedangkan kalau sebagai imam disesuaikan dengan kondisi makmumnya (misalnya ada bayi yang menangis maka bacaan diperpendek). <br />
<br />
Rasulullah berkata: <br />
<br />
"Aku melakukan sholat dan aku ingin memperpanjang bacaannya akan tetapi, tiba-tiba aku mendengar suara tangis bayi sehingga aku memperpendek sholatku karena aku tahu betapa gelisah ibunya karena tangis bayi itu." <br />
(Hadits dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Muslim) <br />
<br />
Cara membaca surat <br />
<br />
Dalam satu sholat terkadang beliau membagi satu surat dalam dua roka'at, kadang pula surat yang sama dibaca pada roka'at pertama dan kedua. (berdasar hadits yang dikeluarkan oleh Al-Imam Ahmad dan Abu Ya'la, juga hadits shahih yang dikeluarkan oleh Al-Imam Abu Dawud dan Al-Baihaqi atau riwayat dari Ahmad, Ibnu Khuzaimah dan Al-Hakim, disahkan oleh Al-Hakim disetujui oleh Ad-Dzahabi) <br />
<br />
Terkadang beliau membolehkan membaca dua surat atau lebih dalam satu roka'at.(Berdasar hadits yang dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan At-Tirmidzi, dinyatakan oleh At-Tirmidzi sebagai hadits shahih) <br />
<br />
Tata cara bacaan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam <br />
<br />
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam biasanya membaca surat dengan jumlah ayat yang berimbang antara roka'at pertama dengan roka'at kedua. (berdasar hadits shahih dikeluarkan oleh Al-Bukhari dan Muslim) <br />
<br />
Dalam sholat yang bacaannya di-jahr-kan Nabi membaca dengan keras dan jelas. Tetapi pada sholat dzuhur dan ashar juga pada sholat maghrib pada roka'at ketiga ataupun dua roka'at terakhir sholat isya' Nabi membacanya dengan lirih yang hanya bisa diketahui kalau Nabi sedang membaca dari gerakan jenggotnya, tetapi terkadang beliau memperdengarkan bacaannya kepada mereka tapi tidak sekeras seperti ketika di-jahr-kan. (Berdasarkan hadits yang dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari, Muslim dan Abu Dawud) <br />
<br />
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sering membaca suatu surat dari awal sampai selesai selesai. Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam berkata: <br />
<br />
"Berikanlah setiap surat haknya, yaitu dalam setiap (roka'at) ruku' dan sujud." <br />
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Ibnu Abi Syaibah, Ahmad dan 'Abdul Ghani Al-Maqdisi) <br />
<br />
Dalam riwayat lain disebutkan: <br />
<br />
"Untuk setiap satu surat (dibaca) dalam satu roka'at." <br />
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Ibnu Nashr dan At-Thohawi) <br />
<br />
Dijelaskan oleh Syaikh Al-Albani: "Seyogyanya kalian membaca satu surat utuh dalam setiap satu roka'at sehingga roka'at tersebut memperoleh haknya dengan sempurna." Perintah dalam hadits tersebut bersifat sunnah bukan wajib. <br />
<br />
Dalam membaca surat Al-Qur-an Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melakukannya dengan tartil, tidak lambat juga tidak cepat -sebagaimana diperintahkan oleh Allah- dan beliau membaca satu per satu kalimat, sehingga satu surat memerlukan waktu yang lebih panjang dibanding kalau dibaca biasa (tanpa dilagukan). Rasulullah berkata bahwa orang yang membaca Al-Qur-an kelak akan diseru: <br />
<br />
"Bacalah, telitilah dan tartilkan sebagaimana kamu dulu mentartilkan di dunia, karena kedudukanmu berada di akhir ayat yang engkau baca." <br />
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Abu Dawud dan At-Tirmidzi, dishahihkan oleh At-Tirmidzi) <br />
<br />
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam membaca surat Al-Qur-an dengan suara yang bagus, maka beliau juga memerintahkan yang demikian itu: <br />
<br />
"Perindahlah/hiasilah Al-Qur-an dengan suara kalian [karena suara yang bagus menambah keindahan Al-Qur-an]." <br />
(Hadits dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari , Abu Dawud, Ad-Darimi, Al-Hakim dan Tamam Ar-Razi) <br />
<br />
"Bukanlah dari golongan kami orang yang tidak melagukan Al-Qur-an." <br />
(Hadits dikeluarkan oleh Abu Dawud dan Al-Hakim, dishahihkan oleh Al-Hakim dan disetujui oleh Adz-Dzahabi) <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
RUKU' <br />
<br />
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam setelah selesai membaca surat dari Al-Qur-an kemudian berhenti sejenak, terus mengangkat kedua tangannya sambil bertakbir seperti ketika takbiratul ihrom (setentang bahu atau daun telinga) kemudian rukuk (merundukkan badan kedepan dipatahkan pada pinggang, dengan punggung dan kepala lurus sejajar lantai). Berdasarkan beberapa hadits, salah satunya adalah: <br />
<br />
Dari Abdullah bin Umar, ia berkata: "Aku melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam apabila berdiri dalam sholat mengangkat kedua tangannya sampai setentang kedua bahunya, hal itu dilakukan ketika bertakbir hendak rukuk dan ketika mengangkat kepalanya (bangkit) dari ruku' …." <br />
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Al-Bukhari, Muslim dan Malik) <br />
<br />
Cara Ruku' <br />
<br />
> Bila Rasulullah ruku' maka beliau meletakkan telapak tangannya pada lututnya, demikian beliau juga memerintahkan kepada para shahabatnya. <br />
<br />
"Bahwasanya shallallahu 'alaihi wa sallam (ketika ruku') meletakkan kedua tangannya pada kedua lututnya." <br />
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Al-Bukhari dan Abu Dawud) <br />
<br />
> Menekankan tangannya pada lututnya. <br />
<br />
"Jika kamu ruku' maka letakkan kedua tanganmu pada kedua lututmu dan bentangkanlah (luruskan) punggungmu serta tekankan tangan untuk ruku'." <br />
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Ahmad dan Abu Dawud) <br />
<br />
> Merenggangkan jari-jemarinya (lihat gambar). <br />
<br />
"Beliau merenggangkan jari-jarinya." <br />
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Al-Hakim dan dia menshahihkannya, Adz-Dzahabi dan At-Thayalisi menyetujuinya) <br />
<br />
> Merenggangkan kedua sikunya dari lambungnya. <br />
<br />
"Beliau bila ruku', meluruskan dan membentangkan punggungnya sehingga bila air dituangkan di atas punggung beliau, air tersebut tidak akan bergerak." <br />
(Hadits di keluarkan oleh Al Imam Thabrani, 'Abdullah bin Ahmad dan ibnu Majah) <br />
<br />
> Antara kepala dan punggung lurus, kepala tidak mendongak tidak pula menunduk tetapi tengah-tengah antara kedua keadaan tersebut (lihat gambar). <br />
<br />
"Beliau tidak mendongakkan kepalanya dan tidak pula menundukkannya." <br />
(Hadits ini diriwayatkan oleh Al Imam Abu Dawud dan Bukhari) <br />
<br />
"Sholat seseorang sempurna sebelum dia melakukan ruku' dan sujud dengan meluruskan punggungnya." <br />
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Abu 'Awwanah, Abu Dawud dan Sahmi dishahihkan oleh Ad-Daraquthni) <br />
<br />
> Thuma-ninah/Bersikap Tenang <br />
<br />
Beliau pernah melihat orang yang ruku' dengan tidak sempurna dan sujud seperti burung mematuk, lalu berkata: "Kalau orang ini mati dalam keadaan seperti itu, ia mati diluar agama Muhammad [sholatnya seperti gagak mematuk makanan] sebagaimana orang ruku' tidak sempurna dan sujudnya cepat seperti burung lapar yang memakan satu, dua biji kurma yang tidak mengenyangkan." <br />
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Abu Ya'la, Al-Ajiri, Al-Baihaqi, Adh-Dhiya' dan Ibnu Asakir dengan sanad shahih, dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah) <br />
<br />
> Memperlama Ruku' <br />
<br />
"Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menjadikan ruku', berdiri setelah ruku' dan sujudnya juga duduk antara dua sujud hampir sama lamanya." <br />
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Al-Bukhari dan Muslim) <br />
<br />
Yang Dibaca Ketika Ruku' <br />
<br />
Do'a yang dibaca oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ada beberapa macam, semuanya pernah dibaca oleh beliau jadi kadang membaca ini kadang yang lain. <br />
<br />
1. SUBHAANA RABBIYAL 'ADHZIM 3 kali atau lebih (Berdasar hadits yang dikeluarkan oleh Al Imam Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah dan lain-lain). <br />
<br />
Yang artinya: <br />
<br />
"Maha Suci Rabbku, lagi Maha Agung." <br />
<br />
2. SUBHAANA RABBIYAL 'ADHZIMI WA BIHAMDIH 3 kali (Berdasar hadits yang dikeluarkan oleh Al Imam Ahmad, Abu Dawud, Ad-Daroquthni dan Al-Baihaqi). <br />
<br />
Yang artinya: <br />
<br />
"Maha Suci Rabbku lagi Maha Agung dan segenap pujian bagi-Nya." <br />
<br />
3. SUBBUUHUN QUDDUUSUN RABBUL MALA-IKATI WAR RUUH (Berdasar hadits yang dikeluarkan oleh Al Imam Muslim dan Abu 'Awwanah). <br />
<br />
Yang artinya: <br />
<br />
"Maha Suci, Maha Suci Rabb para malaikat dan ruh." <br />
<br />
4. SUBHAANAKALLAHUMMA WA BIHAMDIKA ROBBANA WABIHAMDIKA ALLAHUMMAGHFIRLII <br />
<br />
Yang artinya: <br />
<br />
"Maha Suci Engkau ya, Allah, dan dengan memuji-Mu Ya, Allah ampunilah aku." <br />
<br />
Berdasarkan hadits dari 'A-isyah, bahwasanya dia berkata: <br />
<br />
"Adalah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memperbanyak membaca Subhanakallahumma Wa Bihamdika Allahummaghfirlii dalam ruku'nya dan sujudnya, beliau mentakwilkan Al-Qur-an." <br />
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Al-Bukhari dan Muslim). <br />
<br />
Do'a ini yang paling sering dibaca. Dikatakan bahwa ada riwayat dari 'A-isyah yang menunjukkan bahwa Rasulullah sejak turunnya surat An-Nashr -yang artinya: "Hendaklah engkau mengucapkan tasbih dengan memuji Rabbmu dan memohon ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Penerima taubat." (TQS. An-Nashr 110:3)-, waktu ruku' dan sujud beliau shallallahu 'alaihi wa sallam selalu membaca do'a ini hingga wafatnya. <br />
<br />
5. Dan lain-lain sesuai dengan hadits-hadits dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. <br />
<br />
Yang Dilarang Ketika Ruku' <br />
<br />
Larangan disini adalah larangan dari Rasulullah bahwa sewaktu ruku' kita tidak boleh membaca Al-Qur-an. Berdasarkan hadits: <br />
<br />
"Bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melarang membaca Al-Qur-an dalam ruku' dan sujud." <br />
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Muslim dan Abu 'Awwanah) <br />
"Ketahuilah bahwa aku dilarang membaca Al-Qur-an sewaktu ruku' dan sujud…" <br />
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Muslim dan Abu 'Awwanah). <br />
<br />
I'TIDAL DARI RUKU' <br />
<br />
Cara i'tidal dari ruku' <br />
<br />
Setelah ruku' dengan sempurna dan selesai membaca do'a, maka kemudian bangkit dari ruku' (i'tidal). Waktu bangkit tersebut membaca (SAMI'ALLAAHU LIMAN HAMIDAH) disertai dengan mengangkat kedua tangan sebagaimana waktu takbiratul ihrom. Hal ini berdasarkan keterangan beberapa hadits, diantaranya: <br />
<br />
Dari Abdullah bin Umar, ia berkata: "Aku melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam apabila berdiri dalam sholat mengangkat kedua tangannya sampai setentag kedua pundaknya, hal itu dilakukan ketika bertakbir mau rukuk dan ketika mengangkat kepalanya (bangkit ) dari ruku' sambil mengucapkan SAMI'ALLAAHU LIMAN HAMIDAH…" <br />
(Hadits dikeluarkan oleh Al-Bukhari, Muslim dan Malik). <br />
<br />
Yang Dibaca Ketika I'tidal dari Ruku' <br />
<br />
Seperti ditunjuk hadits di atas ketika bangkit (mengangkat kepala) dari ruku' itu membaca: (SAMI'ALLAHU LIMAN HAMIDAH) <br />
<br />
Kemudian ketika sudah tegak dan selesai bacaan tersebut disahut dengan bacaan: <br />
<br />
<br />
<br />
RABBANAA WA LAKAL HAMD (Rabbku dan segala puji kepada-Mu) <br />
<br />
atau <br />
<br />
ALLAAHUMMA RABBANAA LAKAL HAMD (Ya, Allah, Rabbku, segala puji kepada-Mu) <br />
<br />
atau <br />
<br />
ALLAAHUMMA RABBANAA WA LAKAL HAMD (Ya, Allah, Rabbku dan segala puji kepada-Mu) <br />
<br />
Dalilnya adalah hadits dari Abu Hurairah: <br />
<br />
"Apabila imam mengucapkan SAMI'ALLAHU LIMAN HAMIDAH, maka ucapkanlah oleh kalian ALLAHUMMA RABBANA WA LAKALHAMD, barangsiapa yang ucapannya tadi bertepatan dengan ucapan para malaikat diampunkan dosa-dosanya yang telah lewat." <br />
(Hadits dikeluarkan oleh Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Ztirmidzi, An-Nasa-i, Ibnu Majah dan Malik) <br />
<br />
Kadang ditambah dengan bacaan: <br />
<br />
MIL-ASSAMAAWAATI, WA MIL-ALARDHL, WA MIL-A MAA SYI-TA MIN SYAI-IN BA'D <br />
(Mencakup seluruh langit dan seluruh bumi dan segenap yang Engkau kehendaki selain dari itu) <br />
berdasar hadits yang dikeluarkan oleh Ibnu Majah. <br />
<br />
Dan Do'a lain-lain. <br />
<br />
Cara I'tidal <br />
<br />
Adapun dalam tata cara i'tidal ulama berbeda pendapat menjadi dua pendapat, pertama mengatakan sedekap dan yang kedua mengatakan tidak bersedekap tapi melepaskannya. Tapi yang rajih menurut kami adalah pendapat pertama. Bagi yang hendak mengerjakan pendapat yang pertama tidak apa-apa dan bagi siapa yang mengerjakan sesuai dengan pendapat kedua tidak mengapa. <br />
<br />
Keterangan untuk pendapat pertama: Kembali meletakkan tangan kanan diatas tangan kiri atau menggenggamnya dan menaruhnya di dada, ketika telah berdiri (lihat gambar). Hal ini berdasarkan nash dibawah ini: <br />
<br />
Hadits dikeluarkan oleh Al-Imam An-Nasa-i yang artinya: "Ia (Wa-il bin Hujr) berkata: "Saya melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam apabila beliau berdiri dalam sholat, beliau memgang tangan kirinya dengan tangan kanannya." <br />
<br />
Berkata Al-Imam Al-Bukhari dalam shahihnya: "Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Maslamah, ia berkata dari Malik, ia berkata dari Abu Hazm, ia berkata dari Sahl bin Sa'd ia berkata: "Adalah orang-orang (para shahabat) diperintah (oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ) agar seseorang meletakkan tangan kanannya atas lengan kirinya dalam sholat." Komentar Abu Hazm: "Saya tidak mengetahui perintah tersebut kecuali disandarkan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ." <br />
<br />
Komentar dari Syaikh Abdul 'Aziz bin Abdillah bin Baaz (termaktub dalam fatwanya yang dimuat dalam majalah Rabithah 'Alam Islamy, edisi Dzulhijjah 1393 H/Januari 1974 M, tahun XI): "Dari hadits shahih ini ada petunjuk diisyaratkan meletakkan tangan kanan atas tangan kiri ketika seorang Mushalli (orang yang sholat) tengah berdiri baik sebelum ruku' maupun sesudahnya. Karena Sahl menginformasikan bahwa para shahabat diperintahkan untuk meletakkan tangan kanannya atas lengan kirinya dalam sholat. Dan sudah dimengerti bahwa Sunnah (Nabi) menjelaskan orang sholat dalam ruku' meletakkan kedua telapak tangangnya pada kedua lututnya, dan dalam sujud ia meletakkan kedua telapak tangannya pada bumi (tempat sujud) sejajar dengan keddua bahunya atau telinganya, dan dalam keadaan duduk antara dua sujud begitu pun dalam tasyahud ia meletakkannya di atas kedua pahanya dan lututnya dengan dalil masing-masing secara rinci. Dalam rincian Sunnah tersebut tidak tersisa kecuali dalam keadaan berdiri. Dengan demikian dapatlah dimengerti bahwasanya maksud dari hadits Sahl diatas adalah disyari'atkan bagi Mushalli ketika berdiri dalam sholat agar meletakkan tangan kanannya atas lengan kirinya. Sama saja baik berdiri sebelum ruku' maupun sesudahnya. Karena tidak ada riwayat dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam membedakan antara keduanya, oleh karena itu barangsiapa membedakan keduanya haruslah menunjukkan dalilnya. (Kembali pada kaidah ushul fiqh: "asal dari ibadah adalah haram kecuali ada penunjukannya" -per.) <br />
<br />
Disamping itu ada pula ketetapan dari hadits Wa-il bin Hujr pada riwayat An-Nasa-i dengan sanad yang shahih: Bahwasanya apabila Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berdiri dalam sholat beliau memegang tangan kirinya dengan tangan kanannya." <br />
<br />
Wallaahu a'lamu bishshawab <br />
<br />
Thuma-ninah dan Memperlama Dalam I'tidal <br />
<br />
"Kemudian angkatlah kepalamu sampai engkau berdiri dengan tegak [sehingga tiap-tiap ruas tulang belakangmu kembali pata tempatnya]." (dalam riwayat lain disebutkan: "Jika kamu berdiri i'tidal, luruskanlah punggungmu dan tegakkanlah kepalamu sampai ruas tulang punggungmu mapan ke tempatnya)." <br />
(Hadits dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Muslim, dan riwayat lain oleh Ad-Darimi, Al-Hakim, As-Syafi'i dan Ahmad) <br />
<br />
Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam berdiri terkadang dikomentari oleh shahabat: "Dia telah lupa" [karena saking lamanya berdiri]. <br />
(Hadits dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari, Muslim dan Ahmad) <br />
<br />
<br />
<br />
SUJUD <br />
<br />
Sujud dilakukan setelah i'tidal thuma-ninah dan jawab tasmi' (Rabbana Lakal Hamd...dst). <br />
<br />
Caranya <br />
<br />
Dengan tanpa atau kadang-kadang dengan mengangkat kedua tangan (setentang pundak atau daun telinga) seraya bertakbir, badan turun condong kedepan menuju ke tempat sujud, dengan meletakkan kedua lutut terlebih dahulu (lihat gambar) baru kemudian meletakkan kedua tangan (lihat gambar) pada tempat kepala diletakkan dan kemudian meletakkan kepala kepala dengan menyentuhkan/menekankan hidung dan jidat/kening/dahi ke lantai (tangan sejajar dengan pundak atau daun telinga). <br />
<br />
Dari Wail bin Hujr, berkat, "Aku melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ketika hendak sujud meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya dan apabila bangkit mengangkat dua tangan sebelum kedua lututnya." <br />
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Abu Dawud, Tirmidzi An-Nasa'i, Ibnu Majah dan Ad-Daarimy) <br />
<br />
"Terkadang beliau mengangkat kedua tangannya ketika hendak sujud." <br />
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam An-Nasa'i dan Daraquthni) <br />
<br />
"Terkadang Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam meletakkan tangannya [dan membentangkan] serta merapatkan jari-jarinya dan menghadapkannya ke arah kiblat." <br />
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Abu Dawud, Al-Hakim, Al-Baihaqi) <br />
<br />
"Beliau meletakkan tangannya sejajar dengan bahunya" <br />
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Tirmidzi) <br />
<br />
"Terkadang beliau meletakkan tangannya sejajar dengan daun telinganya." <br />
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam An-Nasa'i) <br />
<br />
Cara Sujud <br />
<br />
> Bersujud pada 7 anggota badan (lihat gambar), yakni jidat/kening/dahi dan hidung (1), dua telapak tangan (3), dua lutut (5) dan dua ujung kaki (7). Hal ini berdasar hadits: <br />
<br />
Dari Ibnu 'Abbas berkata: Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berkata: "Aku diperintah untuk bersujud (dalam riwayat lain; Kami diperintah untuk bersujud) dengan tujuh (7) anggota badan; yakni kening sekaligus hidung, dua tangan (dalam lafadhz lain; dua telapak tangan), dua lutut, jari-jari kedua kaki dan kami tidak boleh menyibak lengan baju dan rambut kepala." <br />
(Hadits dikeluarkan oleh Al-Jama'ah) <br />
<br />
> Dilakukan dengan menekan <br />
<br />
"Apabila kamu sujud, sujudlah dengan menekan." <br />
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Ahmad) <br />
<br />
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menekankan kedua lututnya dan bagian depan telapak kaki ke tanah." <br />
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Al-Baihaqi) <br />
<br />
> Kedua lengan/siku tidak ditempelkan pada lantai, tapi diangkat dan dijauhkan dari sisi rusuk/lambung. <br />
<br />
Dari Abu Humaid As-Sa'diy, bahwasanya Nabi shalallau 'alaihi wasallam bila sujud maka menekankan hidung dan dahinya di tanah serta menjauhkan kedua tangannya dari dua sisi perutnya, tangannya ditaruh sebanding dua bahu beliau." <br />
(Diriwayatkan oleh Al Imam At-Tirmidzi) <br />
<br />
Dari Anas bin Malik, dari Nabi shalallau 'alaihi wasallam bersabda: <br />
"Luruskanlah kalian dalam sujud dan jangan kamu menghamparkan kedua lengannya seperti anjing menghamparkan kakinya." <br />
(Diriwayatkan oleh Al-Jama'ah kecuali Al Imam An-Nasa-i, lafadhz ini bagi Al Imam Al-Bukhari) <br />
<br />
"Beliau mengangkat kedua lengannya dari lantai dan menjauhkannya dari lambungnya sehingga warna putih ketiaknya terlihat dari belakang" <br />
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Al-Bukhari dan Muslim) <br />
<br />
> Menjauhkan perut/lambung dari kedua paha <br />
<br />
Dari Abi Humaid tentang sifat sholat Rasulillah shallallahu 'alaihi wa sallam berkata: "Apabila dia sujud, beliau merenggangkan antara dua pahanya (dengan) tidak menopang perutnya." <br />
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Abu Dawud) <br />
<br />
> Merapatkan jari-jemari <br />
<br />
Dari Wa-il, bahwasanya Nabi shalallau 'alaihi wasallam jika sujud maka merapatkan jari-jemarinya. <br />
(Diriwayatkan oleh Al Imam Al-Hakim) <br />
<br />
> Menegakkan telapak kaki dan saling merapatkan/menempelkan antara dua tumit <br />
<br />
Berkata 'A-isyah isteri Nabi shalallau 'alaihi wasallam: "Aku kehilangan Rasulullah shalallau 'alaihi wasallam padahal beliau tadi tidur bersamaku, kemudian aku dapati beliau tengah sujud dengan merapatkan kedua tumitnya (dan) menghadapkan ujung-ujung jarinya ke kiblat, aku dengar…" <br />
(Diriwayatkan oleh Al Imam Al-Hakim dan Ibnu Huzaimah) <br />
<br />
> Thuma-ninah dan sujud dengan lama <br />
<br />
Sebagaimana rukun sholat yang lain mesti dikerjakan dengan thuma-ninah. Juga Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam kalau bersujud baiasanya lama. <br />
<br />
"Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menjadikan ruku', berdiri setelah ruku' dan sujudnya juga duduk antara dua sujud hampir sama lamanya." <br />
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Al-Bukhari dan Muslim) <br />
<br />
Sujud Langsung Pada Tanah atau Boleh Di Atas Alas <br />
<br />
"Para shahabat sholat berjama'ah bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pada cuaca yang panas. Bila ada yang tidak sanggup menekankan dahinya di atas tanah maka membentangkan kainnya kemudian sujud di atasnya" <br />
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Muslim) <br />
<br />
Bacaan Sujud <br />
<br />
Rasulullah membaca <br />
<br />
<br />
SUBHAANAKALLAAHUMMA RABBANAA WA BIHAMDIKA ALLAAHUMMAGHFIRLII <br />
(berdasar hadits yang dikeluarkan oleh Al Imam Al-Bukhari dan Muslim) <br />
<br />
Bacaan Yang Dilarang Selama Sujud <br />
<br />
"Ketahuilah bahwa aku dilarang membaca Al-Qur-an sewaktu ruku' dan sujud…" <br />
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Muslim dan Abu 'Awwanah). <br />
<br />
BANGUN DARI SUJUD PERTAMA <br />
<br />
Setelah sujud pertama -dimana dalam setiap roka'at ada dua sujud- maka kemudian bangun untuk melakukan duduk diantara dua sujud. Dalam bangun dari sujud ini disertai dengan takbir dan kadang mengangkat tangan (Berdasar hadits dari Ahmad dan Al-Hakim). <br />
<br />
"Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bangkit dari sujudnya seraya bertakbir" <br />
(Hadits dikeluarkan oleh Al-Bukhari dan Muslim) <br />
<br />
DUDUK ANTARA DUA SUJUD <br />
<br />
Duduk ini dilakukan antara sujud yang pertama dan sujud yang kedua, pada roka'at pertama sampai terakhir. Ada dua macam tipe duduk antara dua sujud, duduk iftirasy (duduk dengan meletakkan pantat pada telapak kaki kiri dan kaki kanan ditegakkan) (lihat gambar) dan duduk iq'ak (duduk dengan menegakkan kedua telapak kaki dan duduk diatas tumit). Hal ini berdasar hadits: <br />
<br />
Dari 'A-isyah berkata: "Dan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menghamparkan kaki beliau yang kiri dan menegakkan kaki yang kanan, baliau melarang dari duduknya syaithan." <br />
(Diriwayatkan oleh Ahmad dan Muslim) <br />
*Komentar Syaikh Al-Albani: duduknya syaithan adalah dua telapak kaki ditegakkan kemudian duduk dilantai antara dua kaki tersebut dengan dua tangan menekan dilantai. <br />
<br />
Dari Rifa'ah bin Rafi' -dalam haditsnya- dan berkata Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam : "Apabila engkau sujud maka tekankanlah dalam sujudmu lalu kalau bangun duduklah di atas pahamu yang kiri." <br />
(Hadits dikeluarkan oleh Ahmad dan Abu Dawud dengan lafadhz Abu Dawud) <br />
<br />
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam terkadang duduk iq'ak, yakni [duduk dengan menegakkan telapak dan tumit kedua kakinya]. <br />
(Hadits dikeluarkan oleh Muslim) <br />
<br />
Waktu duduk antara dua sujud ini telapak kaki kanan ditegakkan dan jarinya diarahkan ke kiblat: <br />
<br />
Beliau menegakkan kaki kanannya (Al-Bukhari) <br />
<br />
Menghadapkan jari-jemarinya ke kiblat (An-Nasa-i) <br />
<br />
Bacaannya <br />
<br />
RABBIGHFIRLII, RABBIGHFIRLII <br />
<br />
Dari Hudzaifah, bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengucapkan dalam sujudnya (dengan do'a): Rabighfirlii, Rabbighfirlii. <br />
(Hadits dikeluarkan oleh At-Tirmidzi dan Ibnu Majah dengan lafadhz Ibnu Majah) <br />
<br />
<br />
<br />
ALLAAHUMMAGHFIRLII WARHAMNII WAJBURNII WAHDINII WARZUQNII <br />
(At-Tirmidzi) <br />
<br />
Thuma-ninah dan Lama <br />
<br />
Lihat tata cara ruku' Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sholat. <br />
<br />
MENUJU ROKA'AT BERIKUTNYA <br />
<br />
Pada masalah ini ada dua tempat/kondisi, yaitu bangkit menuju roka'at berikut dari posisi sujud kedua -pada akhir roka'at pertama dan ketiga- dan bangkit dari posisi duduk tasyahhud awal -pada roka'at kedua. <br />
<br />
> Bangkit/bangun dari sujud untuk berdiri (dari akhir roka'at pertama dan ketiga) didahului dengan duduk istirahat atau tanpa duduk istirahat, bangkit berdiri seraya bertakbir tanpa mengangkat kedua tangan. Ketika bangkit bisa dengan tangan bertumpu pada lantai atau bisa juga bertumpu pada pahanya. <br />
<br />
Tangan bertumpu pada satu pahanya <br />
<br />
Dari Wail bin Hujr dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ,berkata (Wa-il); "Maka tatkala Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersujud dia meletakkan kedua lututnya ke lantai sebelum meletakkan kedua tangannya; Berkata (Wa-il): Bila sujud maka …..dan apabila bangkit dia bangkit atas kedua lututnya dengan bertumpu pada satu paha." <br />
(Hadits dikeluarkan oleh Abu Dawud) <br />
<br />
Tangan bertumpu pada lantai (tempat sujud) <br />
<br />
Kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bertumpu pada lantai ketika bangkit ke roka'at kedua. <br />
(Hadits dikeluarkan oleh Al-Bukhari) <br />
<br />
Diselai duduk istirahat <br />
<br />
Dari Malik bin Huwairits bahwasanya di malihat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam sholat, maka bila pada roka'at yang ganjil tidaklah beliau bangkit sampai duduk terlebih dulu dengan lurus." <br />
(Hadits dikeluarkan oleh Al-Bukhari, Abu Dawud dan At-Tirmidzi) <br />
<br />
> Bangkit dari duduk tasyahhud awwal (dari roka'at kedua) dengan mengangkat kedua tangan seraya bertakbir seperti pada takbiratul ihram. <br />
<br />
Mengangkat tangan ketika takbir <br />
<br />
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ketika bangkit dari duduknya mengucapkan takbir, kemudian berdiri <br />
(Hadits dikeluarkan oleh Abu Ya'la) <br />
<br />
<br />
<br />
DUDUK TASYAHHUD AWWAL DAN TASYAHHUD AKHIR <br />
<br />
Tasyahhud awwal dan duduknya merupakan kewajiban dalam sholat <br />
<br />
Tempat dilakukannya <br />
<br />
Duduk tasyahhud awwal terdapat hanya pada sholat yang jumlah roka'atnya lebih dari dua (2), pada sholat wajib dilakukan pada roka'at yang ke-2. Sedang duduk tasyahhud akhir dilakukan pada roka'at yang terakhir. Masing-masing dilakukan setelah sujud yang kedua. <br />
<br />
Cara duduk tasyahhud awwal dan tasyahhud akhir <br />
<br />
Waktu tasyahhud awwal duduknya iftirasy (duduk diatas telapak kaki kiri) (lihat gambar) sedang pada tasyahhud akhir duduknya tawaruk (duduk dengan kaki kiri dihamparkan kesamping kanan dan duduk diatas lantai) (lihat gambar), pada masing-masing posisi kaki kanan ditegakkan. <br />
<br />
Dari Abi Humaid As-Sa'idiy tentang sifat sholat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, dia berkat, "Maka apabila Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam duduk dalam dua roka'at (-tasyahhud awwal) beliau duduk diatas kaki kirinya dan bila duduk dalam roka'at yang akhir (-tasyahhud akhir) beliau majukan kaki kirinya dan duduk di tempat kedudukannya (lantai dll)." <br />
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Abu Dawud) <br />
<br />
Letak tangan ketika duduk <br />
<br />
Untuk kedua cara duduk tersebut tangan kanan ditaruh di paha kanan sambil berisyarat dan/atau menggerak-gerakkan jari telunjuk dan penglihatan ditujukan kepadanya, sedang tangan kirinya ditaruh/terhampar di paha kiri (lihat gambar). <br />
<br />
Dari Ibnu 'Umar berkata Rasulullahi shallallahu 'alaihi wa sallam bila duduk didalam shalat meletakkan dua tangannya pada dua lututnya dan mengangkat telunjuk yang kanan lalu berdoa dengannya sedang tangannya yang kiri diatas lututnya yang kiri, beliau hamparkan padanya." <br />
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Muslim dan Nasa-i). <br />
<br />
Berisyarat dengan telunjuk, bisa digerakkan bisa tidak <br />
<br />
Selama melakukan duduk tasyahhud awwal maupun tasyahhud akhir, berisyarat dengan telunjuk kanan, disunnahkan menggerak-gerakkannya. Kadang pada suatu sholat digerakkan pada sholat lain boleh juga tidak digerak-gerakkan. <br />
<br />
"Kemudian beliau duduk, maka beliau hamparkan kakinya yang kiri dan menaruh tangannya yang kiri atas pahanya dan lututnya yang kiri dan ujung sikunya diatas paha kanannya, kemudian beliau menggenggam jari-jarinya dan membuat satu lingkaran kemudian mengangkat jari beliau maka aku lihat beliau menggerak-gerakkannya berdo'a dengannya." <br />
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Ahmad, Abu Dawud dan An-Nasa-i). <br />
<br />
"Dari Abdullah Bin Zubair bahwasanya ia menyebutkan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berisyarat dengan jarinya ketika berdoa dan tidak menggerakannya." <br />
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Abu Dawud). <br />
<br />
Membaca do'a At-Tahiyyaat dan As-Sholawaat <br />
<br />
Do'a tahiyyat ini ada beberapa versi, untuk hendaklah dipilih yang kuat dan lafadhznya belum ditambah-tambah. Salah satu contoh riwayat yang baik adalah sebagai berikut: <br />
<br />
Berkata Abdullah : "Kami apabila shalat di belakang nabi shallallahu 'alaihi wa sallam keselamatan atas jibril dan mikail keselamatan atas si fulan dan si fulan maka rasulullah berpaling kepada kami. Lalu beliau shallallahu 'alaihi wa sallam berkata : sesungguhnya Allah itu As-salam maka apabila shalat hendaklah kalian itu mengucapkan: <br />
<br />
"AT-TAHIYYAATU LILLAHI WAS SHOLAWATU WAT THAYYIBAAT, AS-SALAMU'ALAIKA AYYUHAN NABIY WA RAHMATULLAHI WA BARAKATUHU, AS-SALAAMU 'ALAINA WA 'ALAA 'IBAADILLAHIS SHALIHIN. ASYHADU ALLAA ILAHA ILLALLAH WA ASYHADU ANNA MUHAMMADAN 'ABDUHU WA RASULUHU" <br />
<br />
artinya: segala kehormaatan, shalawat dann kebaikan kepunyaan Allah, semoga keselamatan terlimpah atasmu wahai Nabi dan juga rahmat Allah dan barakah-Nya. Kiranya keselamatan tetap atas kami dan atas hamba-hamba Allah yang shalih; -karena sesungguhnya apabila kalian mengucapkan sudah mengenai semua hamba Allah yang shalih di langit dan di bumi- Aku bersaksi bersaksi bahwa tidak ada ilah yang haq selain Allah dan aku bersaksi bahwasanya Muhammmad itu hamba daan utusan-Nya. <br />
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Al Bukhari). <br />
<br />
Dari Ka'ab bin Ujrah berkata : "Maukah aku hadiahkan kepadamu sesuatu ? Sesungguhnya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam datang kepada kami, maka kami berkata : 'Ya Rasulullah kami sudah tahu bagaimana cara mengucapkan salam kepadamu, lantas bagaimana kami harus bershalawat kepadamu? Beliau berkata : ucapkanlah: <br />
SHALAWAT NABI<br />
<br />
"ALLAAHUMMA SHALLI 'ALA MUHAMMAD WA 'ALAA AALI MUHAMMAD <br />
KAMAA SHALLAITA 'ALA IBRAHIIM, WA 'ALAA AALI IBRAHIIM, <br />
WA BAARIK 'ALAA MUHAMMAD WA 'ALI MUHAMMAD .<br />
KAMAA BARAKTA 'ALA IBRAHIIM, WA ‘ ALI IBRAHIIM <br />
INNAKA HAMIIDUM MAJIID." <br />
<br />
artinya: "Ya Allah berikanlah Shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah memberikan shalawat kepada keluarga Ibarahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Agung. Ya Allah berkahilah Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah memberkati keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Agung." <br />
<br />
DOA SETELAH TASYAHUD AWAL<br />
<br />
<br />
<br />
Berdo'a berlindung dari empat (4) hal. <br />
<br />
Hal ini dilakukan pada duduk tasyahhud akhir saja. <br />
<br />
…..Apabila kamu telah selesai bertasyahhud akhir maka… <br />
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Ahmad, Muslim, Abu Dawud dan Ibnu Majah) <br />
<br />
Agar tidak menyalahi riwayat -hadits Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam- ini maka dalam tasyahhud awwal bacaannya berhenti sampai membaca sholawat pada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, sedang ta'awudz (berlindung dari 4 hal) ini dibaca hanya ketika tasyahhud akhir. <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Dari Abu Hurairah berkata; berkata Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam : "Apabila kamu telah selesai bertasyahhud maka hendaklah berlindung kepada Allah dari empat (4) hal, dia berkata: <br />
<br />
<br />
<br />
DOA SETELAH TASYAHUD AKHIR<br />
"ALLAAHUMMA INNII A'UUDZUBIKA MIN 'ADZAABI JAHANNAMA WA MIN 'ADZAABIL QABRI WA MIN FITNATIL MAHYAA WAL MAMAAT WA MIN FITNATIL MASIIHID DAJJAAL." <br />
<br />
artinya: "Ya Allah! Aku berlindung kepada-Mu dari siksa jahannam, siksa kubur, fitnahnya hidup dan mati serta fitnahnya Al-Masiihid Dajjaal." <br />
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Al-Bukhari dan Muslim dengan lafadhz Muslim) <br />
<br />
Berdo'a dengan do'a/permohonan lainnya <br />
<br />
…kemudian (supaya) dia memilih do'a yang dia kagumi/senangi… <br />
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Ahmad dan Al-Bukhari) <br />
<br />
SALAM <br />
<br />
Salam sebagai tanda berakhirnya gerakan sholat, dilakukan dalam posisi duduk tasyahhud akhir setelah membaca do'a minta perlindungan dari 4 fitnah atau tambahan do'a lainnya. <br />
<br />
"Kunci sholat adalah bersuci, pembukanya takbir dan penutupnya (yaitu sholat) adalah mengucapkan salam." <br />
(Hadits dikeluarkan dan disahkan oleh Al Imam Al-Hakim dan Adz-Dzahabi) <br />
<br />
Caranya <br />
<br />
Dengan menolehkan wajah ke kanan seraya mengucapkan do'a salam kemudian ke kiri. <br />
<br />
Dari 'Amir bin Sa'ad, dari bapaknya berkata: Saya melihat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memberi salam ke sebelah kanan dan sebelah kirinya hingga terlihat putih pipinya. <br />
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Ahmad, Muslim dan An-Nasa-i serta ibnu Majah) <br />
<br />
Dari 'Alqomah bin Wa-il, dari bapaknya, ia berkata: Aku sholat bersama Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam maka beliau membaca salam ke sebelah kanan (menoleh ke kanan): "As Salamu'alaikum Wa Rahmatullahi Wa Barakatuh." Dan kesebelah kiri: "As Salamu'alaikum Wa Rahmatullahi." <br />
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Abu Dawud) <br />
<br />
Macam-macam Bacaan Salam <br />
<br />
Kadang-kadang beliau membaca: <br />
<br />
As Salamu'alaikum Wa Rahmatullahi Wa Barakatuh--- As Salamu'alaikum Wa Rahmatullahi Wa Barakatuh <br />
<br />
<br />
<br />
Gerak yang dilarang <br />
<br />
Sering terlihat orang yang mengucapkan salam ketika menoleh ke-kanan dibarengai dengan gerakan telapak tangan dibuka kemudian ketika menoleh ke kiri tangan kirinya di buka. Gerakan tangan ini dilarang oleh shallallahu 'alaihi wa sallam. <br />
<br />
"Mengapa kamu menggerakkan tangan kamu seperti gerakan ekor kuda yang lari terbirit-birit dikejar binatang buas? Bila seseorang diantara kamu mengucapkan salam, hendaklah ia berpaling kepada temannya dan tidak perlu menggerakkan tangannya." [Ketika mereka sholat lagi bersama Rasullullah, mereka tidak melakukannya lagi]. (Pada riwayat lain disebutkan: "Seseorang diantara kamu cukup meletakkan tangannya di atas pahanya, kemudian ia mengucapkan salam dengan berpaling kepada saudaranya yang di sebelah kanan dan saudaranya di sebelah kiri). <br />
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Muslim, Abu 'Awanah, Ibnu Khuzaimah dan At-Thabrani). <br />
<br />
Diantara gerakkan bid’ah yang dilakukan saat salam adalah gerakkan yang dilakukan oleh orang syi’ah dengan menepukkan kedua tangannya di atas paha tiga kali, sebagai pengganti salam dengan menoleh ke kanan dan ke kiri. Hal seperti ini dilakukan oleh syi’ah Iran dan sekitarnya. Maksud dari gerakan itu adalah melaknat malaikat Jibril karena mereka mengatakan Jibril telah salah menyampaikan wahyu. <br />
<br />
Dzikir Setelah Sholat <br />
<br />
Dari Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz kepada seluruh orang melihat tulisan ini dari kalangan kaum muslimin <br />
<br />
“Merupakan dari perbuatan sunnah, seorang muslim mengucapkan setelah setiap shalat fardu membaca ASTAGHFIRULLAH tiga kali, kemudian dilanjutkan dengan: <br />
<br />
ALLAHUMMA ANTAS SALAAM WA MINKAS SALAAM TABAARAKTA YAA DZAL JALAALI WAL IKRAAM <br />
<br />
LAA ILAAHA ILLALLAHU WAHDAHU LAA SYARIIKALAHU, LAHUL MULKU WA LAHUL HAMDU WAHUWA 'ALAA KULLI SYAI-IN QADIIR, LAA HAULA WA LAA QUWWATA ILLA BILLAH <br />
<br />
LAA ILAAHA ILLALLAHU, LAA NA'BUDU ILLA IYYAHU, LAHUN NI'MATU WALAHUL FADHLU WALAHUTS TSANAA-UL HASAN, LAA ILAAHA ILLALLAHU, MUKHLISHIINA LAHUDDINA WALAU KARIHAL KAAFIRUUN, ALLAHUMMA LAA MAA NI'A LIMAA A'THOITA, WA LAA MU'TIYA LIMAA MANA'TA, WALAA YANFA' DZAL JADDI MINKAL JADDU. <br />
<br />
Khusus setelah shalat subuh dan maghrib, bacalah zikir yang dibawah ini sepuluh kali setelah mengucapkan zikir yang di atas: <br />
<br />
LAA ILAAHA ILLALLAHU WAHDAHU LAA SYARIIKALAHU, LAHUL MULKU WA LAHUL HAMDU YUHYII WAYUMIIT WAHUWA 'ALAA KULLI SYAI-IN QADIIR <br />
<br />
Kemudian membaca: SUBHAANALLAH tigapuluh tiga kali, ALHAMDULILLAH tigapuluh tiga kali; ALLAHU AKBAR tigapuluh tiga kali; untuk melengkapi bilangan menjadi seratus bacalah: <br />
<br />
LAA ILAAHA ILLALLAHU WAHDAHU LAA SYARIIKALAHU, LAHUL MULKU WA LAHUL HAMDU WAHUWA 'ALAA KULLI SYAI-IN QADIIR <br />
<br />
Kemudian membaca ayat kursi, kemudian surat Al Ikhlas, Al Falaq dan An Nas, kalau seandainya setelah shalat subuh dan maghrib dibaca tiga kali. <br />
<br />
Inilah yang lebih baik (afdhal) dan semoga Allah menganugerahkan shalawat dan salam kepada nabi kita Muhammad dan atas keluarga beliau dan sahabat-sahabatnya serta yang mengikutinya dengan baik sampai hari pembalasan. <br />
<br />
Referensi: <br />
http://sholat-kita.cjb.net/Puspo Widianotohttp://www.blogger.com/profile/18352577488779133633noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4942725209072240234.post-33461173958919135582011-04-18T05:51:00.001-07:002011-04-18T05:51:30.793-07:00ASKEP GANGGUAN PENDENGARAN PADA LANSIAASKEP GANGGUAN PENDENGARAN PADA LANSIA <br />
I. PENGERTIAN <br />
Berkurangnya Pendengaran adalah penurunan fungsi pendengaran pada salah satu ataupun kedua telinga. <br />
Tuli adalah penurunan fungsi pendengaran yang sangat berat.<br />
Presbikusis merupakan akibat dari proses degeneratif pada satu atau beberapa bagian koklea (striae vaskularis, sel rambut, dan membran basi la ris) maupun serabut saraf auditori. Presbikusis ini juga merupakan hasil interaksi antara faktor genetik individu dengan faktor eksternal, seperti pajanan suara berisik terus-menerus, obat ototoksik, dan penyakit sistemik.<br />
<br />
Presbikusis terbagi dua menjadi prebiskus perifer dan prebiskus sentral. Presbikusis perifer, di mana para lansia hanya mampu untuk mengidentifikasi kata. Alat Bantu dengar masih cukup bermanfaat, tetapi harus diperhatikan untuk menghindari berteriak/berbicara terlalu keras karena dapat membuat ketidaknyamanan di telinga. Presbikusis sentral, di mana lansia mengalami gangguan untuk mengidentifikasi kalimat, sehingga manfaat alat bantu dengar sangat kurang. Oleh karena itu, percakapan dengan para lansia harus sedikit lebih lambat tanpa mengabaikan irama dan intonasi.<br />
<br />
Presbikusis ditambah dengan situasi ketika percakapan yang berlangsung kurang mendukung dapat menyebabkan lansia mengalami gangguan komunikasi.<br />
II. PENYEBAB<br />
Penurunan fungsi pendengaran bisa disebabkan oleh:<br />
Suatu masalah mekanis di dalam saluran telinga atau di dalam telinga tengah yang menghalangi penghantaran suara (penurunan fungsi pendengaran konduktif)<br />
Kerusakan pada telinga dalam, saraf pendengaran atau jalur saraf pendengaran di otak (penurunan fungsi pendengaran sensorineural). <br />
<br />
Penurunan fungsi pendengaran sensorineural dikelompokkan lagi menjadi: <br />
Penurunan fungsi pendengaran sensorik (jika kelainannya terletak pada telinga dalam)<br />
Penurunan fungsi pendengaran neural (jika kelainannya terletak pada saraf pendengaran atau jalur saraf pendengaran di otak). <br />
<br />
Penurunan fungsi pendengaran sensorik bisa merupakan penyakit keturunan, tetapi mungkin juga disebabkan oleh: <br />
Trauma akustik (suara yang sangat keras) <br />
Infeksi virus pada telinga dalam <br />
Obat-obatan tertentu <br />
Penyakit Meniere. <br />
<br />
<br />
<br />
Penurunan fungsi pendengaran neural bisa disebabkan oleh: <br />
Tumor otak yang juga menyebabkan kerusakan pada saraf-saraf di sekitarnya dan batang otak <br />
Infeksi <br />
Berbagai penyakit otak dan saraf (misalnya stroke) - Beberapa penyakit keturunan (misalnya penyakit Refsum).<br />
<br />
III. GEJALA<br />
Penderita penurunan fungsi pendengaran bisa mengalami beberapa atau seluruh gejala berikut: <br />
<br />
kesulitan dalam mendengarkan percakapan, terutama jika di sekelilingnya berisik<br />
terdengar gemuruh atau suara berdenging di telinga (tinnitus) <br />
tidak dapat mendengarkan suara televisi atau radio dengan volume yang normal <br />
kelelahan dan iritasi karena penderita berusaha keras untuk bisa mendengar <br />
pusing atau gangguan keseimbangan. <br />
<br />
VI.ANATOMI FISIOLOGI<br />
Telinga sebagai organ pendengaran dan ekuilibrium terbagi dalam tiga bagian, yaitu telinga luar, tengah, dan dalam. Telinga berisi reseptor-reseptor yang menghantarkan gelombang suara ke dalam impuls-impuls saraf dan reseptor yang berespons pada gerakan kepala.<br />
<br />
Perubahan pada telinga luar sehubungan dengan proses penuaan adalah kulit telinga berkurang elastisitasnya. Daerah lobus yang merupakan satu-satunya bagian yang tidak disokong oleh kartilago mengalami pengeripu tan, aurikel tampak lebih besar, dan tragus sering ditutupi oleh rumbai-rumbai rambut yang kasar. Saluran auditorius menjadi dangkal akibat lipatan ke dalam, pada dindingnya silia menjadi lebih kaku dan kasar juga produksi serumen agak berkurang dan cenderung menjadi lebih kering.<br />
<br />
Perubahan atrofi telinga tengah, khususnya membran timpani karena proses penuaan tidak mempunyai pengaruh jelas pada pendengaran. Perubahan yang tampak pada telinga dalam adalah koklea yang berisi organ corti sebagai unit fungsional pendengaran mengalami penurunan sehingga mengakibatkan presbikusis.<br />
<br />
Lebih kurang 40% dari populasi lansia mengalami gangguan pendengaran (presbikusis). Gangguan pendengaran mulai dari derajat ringan sampai berat dapat dipantau dengan menggunakan alat audiometer. Pada umumnya laki-laki lebih sering menderita gangguan pendengaran dibandingkan perempuan.<br />
<br />
Presbikusis merupakan akibat dari proses degeneratif pada satu atau beberapa bagian koklea (striae vaskularis, sel rambut, dan membran basi la ris) maupun serabut saraf auditori. Presbikusis ini juga merupakan hasil interaksi antara faktor genetik individu dengan faktor eksternal, seperti pajanan suara berisik terus-menerus, obat ototoksik, dan penyakit sistemik.<br />
<br />
Presbikusis terbagi dua menjadi prebiskus perifer dan prebiskus sentral. Presbikusis perifer, di mana para lansia hanya mampu untuk mengidentifikasi kata. Alat Bantu dengar masih cukup bermanfaat, tetapi harus diperhatikan untuk menghindari berteriak/berbicara terlalu keras karena dapat membuat ketidaknyamanan di telinga. Presbikusis sentral, di mana lansia mengalami gangguan untuk mengidentifikasi kalimat, sehingga manfaat alat bantu dengar sangat kurang. Oleh karena itu, percakapan dengan para lansia harus sedikit lebih lambat tanpa mengabaikan irama dan intonasi.<br />
<br />
Presbikusis ditambah dengan situasi ketika percakapan yang berlangsung kurang mendukung dapat menyebabkan lansia mengalami gangguan komunikasi. Gangguan komunikasi ini dapat terjadi akibat:<br />
<br />
Pertama, pembicaraan mengalami gangguan karena suara musik, radio, televisi, maupun pembicaraan lain.<br />
Kedua, sumber suara mengalami distorsi yang berasal dari pengeras suara yang tidak sempurna seperti di terminal, masjid, telepon, maupun bila diucapkan oleh anak-anak atau pembicara yang terlalu cepat.<br />
Ketiga, kondisi akustik ruangan yang tidak sempurna seperti di dapur, ruang makan restoran, serta ruang pertemuan yang mudah memantulkan suara.<br />
<br />
V. PATOFISIOLOGI<br />
Menurut frekuensi getarannya, tinnitus terbagi menjadi dua macam, yaitu:<br />
-Tinnitus Frekuensi rendah (low tone) seperti bergemuruh<br />
-Tinnitus frekuensi tinggi (high tone)seperti berdenging<br />
<br />
Tinnitus biasanya di hubungkan dengan tuli sensorineural dan dapat juga terjadi karena gangguan konduksi, yang biasanya berupa bunyi dengan nada rendah. Jika di sertai dengan inflamasi, bunyi dengung akan terasa berdenyut (tinnitus pulsasi) dan biasanya terjadi pada sumbatan liang telinga, tumor, otitis media, dll.<br />
Pada tuli sensorineural, biasanya timbul tinnitus subjektif nada tinggi (4000Hz). Terjadi dalam rongga telinga dalam ketika gelombang suara berenergi tinggi merambat melalui cairan telinga, merangsang dan membunuh sel-sel rambut pendengaran maka telinga tidak dapat berespon lagi terhadap frekuensi suara. Namun jika suara keras tersebut hanya merusak sel-sel rambut tadi maka akan terjadi tinnitus, yaitu dengungan keras pada telinga yang di alami oleh penerita.(penatalaksanaan penyakit dan kelainan THT edisi 2 thn 2000 hal 100). Susunan telinga kita terdiri atas liang telinga, gendang telinga, tulang-tulang pendengaran, dan rumah siput. Ketika terjadi bising dengan suara yang melebihi ambang batas, telinga dapat berdenging, suara berdenging itu akibat rambut getar yang ada di dalam rumah siput tidak bisa berhenti bergetar. Kemudian getaran itu di terima saraf pendengaran dan diteruskan ke otak yang merespon dengan timbulnya denging.<br />
Kepekaan setiap orang terhadap bising berbeda-beda, tetapi hampir setiap orang akan mengalami ketulian jika telinganya mengalami bising dalam waktu yag cukup lama. Setiap bising yang berkekuatan 85dB bisa menyebabkan kerusakan. Oleh karena itu di Indonesia telah di tetapkan nilai ambang batas yangn di perbolehkan dalam bidang industri yaitu sebesar 89dB untuk jangka waktu maksimal 8 jam. Tetapi memang implementasinya belum merata. Makin tinggi paparan bising, makin berkurang paparan waktu yang aman bagi telinga.<br />
<br />
<br />
IV. PEMERIKSAAN<br />
1. Pemeriksaan Dengan Garputala <br />
Pada dewasa, pendengaran melalui hantaran udara dinilai dengan menempatkan garputala yang telah digetarkan di dekat telinga sehingga suara harus melewati udara agar sampai ke telinga. <br />
Penurunan fungsi pendengaran atau ambang pendengaran subnormal bisa menunjukkan adanya kelainan pada saluran telinga, telinga tengah, telinga dalam, sarat pendengaran atau jalur saraf pendengaran di otak. <br />
Pada dewasa, pendengaran melalui hantaran tulang dinilai dengan menempatkan ujung pegangan garputala yang telah digetarkan pada prosesus mastoideus (tulang yang menonjol di belakang telinga). <br />
Getaran akan diteruskan ke seluruh tulang tengkorak, termasuk tulang koklea di telinga dalam. Koklea mengandung sel-sel rambut yang merubah getaran menjadi gelombang saraf, yang selanjutnya akan berjalan di sepanjang saraf pendengaran. <br />
Pemeriksaan ini hanya menilai telinga dalam, saraf pendengaran dan jalur saraf pendengaran di otak. <br />
Jika pendengaran melalui hantaran udara menurun, tetapi pendengaran melalui hantaran tulang normal, dikatakan terjadi tuli konduktif. <br />
Jika pendengaran melalui hantaran udara dan tulang menurun, maka terjadi tuli sensorineural. <br />
Kadang pada seorang penderita, tuli konduktif dan sensorineural terjadi secara bersamaan.<br />
2. Audiometri <br />
Audiometri dapat mengukur penurunan fungsi pendengaran secara tepat, yaitu dengan menggunakan suatu alat elektronik (audiometer) yang menghasilkan suara dengan ketinggian dan volume tertentu. <br />
Ambang pendengaran untuk serangkaian nada ditentukan dengan mengurangi volume dari setiap nada sehingga penderita tidak lagi dapat mendengarnya. <br />
<br />
Telinga kiri dan telinga kanan diperiksa secara terpisah. <br />
Untuk mengukur pendengaran melalui hantaran udara digunakan earphone, sedangkan untuk mengukur pendengaran melalui hantaran tulang digunakan sebuah alat yang digetarkan, yang kemudian diletakkan pada prosesus mastoideus.<br />
3. Audimetri Ambang Bicara <br />
<br />
Audiometri ambang bicara mengukur seberapa keras suara harus diucapkan supaya bisa dimengerti. <br />
Kepada penderita diperdengarkan kata-kata yang terdiri dari 2 suku kata yang memiliki aksentuasi yang sama, pada volume tertentu. <br />
Dilakukan perekaman terhadap volume dimana penderita dapat mengulang separuh kata-kata yang diucapkan dengan benar.<br />
4. Diskriminasi <br />
<br />
Dengan diskriminasi dilakukan penilaian terhadap kemampuan untuk membedakan kata-kata yang bunyinya hampir sama. <br />
Digunakan kata-kata yang terdiri dari 1 suku kata, yang bunyinya hampir sama. <br />
Pada tuli konduktif, nilai diskriminasi (persentasi kata-kata yang diulang dengan benar) biasanya berada dalam batas normal. Pada tuli sensori, nilai diskriminasi berada di bawah normal. Pada tuli neural, nilai diskriminasi berada jauh di bawah normal.<br />
5. Timpanometri <br />
Timpanometri merupakan sejenis audiometri, yang mengukur impedansi (tahanan terhadap tekanan) pada telinga tengah. <br />
Timpanometri digunakan untuk membantu menentukan penyebab dari tuli konduktif. <br />
Prosedur in tidak memerlukan partisipasi aktif dari penderita dan biasanya digunakan pada anak-anak. <br />
<br />
Timpanometer terdiri dari sebuah mikrofon dan sebuah sumber suara yang terus menerus menghasilkan suara dan dipasang di saluran telinga. <br />
Dengan alat ini bisa diketahui berapa banyak suara yang melalui telinga tengah dan berapa banyak suara yang dipantulkan kembali sebagai perubahan tekanan di saluran telinga. <br />
Hasil pemeriksaan menunjukkan apakah masalahnya berupa: <br />
penyumbatan tuba eustakius (saluran yang menghubungkan telinga tengah dengan hidung bagian belakang) <br />
cairan di dalam telinga tengah <br />
kelainan pada rantai ketiga tulang pendengaran yang menghantarkan suara melalui telinga tengah. <br />
<br />
Timpanometri juga bisa menunjukkan adanya perubahan pada kontraksi otot stapedius, yang melekat pada tulang stapes (salah satu tulang pendengaran di telinga tengah). <br />
Dalam keadaan normal, otot ini memberikan respon terhadap suara-suara yang keras/gaduh (refleks akustik) sehingga mengurangi penghantaran suara dan melindungi telinga tengah. <br />
Jika terjadi penurunan fungsi pendengaran neural, maka refleks akustik akan berubah atau menjadi lambat. Dengan refleks yang lambat, otot stapedius tidak dapat tetap berkontraksi selama telinga menerima suara yang gaduh.<br />
6. Respon Auditoris Batang Otak <br />
<br />
Pemeriksaan ini mengukur gelombang saraf di otak yang timbul akibat rangsangan pada saraf pendengaran. <br />
Respon auditoris batang otak juga dapat digunakan untuk memantau fungsi otak tertentu pada penderita koma atau penderita yang menjalani pembedahan otak.<br />
7. Elektrokokleografi <br />
<br />
Elektrokokleografi digunakan untuk mengukur aktivitas koklea dan saraf pendengaran. <br />
Kadang pemeriksaan ini bisa membantu menentukan penyebab dari penurunan fungsi pendengaran sensorineural. <br />
<br />
Elektrokokleografi dan respon auditoris batang otak bisa digunakan untuk menilai pendengaran pada penderita yang tidak dapat atau tidak mau memberikan respon bawah sadar terhadap suara. <br />
Misalnya untuk mengetahui ketulian pada anak-anak dan bayi atau untuk memeriksa hipakusis psikogenik (orang yang berpura-pura tuli). <br />
<br />
Beberapa pemeriskaan pendengaran bisa mengetahui adanya kelainan pada daerah yang mengolah pendengaran di otak. <br />
Pemeriksaan tersebut mengukur kemampuan untuk: <br />
mengartikan dan memahami percakapan yang dikacaukan <br />
memahami pesan yang disampaikan ke telinga kanan pada saat telinga kiri menerima pesan yang lain <br />
menggabungkan pesan yang tidak lengkap yang disampaikan pada kedua telinga menjadi pesan yang bermakna <br />
menentukan sumber suara pada saat suara diperdengarkan di kedua telinga pada waktu yang bersamaan. <br />
<br />
Jalur saraf dari setiap telinga menyilang ke sisi otak yang berlawanan, karena itu kelainan pada otak kanan akan mempengaruhi pendengaran pada telinga kiri. <br />
Kelainan pada batang otak bisa mempengaruhi kemampuan dalam menggabungkan pesan yang tidak lengkap menjadi pesan yang bermakna dan dalam menentukan sumber suara.<br />
<br />
V. PENGOBATAN<br />
Pengobatan untuk penurunan fungsi pendengaran tergantung kepada penyebabnya. <br />
Jika penurunan fungsi pendengaran konduktif disebabkan oleh adanya cairan di telinga tengah atau kotoran di saluran telinga, maka dilakukan pembuangan cairan dan kotoran tersebut. <br />
<br />
Jika penyebabnya tidak dapat diatasi, maka digunakan alat bantu dengar atau kadang dilakukan pencangkokan koklea. <br />
<br />
VI. ALAT BANTU DENGAR <br />
<br />
Alat bantu dengar merupakan suatu alat elektronik yang dioperasikan dengan batere, yang berfungsi memperkuat dan merubah suara sehingga komunikasi bisa berjalan dengan lancar. <br />
<br />
Alat bantu dengar terdiri dari: <br />
Sebuah mikrofon untuk menangkap suara <br />
Sebuah amplifier untuk meningkatkan volume suara <br />
Sebuah speaker utnuk menghantarkan suara yang volumenya telah dinaikkan. <br />
<br />
Berdasarkan hasil tes fungsi pendengaran, seorang audiologis bisa menentukan apakah penderita sudah memerlukan alat bantu dengar atau belum (audiologis adalah seorang profesional kesehatan yang ahli dalam mengenali dan menentukan beratnya gangguan fungsi pendengaran). <br />
Alat bantu dengar sangat membantu proses pendengaran dan pemahaman percakapan pada penderita penurunan fungsi pendengaran sensorineural. <br />
<br />
Dalam menentukan suatu alat bantu dengar, seorang audiologis biasanya akan mempertimbangkan hal-hal berikut: <br />
kemampuan mendengar penderita <br />
aktivitas di rumah maupun di tempat bekerja <br />
keterbatasan fisik <br />
keadaan medis <br />
penampilan <br />
harga. <br />
<br />
Alat Bantu Dengar Hantaran Udara <br />
<br />
Alat ini paling banyak digunakan, biasanya dipasang di dalam saluran telinga dengan sebuah penutup kedap udara atau sebuah selang kecil yang terbuka. <br />
<br />
Alat Bantu Dengar Yang Dipasang Di Badan<br />
<br />
Digunakan pada penderita tuli dan merupakan alat bantu dengar yang paling kuat. <br />
Alat ini disimpan dalam saku kemeja atau celana dan dihubungkan dengan sebuah kabel ke alat yang dipasang di saluran telinga. <br />
Alat ini seringkali dipakai oleh bayi dan anak-anak karena pemakaiannya lebih mudah dan tidak mudah rusak. <br />
<br />
Alat Bantu Dengar Yang Dipasang Di Belakang Telinga <br />
<br />
Digunakan untuk penderita gangguan fungsi pendengaran sedang sampai berat. <br />
Alat ini dipasang di belakang telinga dan relatif tidak terlihat oleh orang lain. <br />
<br />
CROS (contralateral routing of signals) <br />
<br />
Alat ini digunakan oleh penderita yang hanya mengalami gangguan fungsi pendengaran pada salah satu telinganya. <br />
Mikrofon dipasang pada telinga yang tidak berfungsi dan suaranya diarahkan kepada telinga yang berfungsi melalui sebuah kabel atau sebuah transmiter radio berukuran mini. <br />
Dengan alat ini, penderita dapat mendengarkan suara dari sisi telinga yang tidak berfungsi. <br />
<br />
BICROS (bilateral CROS) <br />
<br />
Jika telinga yang masih berfungsi juga mengalami penuruna fungsi pendengaran yang ringan, maka suara dari kedua telinga bisa diperkeras dengan alat ini. <br />
<br />
Alat Bantu Dengar Hantaran Tulang <br />
<br />
Alat ini digunakan oleh penderita yang tidak dapat memakai alat bantu dengar hantaran udara, misalnya penderita yang terlahir tanpa saluran telinga atau jika dari telinganya keluar cairan (otore). <br />
<br />
Alat ini dipasang di kepala, biasanya di belakang telinga dengan bantuan sebuah pita elastis. Suara dihantarkan melalui tulang tengkorak ke telinga dalam. <br />
Beberapa alat bantu dengar hantaran tulang bisa ditanamkan pada tulang di belakang telinga. <br />
<br />
VII. PENCANGKOKAN KOKLEA <br />
Pencangkokan koklea (implan koklea) dilakukan pada penderita tuli berat yang tidak dapat mendengar meskipun telah menggunakan alat bantu dengar. <br />
<br />
Alat ini dicangkokkan di bawah kulit di belakang telinga dan terdiri dari 4 bagian: <br />
Sebuah mikrofon untuk menangkap suara dari sekitar <br />
Sebuah prosesor percakapan yang berfungsi memilih dan mengubah suara yang tertangkap oleh mikrofon <br />
Sebuah transmiter dan stimulator/penerima yang berfungsi menerima sinyal dari prosesor percakapan dan merubahnya menjadi gelombang listrik <br />
Elektroda, berfungsi mengumpulkan gelombang dari stimulator dan mengirimnya ke otak. <br />
<br />
Suatu implan tidak mengembalikan ataupun menciptakan fungsi pendengaran yang normal, tetapi bisa memberikan pemahaman auditoris kepada penderita tuli dan membantu mereka dalam memahami percakapan. <br />
<br />
Implan koklea sangat berbeda dengan alat bantu dengar. <br />
Alat bantu dengar berfungsi memperkeras suara. Implan koklea menggantikan fungsi dari bagian telinga dalam yang mengalami kerusakan. <br />
<br />
Jika fungsi pendengaran normal, gelombang suara diubah menjadi gelombang listrik oleh telinga dalam. Gelombang listrik ini lalu dikirim ke otak dan kita menerimanya sebagai suara. <br />
Implan koklea bekerja dengan cara yang sama. Secara elektronik, implan koklea menemukan bunyi yang berarti dan kemudian mengirimnya ke otak<br />
<br />
VIII PENATALAKSANAAN<br />
Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Pendengaran Lansia<br />
- Bersihkan telinga, pertahankan komunikasi.<br />
- Berbicara pada telinga yang masih baik dengan suara yang tidak terlalu keras.<br />
- Berbicara secara perlahan-lahan, jelas, dan tidak terlalu panjang.<br />
- Beri kesempatan klien untuk menjawab pertanyaan.<br />
- Gunakan sikap dan gerakan atau objek untuk memudahkan persepsi klien.<br />
- Beri sentuhan untuk menarik perhatian sebelum memulai pembicaraan.<br />
- Beri motivasi dan reinforcement.<br />
- Kolaborasi untuk menggunakan alat bantu pendengaran.<br />
- Lakukan pemeriksaan secara berkala.<br />
<br />
<br />
IX. ASUHAN KEPERWATAN<br />
A. Pengkajian <br />
Fokus pengkajian pada klien dengan ganguan pendengaran<br />
Kaji identitas klien<br />
Kaji riwayat keperawatan<br />
Kaji adanya penguanaan obat-obat yang menyebabkan ototoxic dan merusak ssp serta organ-organ bagian telinga dan keseimbanagan<br />
Kaji riwayat penguanaan obat-obatan<br />
B. Diagnosa keperawatan<br />
1. Kerusakan komunikasi verbal B/D kerusakan pendengaran<br />
2. Kerusakan aktivitas B/D ketidakseimbangan dalm beraktifitas karena hilangnya fungsi pendengaran.<br />
3. Kehilangan perawatan diri dirumah B/D hilangnya fungsi pendengaran<br />
4. Kerusakan interaksi sosial B/D kerusakan sarf sensori<br />
C. Rencana intervensi keperawatan<br />
intervensi keperawatan pada lansia dengan ganguan pendengaran<br />
Ketika berbicara kerusakan suara (bukan teriak) atau menyuruh untuk memperhatikan mulut sipembicara.<br />
Ajak klien berkomunikasi dengan santai dengan jarak yang dekat.<br />
Berbicara yang jelas dan tidak terlalu cepat an saling bertatap muka.<br />
Hindarkan adanya suara- suara yang mengganggu seperti suara radio dan TV<br />
Jika kerusakan komunikasi maka gunakanlah kertas sebagai komunikasi verbal atau dengan simbol.<br />
Berikan lingkungan yang nyaman bagi klien.<br />
Gunakanlah alat bantu pendengaran apabila diperlukan.<br />
<br />
DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG MUNGKIN MUNCUL<br />
a) Cemas b/d kurangnya informasi tentang gangguan pendengaran (tinnitus)<br />
Tujuan/kriteria hasil:<br />
- Tidak terjadi kecemasan, pengetahuan klien terhadap penyakit meningkat<br />
Intervensi:<br />
- Kaji tingkat kecemasan / rasa takut<br />
- Kaji tingkat pengetahuan klien tentang gangguan yang di alaminya<br />
- Berikan penyuluhan tentang tinnitus<br />
- Yakinkan klien bahwa penyakitnya dapat di sembuhkan<br />
- Anjurkan klien untuk rileks, dan menghindari stress<br />
<br />
b) Gangguan istirahat dan tidur b/d gangguan pendengaran<br />
Tujuan /kriteria hasil:<br />
- Gangguan tidur dapat teratasi atau teradaptasi<br />
<br />
Intervensi:<br />
- Kaji tingkat kesulitan tidur<br />
- Kolaborasi dalam pemberian obat penenang/ obat tidur<br />
- Anjurkan klien untuk beradaptasi dengan gangguan tersebut<br />
<br />
c) Resiko kerusakan interaksi sosial b/d hambatan komunikasi<br />
Tujuan/kriteria hasil:<br />
- Resiko kerusakan interaksi sosial dapat di minimalkan<br />
Intervensi:<br />
- Kaji kesulitan mendengar<br />
- Kaji seberapa parah gangguan pendengaran yang di alami klien<br />
- Jika mungkin bantu klien memahami komunikasi nonverbal<br />
- Anjurkan klien menggunakan alat bantu dengar setiap di perlukan jika tersedia<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
- Roach sally. Introduktory gerontological Nursing. 2001. Lippinctt: New Yor<br />
- Syaifuddin, Anatomi fisisologi. 1997. EGC. Jakarta<br />
- Petunjuk praktikum fisiologi I. Tim pengajar fisiologi. 2005. Stikes Aisyiyah Yogyakarta,<br />
- Http: // www.pfizer peduli . com / artcel _ detail . aspex. Id : 21<br />
- Panduan dianosa keperawatan NANDA<br />
- Http: // www. Dokter tetanus . pjnkk. Go. Id / content . view / 249/31<br />
- http: // www. Dokter tetanus. WordPress. Com<br />
- wahyudi, Nugroho, Keperawatan Gerontik. 2000. EGC : Jakarta.Puspo Widianotohttp://www.blogger.com/profile/18352577488779133633noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-4942725209072240234.post-5258970493129685232011-02-21T18:34:00.001-08:002011-02-21T18:34:25.606-08:00Herpes ZosterHerpes Zoster<br />
<br />
a. Pengertian<br />
Merupakan penyakit neurodermal ditandai dengan nyeri radikular unilateral serta erupsi vesikuler berkelompok dengan dasar eritematoso pada daerah kulit yang dipersarafi oleh saraf kranialis atau spinalis. ( Sjaiful, 2002:190 )<br />
Adalah radang kulit akut dan setempat yang merupakan reaktivasi virus variselo-zaster dari infeksi endogen yang telah menetap dalam bentuk laten setelah infeksi primer oleh virus. ( Marwali, 2000:92 )<br />
<br />
b. Etiologi<br />
Timbul karena terkena penularan kembali ( reexposure ) atau karena reaktivasi virus yang laten, oleh infeksi varisella bila daya tahan tubuh menurun.<br />
Disebabkan oleh Varicella Zoster Virus (VZV). Infeksiositas virus ini dengan cepat dapat dihancurkan oleh bahan organic, deterjen, enzim proteolitik, panas, dan lingkungan pH yang tinggi.<br />
<br />
c. Klasifikasi<br />
Menurut daerah penyerangannya dikenal:<br />
Herpes Zoster oftalmika : menyerang dahi dan sekitar mata<br />
Herpes Zoster servikalis : menyerang pundak dan lengan<br />
Herpes Zoster torakalis : menyerang dada dan perut<br />
Herpes Zoster lumbalis : menyerang pantat dan paha<br />
Herpes Zoster sakralis : menyerang sekitar anus dan genitalia<br />
Herpes Zoster otikum : menyerang telinga.<br />
Gangguan pada nervus fasialis dan optikus dapat menimbulkan Sindrom Ramsay-Hunt dengan gejala paralysis otot-otot muka ( Bell’s palsy ), tinitus, vertigo, gangguan pendengaran, nistagmus, dan nausea.<br />
<br />
Bentuk-bentuk lain Herpes zoster:<br />
Herpes zoster hemoragika : vesikula - vesikulanya tampak berwarna merah kehitaman karena berisi darah<br />
Herpes zoster abortivum : penyakit berlangsung ringan dalam waktu yang singkat dan erupsinya hanya berupa eritema dan papula kecil <br />
Herpes zoster generalisata : kelainan kulit unilateral dan segmental disertai kelainan kulit yang menyebar secara generalisata berupa vesikula dengan umbilikasi.<br />
<br />
d. Patofisiologi<br />
Selama terjadinya infeksi varisela, VZV meninggalkan lesi di kulit dan permukaan mukosa ke ujung serabut saraf sensorik. Kemudian secara sentripetal virus ini dibawa melalui serabut saraf sensorik tersebut menuju ke ganglion saraf sensorik. Dalam ganglion ini, virus memasuki masa laten dan di sini tidak infeksitas dan tidak mengatakan multiplikasi lagi, namun tidak berarti ia kehilangan daya infeksinya.<br />
Bila daya tahan tubuh penderita mengalami penurunan, akan terjadi reaktivasi virus. Virus mengalami multiplikasi dan menyebar di dalam ganglion. Ini menyebabkan nekrosis pada saraf serta terjadi inflamasi yang berat, dan biasanya disertai neuralgia yang berat.<br />
VZV yang infeksius ini mengikuti serabut saraf sensorik, sehingga terjadi neuritis. Neuritis ini berakhir pada ujung serabut saraf sensorik di kulit dengan gambaran erupsi yang khas untuk erupsi herpes zoster.<br />
1) Neuralgia pascaherpetika adalah rasa nyeri yang timbul pada daerah bekas penyembuhan. Neuralgia dapat berlangsung berbulan-bulan sampai beberapa tahun. Keadaan ini cenderung terjadi pada penderita di atas usia 40 tahun dengan gradasi nyeri yang bervariasi.<br />
2) Infeksi sekunder oleh bakteri akan menyebabkan terhambatnya penyembuhan dan akan meninggalkan bekas sikatriks.<br />
3) Pada sebagian kecil penderita dapat terjadi paralysis motorik, terutama bila virus juga menyerang ganglion anterior, bagian motorik kranialis, terjadinya biasanya 2 minggu setelah timbulnya erupsi.<br />
<br />
e. Manifestasi Klinis<br />
Muncul lesi-lesi didahului gatal-gatal sebelum erupsi yang ringan atau parah<br />
Nyeri tekan atau rasa sakit dan parestesi pada dermatom yang terserang<br />
Gejala konstitusi seperti sakit kepala, malaise, dan demam dan timbul 1-2 hari sebelum terjadi erupsi<br />
Adanya macula, vesikula, pustula, kiusta, dan parut yang merupakan evolusi dari lesi<br />
Erupsi seperti korset mengikuti suatu dermatom dada unilateral (manifestasi tersering)<br />
Gangguan motorik dan sensorik ( bila melibatkan gelang ekstremitas atau ekstremitas perifer )<br />
Disestesia<br />
Rasa terbakar dangkal<br />
Limfadenopati<br />
Tingking<br />
<br />
f. Komplikasi<br />
• Karena terjadi vaskulopati misalnya pada saraf mata, organ dalam, miositis, sistitis, motor paraksis.<br />
• Pada kulit, antara lain skar, keloid, dermatitis, granulomatosis, veskulitis granulomatosis, komedo, xanthomatous changes, dan milia.<br />
• Gangguan pada mata, antara lain konjungtivitis, ptosis paralitik, keratitis, epithelial, skleritis, iridosiklitis, uveiritis, dan glaucoma.<br />
• Gangguan pada Nervus Trigeminus cabang ke 3 atau saraf kranial cabang ke 5, 7, 9, dan 10 timbul otikus zoster denganm manifestasi klinis berupa sakit kepala, tinitus, vertigo, tuli, nyeri telinga, dan facial pain ( sindrom Ramsay Hunt ).<br />
<br />
g. Pemeriksaan Penunjang<br />
Pemeriksaan sediaan apus secara Tzanck, membantu menegakkan diagnosis dengan menemukan sel datia berinti banyak<br />
Pemeriksaan cairan vesikel atau material biopsy dengan mikroskop elektron<br />
Tes serologic.<br />
<br />
h. Penatalaksanaan.<br />
1) Pencegahan<br />
Mencakup pencegahan infeksi laten dan pencegahan reaktivasi virus yang laten yang bisa dilakukan melalui isolasi.<br />
2) Pengobatan<br />
Terapi sistemik hanya bersifat simptomatik, misalnya pemberian analgetika untuk mengurangi neuralgia. Dapat juga ditambahkan neurotropik : vitamin B1, B6, dan B12.<br />
Antibiotika, bila ada infeksi sekunder.<br />
Local : bedak. Losio kelamin diberikan untik mengurangi rasa tidak enak dan mengeringkan lesi vesikuler.<br />
IDU 5-40% dalam 100% DMSO ( dimetilsulfoksial ) dipakai secara topical.<br />
Pemberian secara oral predhison 30 mg per hari atau triamsinolon 48 mg sehari akan memperpendek masa neuralgia pascaherpetika.<br />
Pengobatan dengan imunodulator, seperti isoprinosin dan antivirus seperti interveron dapat dipertimbangkan.<br />
Asiklovir ( zovirax ) 5x200 mg sehari selam 5 gari kemungkinan dapat memperpendek dari memperingan penyakit.<br />
Pemberian kompres dingin dengan larutan Burowi.<br />
Lesi-lesi diolesi dengan campuran benzoin tincture dengan flexible collodion dengan takaran yang sama besarnya.<br />
Membalut daerah sakit dengan perban yang cukup ketat seringkali sangat berguna untuk meringankan rasa nyeri. Lesi-lesi harus ditutup dengan kapas dan kemudian dibalut dengan perban elastik seperti yang digunakan untuk rusuk yang patah.<br />
Herpes zoster kerato conjungtivitis diobati dengan ophthalmic costicosteroid secara intralesi.<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
ASUHAN KEPERAWATAN<br />
<br />
I. PENGKAJIAN<br />
1. Biodata <br />
Mencantumkan identitas klien : umur, jenis kelamin, pekerjaan,dll.<br />
2. Keluhan utama<br />
Alasan yang sering membawa klien penderita herpes datang berobat adalah nyeri pada daerah terdapatnya vesikel berkelompok / lesi yang timbul.<br />
3. Riwayat penyakit sekarang<br />
Biasanya, klien mengeluh sudah beberapa hari demam dan timbul rasa gatal / nyeri pada dermatom yang terserang. Pada daerah yang terserang, mula – mula timbul papula berbentuk urtika, setelah 1 – 2 hari timbul gerombolan vesikula. Kembangkan pola PQRST pada setiap keluhan klien. <br />
4. Riwayat penyakit keluarga<br />
Biasanya, keluarga atau teman dekat ada yang menderita penyakit herpes, atau klien pernah kontak dengan penderita / terinfeksi virus ini.<br />
5. Riwayat psikososial<br />
Perlu dikaji bagaimana konsep diri klien terutama tentang gambaran diri / citra diri dan harga diri. Disamping itu, perlu dikaji tingkat kecemasan klien dan informasi / pengetahuan yang dimiliki tentang penyakit.<br />
6. Kebutuhan sehari – hari<br />
Perlu dikaji juga tentang pola tidur, aktivitas. Penyakit ini sering diderita oleh klien yang mempunyai kebiasaan melakukan hubungan seksual dengan berganti-ganti pasangan dan menggunakan alat-alat pribadi secara bersama-sama.<br />
7. Pemeriksaan fisik <br />
Kesadaran : tidak ada gangguan, kecuali jika terjadi infeksi lain.<br />
Pemeriksaan tingkat nyeri dengan menggunakan skala nyeri.<br />
Inspeksi : kulit ditemukan adanya vesikel berkelompok (tanda yang khas pada herper zoster). Kadang ditemukan vesikel yang berisi nanah dan darah disebut herpes zoster hemoragic. Dapat ditemukan edema disekitar lesi, dan dapat pula timbul ulkus pada infeksi sekunder. Perhatikan mukosa mulut, hidung dan penglihatan klien. Pada genetalia pria daerah yang perlu diperhatikan adalah bagian glens penis, batang penis, uretra dan daerah anus. Sedangkan pada wanita daerah yang perlu diperhatikan adalah labia mayora dan minor, klitoris, intratus vaginal, dan serviks. Jika timbul lesi catat jenis, bentuk, ukuran/luas, warna, dan keadaan lesi. <br />
Palpasi : Kelenjar limfe regional, periksa adanya pembesaran.<br />
<br />
DIAGNOSA KEPERAWATAN<br />
1. Nyeri akut b.d inflamasi jaringan<br />
2. Kerusakan integritas kulit b.d deficit imunologis ( respon peradangan / lesi )<br />
3. Gangguan citra tubuh b.d perubahan penampilan<br />
4. Resiko infeksi b.d pemajanan melalui kontak ( langsung / tidak langsung )<br />
<br />
INTERVENSI<br />
Dx. I Nyeri akut b.d inflamasi jaringan<br />
NOC : Tingkat Nyeri<br />
Kriteria Hasil : <br />
• Ekspresi nyeri lisan atau pada wajah<br />
• Perubahan dalam TTV<br />
• Menunjukkan teknik relaksasi yang efektif<br />
• Melaporkan kenyamanan fisik maupun psikologis<br />
NIC : Penatalaksanaan nyeri<br />
Intervensi :<br />
1. kaji nyeri secara komphrehensif<br />
2. observasi ketidaknyamanan non verbal<br />
3. berikan informasi tentang nyeri<br />
4. ajarkan teknik non farmakologi ( relaksasi, distraksi, terapi musik )<br />
5. kendalikan factor lingkungan yang mempengaruhi respon pasien.<br />
<br />
Dx. II Kerusakan integritas kulit b.d deficit imunologis ( respon peradangan / lesi )<br />
NOC : Tissue Integrity<br />
Kriteria Hasil : <br />
• Integritas kulit bias dipertahankan<br />
• Berkurangnya luka / lesi pada kulit<br />
• Perfusi jaringan baik<br />
• Mampu melindungi kulit dan memepertahankan kulit<br />
• Perawatan alami<br />
NIC : Pressure Management<br />
Intervensi :<br />
1. anjurkan pasien untuk mengenakan pakaian longgar<br />
2. hindari kerutan pada tempat tidur<br />
3. jaga kebersihan kulit agar tetaap bersih dan kering<br />
4. mobilisasi pasien secara teratur<br />
5. monitor kulit akan adanya kemerahan<br />
<br />
<br />
Dx. III Gangguan citra tubuh b.d perubahan penampilan<br />
NOC : Citra tubuh<br />
Kriteria Hasil : <br />
• Kongruen antara realitas tubuh, ideal tubuh, dan wujud tubuh<br />
• Kepuasan terhadap penampilan dan fungsi tubuh<br />
• Mengidentifikasi kekuatan personal<br />
• Memelihara hubungan social yang dekat dan hubungan personal<br />
Intervensi :<br />
1. pantau frekuensi pernyataan yang mengkritik diri<br />
2. ajarkan keluarga pentingnya respon mereka terhadap peubahan tubuh<br />
3. dengarkan pasien / keluarga secara aktif<br />
4. beri dorongnan kepada pasien / keluarga untuk mengungkapkan perasaan <br />
5. berikan perawatan dengan cara yang tidak menghakimi, peihara privasi.<br />
<br />
Dx. IV Resko Infeksi b.d pemajanan melalaui kontak ( langsung / tidak langsung )<br />
NOC : Pengendalian Infeksi<br />
Kriteria Hasil : <br />
• Memantau factor resiko lingkungan dan perilaju seseorang<br />
• Menghindari pajanan terhadap ancaman kesehatan<br />
• Mengubah gaya hidup untuk mengurangi resiko<br />
• Melaporkn tanda dan gejala infeksi<br />
NIC : Pengendalian Infeksi<br />
Intervensi :<br />
1. pantau tanda / gejala infeksi<br />
2. ajarkan pasien / pengunjung untuk mencuci tangan dengn benar<br />
3. ajarkan pasien dan keluarga kapan harus melaporkan tanda / gejala infeksi<br />
4. batasi jumlah pengunjung, bila diperlukan.<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
<br />
• Arndt, Kenneth A. 1989. Pedoman Terapi Dermatologis. Yogyakarta : Yayasan Essentia Medica.<br />
• A.P. Bali and J.A. Gray. 1992. Atlas Bantu Penyakit Infeksi. Alih Bahasa Petrus Andrianto. Jakarta : Hipokrates.<br />
• Djuanda, Adhi. 1993. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke Dua. Jakarta : FKUS.<br />
• Marwali Harahap, dkk. 1984. Pedoman Pengobatan Penyakit Kulit. Bandung : Alumni.<br />
• NANDA. 2005. Nursing Diagnoses: Definition and Classification 2005-2006, NANDA international, Philadelphia.<br />
• Rahariyani, Dwi Lutfia. 2007. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem Integumen. Jakarta : EGC.<br />
• Sjaiful Fahmi D dan Wresti I. 2002. Infeksi Virus Herpes. Jakarta : FKUS.<br />
• Wilkinson, Judith M, ( Alih Bahasa Widyawati, dkk ). 2007. Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi NIC dan Kriteria Hasil NOC, edisi 7. Jakarta : EGC.Puspo Widianotohttp://www.blogger.com/profile/18352577488779133633noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4942725209072240234.post-71093265045254082612011-02-21T18:33:00.003-08:002011-02-21T18:33:57.722-08:00Dermatitis kontakBAB I<br />
PENDAHULUAN<br />
A. LATAR BELAKANG MASALAH<br />
Dermatit merupakan suatu reaksi peradangan kulit Dermatitis kontak adalah dermatitis karena kontak eksternal yang menimbulkan fenomena sensitisasi (alergik) atau toksik (iritan).<br />
Dermatitis merupakan epiderma-dermatitis dengan gejala subjektif pruritus, obyek tampak inflamasi eritema, vesikulasi, eksudasi dan pembentukan sisik.<br />
Dermatitis kontak sering terjadi pada tempat tertentu dimana alergen mengadakan kontak dengan kulit.<br />
B. MAKSUD dan TUJUAN PENULISAN<br />
Adapun maksud dan tujuan penulisan Laporan pendahuluan ini adalah:<br />
1. Memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah 1 yang diberikan oleh dosen pengampu Ibu Widjijati, MN.<br />
2. Menambah dan memperluas pengetahuan tentang penyakit Dermatitis Kontak bagi penulis.<br />
3. Memberikan informasi kepada pembaca tentang penyakit Dermatitis Kontak bagi penulis.<br />
C. METODE PENULISAN<br />
Dalam penulisan makalah ini, penulis menggunakan berbagai sumber dengan metode pustaka. Dengan metode ini, penulis dapat melengkapi makalah sesuai dengan bahan – bahan yang penulis ambil dari buku – buku referensi sebagai bahan pendukung dan pelengkap materi.<br />
BAB II<br />
ISI<br />
<br />
DERMATITIS KONTAK<br />
<br />
A. Definisi<br />
Dermatitis kontak adalah dermatitis karena kontak eksternal yang menimbulkan fenomena sensitisasi (alergik) atau toksik (iritan).<br />
Dermatitis merupakan epiderma-dermatitis dengan gejala subjektif pruritus, obyek tampak inflamasi eritema, vesikulasi, eksudasi dan pembentukan sisik.<br />
(Mansjoer, Arif, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jil. 2. Jakarta: Media Aesculapius)<br />
Dermatitis kontak sering terjadi pada tempat tertentu dimana alergen mengadakan kontak dengan kulit.<br />
(Price, Sylvia Anderson. 1991. Patofisiologi. Jakarta: EGC)<br />
Dermatitis kontak adalah suatu dermatitis (peradangan kulit) yang disertai dengan adanya spongiosis/edeme interseluler pada epidermis karena kulit berinteraksi dengan bahan – bahan kimia yang berkontak atau terpajan kulit .Bahan- bahan tersebut dapat bersifat toksik ataupun alergik.<br />
(Harahap Mawarli Prof.Dr. 2006.Ilmu Penyakit Kulit.Jakarta:Hipokrates)<br />
<br />
B. Etiologi<br />
Dermatitis kontak bisa ditimbulkan oleh bahan-bahan irritan primer atau penyebab alergic primary irritant contact dermatitis merupakan reaksi non alergik dari pada kulit yang disebabkan karena terkena irritantia. Zat diterjen ( seperti lisol ) desinfektan dan zat warna ( untuk pakaian, sepatu dan lain – lain ) dapat mengakibatkan dermatitis.<br />
a) Irritantia ringan, relatif atau marginal, memebutuhkan kontak berulang-ulang dan atau kontak yang lama untuk menimbulkan peradangan atau termasuk di sini adalah sabun, deterjen dan kebanyakan jenis bahan pelarut.Dermatitis pekerjaan tampak pula fisura ,skuama,dan paronikima sebagai akibat iritasi kronik.dermatitis juga dapat terdapat pada rumah tangga yang terjadi karena insektisida dan pelbagai salep yang di jual secara bebas yang mengandung sulfonamid,penisilin,merkuri,atau sulfur.<br />
b) Irritantia keras atau absolut merupakan zat-zat perusak yang keras sehingga akan melukai kulit dengan seketika jika mengenainya (asam kuat dan basa kuat).<br />
<br />
PENYEBAB YANG BAKU DARI DERMATITIS KONTAK<br />
PADA BERBAGAI BAGIAN TUBUH<br />
Bagian Tubuh Penyebab<br />
Muka Kosmetik, hairspray, semir rambut.<br />
Cuping telinga Nikel, perhiasan imitasi<br />
Kelopak mata Kosmetik, transfer oleh tangan, tangkai kaca mata<br />
Bagian Tubuh Penyebab<br />
Hidung, bibir dan sekitarnya Pasta gigi, lipstick<br />
Leher Parfum, pakaian (bahan wool)<br />
Aksila Deodoran, pakaian, parfum<br />
Dada Bahan kuningan<br />
Lengan dan kaki Deterjen, bahan pembersih, sepatu<br />
Tangan Sarung tangan, deterjen<br />
<br />
C. Manifestasi Klinis<br />
Gejala dari dermatitis kontak adalah:<br />
a) Fase akut : merah,edema,papula,vesikula,berair,kusta, dan gatal<br />
b) Fase kronik :kulit tebal/likenifikasi,kulit pecah – pecah skuama,kulit kering,dan hiperpigmentasi.<br />
c) Gejala subyektif : Iritan primer akan menyebabkan kulit terasa kaku, rasa tidak enak karena kering, gatal-gatal sebab peradangan dan rasa sakit karena fisura, vesikula, ulcus.<br />
d) Gejala obyektif : - Erythema<br />
- Mikrovesikulasi dan keluarnya<br />
- Kulit menebal, kering, retak<br />
- Pengelupasan kulit<br />
- Vesikulasi, erosi,ulcus, fisura<br />
- Edema muka dan tangan<br />
- Ruam-ruam dan lesi<br />
<br />
D. Predisposisi<br />
Penyakit dermatitis ini biasanya dapat diakibatkan oleh beberapa faktor, yang antara lain:<br />
a) Obat-obatan : obat kumur, balsem dan salep yang mengandung sulfanamid, penisilin, insektisida, neomisin, benzokain dan etilendiamin.<br />
b) Karet atau nilon : sandal karet, kaos kaki nilon, pakaian nilon.<br />
c) Kunyit, kapur sirih, merkuri dan sulfur.<br />
<br />
E. Klasifikasi<br />
Dermatitis kontak ditimbulkan oleh fenomena alergik atau toksik.<br />
Dermatitis kontak dapat berupa:<br />
a) Tipe dermatitis kontak alergi, merupakan manifestasi “Delayed Hypersesitivity”; hipersensitifitas yang tertunda dan merupakan terkena oleh alergen kontak pada orang yang sensitif.<br />
b) Tipe dermatitis kontak iritan, terjadi karena irritant primer dimana reaksi non alergik terjadi akibat pejanan terhadap substansi iritatif.<br />
Perbedaan dermatitis kontak iritan dan alergi:<br />
Faktor Dermatitis Kontak Iritan Dermatitis Kontak Alergi<br />
Penyebab Iritan primer Alergen kontak sensitizer<br />
Permulaan Pada kontak pertama Pada kontak ulang<br />
Penderita Semua orang Orang yang alergik<br />
Lesi Batas lebih jelas, eritema Batas tidak begitu jelas, eritema <br />
Faktor Dermatitis Kontak Iritan Dermatitis Kontak Alergi<br />
sangat jelas kurang jelas<br />
Uji tempel Sesudah ditempel 24 jam bila iritan diangkat, reaksi akan segera Bila sesudah 24 jam bahan alergen diangkat, reaksi menetap/meluas berhenti<br />
Contoh Sabun, deterjen Pemakaian terlalu lama, jam, sandal jepang, kalung imitasi<br />
<br />
F. Patofisiologi<br />
Dermatitis Kontak termasuk reaksi hipersensitivitas tipe IV, yaitu reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Patogenesisnya melalui dua fase:<br />
1) Fase Induksi (sensitisasi)<br />
Saat kontak pertama alergen dengan kulit sampai limfosit mengenal dan memberi respons, perlu waktu 2-3 minggu.<br />
Hapten (protein tidak lengkap) berpenetrasi ke dalam tubuh dan berikatan dengan protein karier membentuk ,antigen yang lengkap. Antigen ditangkap dan diproses oleh macrofag dan sel langerhans kemudian memicu reaksi limfosit T yang belum tersensitisasi di kulit, sehingga terjadi sensitisasi limfosit T melalui saluran limfe.<br />
2) Fase Eksitasi<br />
Yaitu saat terjadinya kontak ulang dengan hapten yang sama atau serupa. Sel efektor yang telah tersensitisasi mengeluarkan limfokin yang mampu menarik berbagai sel radang sehingga timbul gejala klinis.<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
G. Pathway<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
H. Penanganan<br />
Proteksi terhadap zat penyebab dan menghindarkan kontaktan merupakan tindakan penting. Anti-hisatamin tidak diindikasikan pada stadium permulaan, sebab tidak ada pembebasan hisatamin. Pada stadium berikutnya terjadi pembebasan histamin secara pasif. Kortikosteroid diberikan bila penyakit berat, misalnya prednison 20 mg/hari. Terapi topikal diberikan sesuai petunjuk umum.<br />
“Dasar penyakit dermatitis adalah mencari etiologi dan menyingkirkan penyebabnya.”<br />
Pada dermatitis akut<br />
Dilihat adanya oedema, erasia, eksudasi, pustula, erythema.<br />
1) Kompres<br />
Cara kompres : - Rendam kain putih halus ke air<br />
- Letakkan di lesi, 10-20 menit<br />
- Ganti dengan kain dan air yang bersih<br />
Perhatian : - Pakai 2/3 obat lokal, ketahui seluk beluk obat<br />
- Pada daerah tropis perlu dipertimbangkan faktor penguapan. Sol Boric Acid 3 % bila dibalutkan pada lesi maka konsentrasinya menjadi 20-50 % sehingga melekat pada lesi dan terdapat kristal Boric (BAHAYA).<br />
2) Antibiotik<br />
Biasanya infeksi sekunder disebabkan oleh Gram positif.<br />
Diobati dengan penicillin/ampicillin untuk penderita yang tidak alergi, buctrim, supristol, septrin (efek aplasticanemia).<br />
3) Antihistamin<br />
4) Obat- obat topical<br />
Karena kulit mudah diakses maka mudah pula diobati maka obat obat topical dapat sering digunakan,beberapa obat dengan konsentrasi yang tinggi dapat dioleskan langsung pada kulit yang sakit dengan sedikit absorbsi sistemik sehingga efek samping sistemiknya juga sedikit.adapun obat topikalnya antara lian:<br />
a.Lotion<br />
Lotion memeiliki dua tipe : suspensi yang terdiri atas serbuk dan dalam air yang perlu di kocok sebelum di gunakan ,dan larutan jernih yang mengandung unsur - unsur aktif yang bisa di larutkan seluruhnya .<br />
b.Bedak<br />
Bedak biasanya memiliki bahan dasar talk,zinkoksida,bentonit atau pati jagung dan ditaburkan pada kulit dengan alat pengocok atau spons katun.Meski kerja medisnya singkat ,bedak merupakan preparat higroskopis yang menyerap serta menahan kelembaban kulit dan seprei.<br />
c.Krim<br />
Krim dapat berupa suspensi minyak - dalam - air<br />
atau emulsi air- dalam- minyak dengan unsur-unsur untuk mencegah bakteri ataupun jamur (Mackie,1991).<br />
d.Jel<br />
Jel merupakan emulsi semisolid yang menjadi cair ketila dioleskan pada kulit,bentuk preparat topikal ini secara kosmetik dapat diterima oleh pasien karena tidak terlihat setelah dioleskan dan juga tidak terasa berminyak serta tidak meninggalkan noda.<br />
e.Pasta<br />
Pasta merupakan campuran bedak dengan salep dan digunakan pada keadaan inflamasi,pasta melekat pada kulit tetapi sulit dihilangkan tanpa menggunakan minyak seperti minyak zaitun atau minyak mineral.<br />
f.Salep<br />
Salep bersifat menahan kehilangan air dan melumasi serta melindungi kulit, bentuk preparat topikal ini lebih disukai untuk kelainan kulit yang kronis atau terlokalisasi.<br />
g.Preparat spray dan aerosol<br />
Dapat di gunakan untuk lesi yang luas,bentuk ini akan mengisat ketika mengenai kulit sehinga harus digunakan dengan sering.<br />
h.Korrtikosteroid<br />
Banyak dipakai dalam pengobatan kelainan dermatologik untuk memberikan efek anti inflamasi,anti priritus dan vasokontriksi(Litt,1993). <br />
<br />
<br />
<br />
BAB III<br />
ASUHAN KEPERAWATAN<br />
PADA PASIEN DENGAN DERMATITIS KONTAK<br />
<br />
I. PENGKAJIAN<br />
Kulit merupakan bagian tubuh yang paling terlihat, bila terjadi cedera akut dari dermatitis kontak eksim pasien sulit untuk mengabaikan atau menyembunyikanya dari orang lain.Sangat penting untuk mengetahui faktor penyebabnya agar dapat mencegah kontak ulang atau terhadap perubahan data yang harus dikumpulkan sejak awal adalah:<br />
1) Pengetahuan tentang faktor penyebab dan metode kontak.<br />
2) Kemungkinan bisa kontak dengan menimbulkan iritasi di rumah, tempat pekerjaan/pada waktu kegiatan rekreasi.<br />
3) Bagaimana kelainan kulit yang timbul dimulai.<br />
4) Riwayat tentang infeksi yang berulang, kemungkinan kurangnya respon imunitas.<br />
5) Respon obat baru, terutama penicillin/sulfanilamide.<br />
6) Peningkatan stress yang dicatat pasien.<br />
7) Faktor-faktor yang membuat lebih parah (resep dokter/pengobatan pribadi).<br />
8) Luasnya pruritis dan faktor yang membuat lebih parah.<br />
Lesi diperiksa setiap hari untuk diketahui apakah pasien masih suka menggaruk lesi, periksa apakah terdapat perubahan atau ada infeksi.<br />
<br />
II. DIAGNOSA <br />
1) Resiko terhadap kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan fungsi barier kulit.<br />
2) Nyeri dan rasa gatal berhubungan dengan adanya lesi kulit.<br />
3) Gangguan pola tidur berhubungan dengan adanya pruritus.<br />
4) Gangguan citra tubuh berhubungan dengan penampakan kulit yang tidak bagus.<br />
5) Kurang pengetahuan berhubungan dengan salah tanggap informasi.<br />
6) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan adanya lesi pada kulit.<br />
<br />
III. PERENCANAAN<br />
1) Resiko terhadap kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perbahan fungsi barier kulit.<br />
Intervensi:<br />
1. Lindungi kulit yang sehat terhadap kemungkinan maserasi ( hidrasi stratum korneum yang berlebihan ) ketika memasang kompres basah.<br />
2. Hilangkan kelembaban dari kulit dengan menutulkan untuk menghisap dan menghindari friksi.<br />
3. Jaga dengan cermat terhadap resiko terjadinya cedera termal akibat penggunaan kompres hangat dengan suhu yang terlau tinggi dan akibat cedera panas yang tidak terasa ( bantalan pemanas, radiator )<br />
4. Nasehati pasien untuk menggunakan kosmetik dan preparat tabir surya.<br />
Rasional:<br />
1. Maserasi pada kulit yang sehat dapat menyebabkan pecahnya kulit dan perluasan kelainan primer.<br />
2. Friksi dan maserasi memainkan peranan yang penting dalam proses terjadinya sebagian penyakit kulit.<br />
3. Penderita Dermatitis dapat mengalami penurunan sensitifitas terhadap panas.<br />
4. Banyaknya masalah kosmetika pada hakekatnya semua kelainan malignitas kulit dapat dikaitkan dengan kerusakan kulit kronik.<br />
2) Nyeri dan rasa gatal berhubungan dengan adanya lesi kulit.<br />
Intervensi:<br />
1. Periksa daerah yang terlibat<br />
a. Upayakan untuk menemukan penyebab gangguan rasa nyaman.<br />
b. Mencatat hasil-hasil observasi secara rinci dengan memakai terminologi deskriptif<br />
c. Mengantisipasi reaksi alergi yang mungkin terjadi , mendapatkan riwayat pemakaian obat.<br />
2. Kendalikan faktor – faktor iritan.<br />
a. Pertahankan kelembaban kira-kira 60%;gunakan alat pelembab<br />
b. Pertahankan lingkungan dingin <br />
c. Gunakan sabun ringan atau sabun yang dibuat untuk kulit sensitif.<br />
d. lepaskan kelebihan pakaian atau peralatan di tempat tidur.<br />
e. Cuci linen tempat tidur dan pakaian dengan sabun ringan .<br />
f. Hentikan pemajanan berulang terhadap deterjen,pembersih,dan pelarut.<br />
<br />
3. Menggunakan tindakan perawatan kulit untuk mempertahankan integritas kulit dan meningkatkan kenyamanan pasien.<br />
a. Melaksanakan kompresi penyejuk dengan air suam – suam kuku, atau kompres dingin guna meredakan rasa gatal.<br />
b. Mengatasi kekeringan sebagaimana di preskripsikan .<br />
c. Mengoleskan losion dan krim kulit segera setelah mandi.<br />
d. Menjaga agar kuku selau terpangkas.<br />
e. Menggunakan terapi tropikal seperti yang preskiripsikan.<br />
f. Membantu pasien menerima terapi yang lama, yang diperlukan pada beberapa kelainan kulit.<br />
g. Menasehati pasien untuk menghindari pemakaian salep atau losion yang di beli tanpa resep dokter<br />
Rasional:<br />
1. Pemahaman tentang luas dan karakteristik kulit meliputi bantuan dalam menyusun rencana interfensi<br />
a. Membantu menidentifikasi tindakan yang tepat untk memberikan kenyamanan.<br />
b. Deskripsi yang akurat tentang erupsi kulit diperlukan untuk diagnosa dan pengobatan. Banyak kondisi kulit tampak serupa tetapi memepunyai etiologi yang berbeda, respon inflamasi kutan mungjin mati pada pasien lansia.<br />
c. Ruang menyeluruh terutama dengan awitan yang mendadak dapat menunjukan reaksi alergi terhadap obat.<br />
2. Rasa gatal diperburuk oleh panas, kimia dan fisik.<br />
a. Dengan kelembaban yang rendah, kulit akan kehilangan air.<br />
b. Kesejukan mengurangi gatal.<br />
c. Upaya ini mencakup tidak adanya larutan diterjen, zat pewarna atau bahan pengeras.<br />
d. Meningkatkan lingkungan yang sejuk.<br />
e. Sabun yang keras dapat menimbulkan iritasi kulit.<br />
f. Setiap substansi yang menghilangkan air, lipid atau protein dari epidermis akan mengubah fungsi barier kulit.<br />
3. Kulit merupakan barier yang penting yang harus dipertahankan keutuhanya agar berfungsi dengan benar.<br />
a. Pengisatan air yang bertahap dari kasa kompres akan menyejukan kulit dan meredakan pruritus.<br />
b. Kulit yang kering dpat menimbulkan daerah dermatitis dengan gejala kemerahan, gatal, deskuamasi dan pada bentuk yang lebih berat, pembengkakan, pembentukan lepuh, keretakan dan eksudat.<br />
c. Hidrasi yang efektif pada stratum korneum mencegah gangguan lapisan barier pada kulit.<br />
d. Pemotongan kuku akan mengurangi kerusakan kulit karena garukan.<br />
e. Tindakan ini membantu meredakan gejala.<br />
f. Tindakan koping biasanya akan meningkatkan kenyamanan.<br />
g. Masalah pasien dapat disebabkan oleh iritasi atau sensitisasi pengobatan sendiri.<br />
3) Gangguan pola tidur berhubungan dengan adanya pruritus.<br />
Intervensi:<br />
1. Cegah dan obati kulit yang kering.<br />
a. Menasehati pasien untuk menjaga kamar tidur agar tetap memiliki fentilasi dan kelembaban yang baik.<br />
b. Menjaga agar kulit selalu lembab.<br />
c. Mandi hanya diperlukan jika kulit sangat kering.<br />
d. Jangan gunakan sabun atau gunakan sabun yang lembut oleskan losion segera sesudah mandi sementara kulit masih lembab.<br />
2. Nasehati pasien untuk melakukan hal berikut yang dapat membantu meningkatkan tidur<br />
a. Menjaga jadwal tidur yang teratur pergi tidur pada saat yang sama dan bangun pada sat yang sama.<br />
b. Menghindari minuman yang mengandung kafein menjelang tidur dimalam hari.<br />
c. Melaksanakan gerak badan secara teratur.<br />
d. Mengerjakan hal – hal yang rirual dan rutin menjelang tidur.<br />
<br />
<br />
<br />
Rasional:<br />
1. Pruritus nokturnal mengganggu tidur yang normal.<br />
a. Udara yang kering membuat kulit terasa gatal, lingkungan yang nyaman meningkatkan relaksasi.<br />
b. Tindakan ini mencegah kehilangan air, kulit yang kering dan gatal biasanya tidak dapat disembuhkan, tapi bisa di kendalikan.<br />
c. Semua tindakan ini kan memelihara kelembaban kulit.<br />
2. <br />
a. Dengan kelembaban yang rendah kulit akan kehilangan air.<br />
b. Kafein memiliki efek puncak 2 – 4 jam sesduah di konsumsi.<br />
c. Gerak badan memberikan efek yang menguntungkan untuk tidur jika dilaksanakan pada sore hari.<br />
d. Tindakan ini memudahkan peralihan dari keadaan terja menjadi tertidur.<br />
4) Gangguan citra tubuh berhubungan dengan penampakan kulit yang tidak bagus.<br />
Intervensi:<br />
1. Kaji adanya gangguan pada citra diri pasien ( Menghindari kontak mata, merendahkan diri sendiri,Ekspresi muak terhadap kondisi kulitnya ).<br />
2. identiffikaasi stadium psikososial tahap perkembangan.<br />
3. Berikan kesempatan untuk pengungkapan, dengarkan,( dengan cara yang terbuka, tidak menghkimi ). Untuk mengekspresikan berduka/ ansietas tentang perubahan citra tubuh<br />
4. Nilai rasa keprihatinan dan ketakutan pasien, bantu pasien yang cemas dalam mengembangkan kemampuan untuk menilai diri dan mengenali serta mengatasi masalah.<br />
5. Mendukung upaya pasien untuk memperbaiki citra diri ( turut berpartisippasi dalam penanganan kulitnya, merias atau merapikan diri )<br />
6. Membantu pasien ke arah penerimaan diri.<br />
7. Mendorong sosialisasi dengan orang lain.<br />
8. Memberikan nasehat kepada pasien mengenai cara – cara perawatan kosmetik untuk menyembunyikan kondisi kulit yang abnormal.<br />
Rasional:<br />
1. Gangguan citra diri akan menyertai setiap penyakit atau keadaan yang nyata bagi pasien. Kesan seseorang terhadap dirinya sendiri akan berpengaruh pada konsep diri.<br />
2. Terdapat hubungan antara stadium perkembangan, citra diri dan reaksi serta pemahaman pasien terhadap kondisi kulitnya.<br />
3. Pasien membutuhkan pengalaman, didengarkan dan dipahami.<br />
4. Tindakan ini memeberikan kesempatan kepada petugas kesehatan untuk menetralkan kecemasan yang tidak perlu terjadi dan memulihkan realitas situasi. Ketakutan merupakan unsur yang merusak adaptasi pasien .<br />
5. (Untuk nomor 5 s/d 8). Pnedekatan dan sasaran yang positif tentang tekhnik – tekhnik kosmetik seringkali membantu dalam meningkatkan penerimaan diri dan sosialisasi.<br />
5) Kurang pengetahuan berhubungan dengan salah tanggap informasi.<br />
Intervensi:<br />
1. Tentukan apakah pasien mengetahui ( memahami dan salah mengerti ) tentang kondisi dirinya.<br />
2. Jaga agar pasien mendapatkan informasi yang benar, memperbaiki kesalahan konsepsi / informasi.<br />
3. Peragakan penerapan terapi yang di programkan ( kompres basah; terapi topikal )<br />
4. Berikan nasehat pada pasien untuk menjaga agar kulit tetap lembab dan fleksibel dengan tindakan hidrasi dan pengolesan krim serta losion kulit.<br />
5. Dorong pasien utnuk mendapatkan status nutrisi yang sehat.<br />
Rasional:<br />
1. Memberikan data dasar untuk mengembangkan rencana penyuluhan.<br />
2. Pasien harus memiliki perasaan bahwa ada yang harus diperbuat, kebanyakan pasien merasakan manfaat yang lebih.<br />
3. Memungkinkan pasien untuk memperoleh kesempatan untuk menunjukan cara yang tepat untuk melakukan terapi.<br />
4. Stratum korneum memerlukan air agar fleksibilitas kulit tetap terjaga. Pengolesan krim atau losion untuk melembabkan kulit akan mencegah agar kulit tidak menjadi kering, kasar, retak dan bersisik.<br />
5. Penampakan kulit mencerminkan kesehatan umum seseorang. Perubahan pada kulit akan menandakan status nutrisi yang ab normal.<br />
6. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan adanya lesi pada kulit.<br />
Intervensi:<br />
1. Memiliki indeks kecurigaan yang tinggi terhadap suatu infeksi pada pasien yag sistem kekebalanya ter ganggu.<br />
2. berikan petunjuk yang jelas dan rinci kepada pasien mengenai program terapi.<br />
3. Laksanankan pemakaian kompres basah seperti yang diprogramkan untuk mengurangi intensitas inflamasi<br />
4. Sediakan terapi rendaman separti yang diprogramkan .<br />
5. Berikan preparat anibiotik yang diresepkan dokter.<br />
6. Gunakan obat-obat topikal yang mengandug kortikosteroid seperti yang diresepkan dokter dan menurut indikasinya <br />
a. Observasi lesie secara periodik untuk peribahan respon terhadap terapi.<br />
b. Instruksikan pasien tentang kemungkinan efek samping penggunaan jangka panjang kortikosteroid, topikal, difluorinasi.<br />
7. Nasihati pasien untuk menghentukan pemakaian obat kulit yang yang memperburuk masalah.<br />
Rasional:<br />
1. Setiap keadaan yang mengganggu status imune akan memperbesar resiko terjadinya infeksi kulit.<br />
2. Pendidikan pasien yang efektif bergantung kepada ketrampilan, keterampilan interpresonal, profesional kesehatan dan pada pemberian instruksi yang jelas yang diperkuat instruksi tertulis.<br />
3. Kompres basah akan menghasilkan pendinginan lewat pengisatan yang menimbulkan vasokontriksi pembuluh darah kulit dan dengan demikian mengurangi eritema serta produksi serum. Kompres basah akan membantu tindakan debridemen fesikel serta krusta dan mengendalikan proses inflamasi.<br />
4. Melepaskan eksudat dan krusta.<br />
5. Membunuh atau mencegah pertumbuhan mikrorganisme penyebab infeksi.<br />
6. Kortikosteroid memiliki kerja anti inflamasi yang menjelaskan sebagian kemampuanya untuk menimbuklan vasokontriksi pada pembuluh - pembuluh kecil dalam dermis lapisan atas. Pemakaian kortikosterod topikal yang ekstensif dalam waktu yang lama dapat menimbulkan efek anti proliferatif pada sel – sel epidermis ( kerontokan rambut pada daerah yang dioleskan ).<br />
7. Dermatitis kontak atau reaksi alergi dapat terjadi setiap unsur yang ada dalam obat tersebut.<br />
IV. EVALUASI<br />
Setelah dilakukan tindakan hasil yang di harapkan adalah sebagai berikut:<br />
1) Resiko terhadap kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perbahan fungsi barier kulit.<br />
1. Memepertahankan integritas kulit.<br />
2. Tidak adanya maserasi.<br />
3. Tidak ada tanda – tanda cedara termal.<br />
4. Tidak ada infeksi.<br />
5. Memberikan obat topikal yang diprogramkan.<br />
6. Menggunakan obat yang dirersepkan sesuai jadwal.<br />
2) Nyeri dan rasa gatal berhubungan dengan adanya lesi kulit.<br />
1. Mencapai peredaran gangguan rasa.<br />
2. Mengutarakan dengan kata – kata bahwa gatal telah reda.<br />
3. Memeperlihatkan tidak adanya gejala ekskoriasi kulit karena garukan.<br />
4. Mematuhi terapi yang diprogramkan.<br />
5. Pertahankan keadekuatan hidrasi dan lubrikasi kulit.<br />
6. Menunjukan kulit utuh; kulit menunjukan kemajuan dalam penampilan yang sehat.<br />
3) Gangguan pola tidur berhubungan dengan adanya pruritus.<br />
1. Mencapai tidur yang nyenyak.<br />
2. Melaporkan peredaran rasa gatal.<br />
3. Mempertahankan kondisi lingkungan yang tepat.<br />
4. Menghindari konsumsi kafein pada sore hari dan menjelang tidur malam hari.<br />
5. Mengenali tindakan untuk meningkatkan tidur.<br />
6. Mengalami pola tidur / istirahat yang memuaskan.<br />
4) Gangguan citra tubuh berhubungan dengan penampakan kulit yang tidak bagus.<br />
1. Mengembangkan peningkatan kemampuan untuk menerima diri sendiri.<br />
2. Mengikuti dan turut berpartisipasi dalam tindakan perawatan mandiri.<br />
3. Melaporkan perasaan dalam mengendalikan situasi.<br />
4. Menguatkan kembali dukungan positif dari diri sendiri<br />
5. Mengutarakan perhatian terhadap diri sendiri yang sehat.<br />
6. Tampak tidak begitu memperhatikan kondisi.<br />
7. Menggunakan tekhnik menyembunyikan kekurangan dan menekankan teknik untuk meningkatkan penampilan.<br />
5) Kurang pengetahuan berhubungan dengan salah tanggap informasi.<br />
1. Memiliki pemahaman terhadap perawatan kulit.<br />
2. Mengikuti terapi seperti yang diprogramkan dan dapat mengungkapkan rasional tindakan yang dilakukan.<br />
3. Menjalankan mandi, pencucian, barutan basah sesuai yang diprogramkan.<br />
4. Gunakan obat tropikal dengan tepat.<br />
5. Memahami pentingnya nutrisi untuk kesehatan kulit.<br />
6) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan adanya lesi pada kulit.<br />
1. Tetap bebas dari infeksi.<br />
2. Mengungkapkan tindakan perawatan kulit yang meningkatkan kebersihan dan mencegah kerusakan.<br />
3. Mengidentifikasikan tanda dan gejala infeksi untuk dilaporkan.<br />
4. Mengidentifikasi efek merugikan dari obat yang harus dilaporkan ke petugas perawatan kesehatan.<br />
5. Berpartisipasi dalam tindakan perawatan kulit ( misalnya mandi, dan penggantian balut ).<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
<br />
<br />
Brunner and Suddarth.2001.Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC<br />
Harahap, Marwali, dkk. 1984. Pedoman Pengobatan Penyakit Kulit. Bandung: Alumni)<br />
-----------------------------.2006. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta: Hipokrates<br />
Mansjoer, Arif, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jil. 2. Jakarta: Media Aesculapius.<br />
Price, Sylvia Anderson. 1991. Patofisiologi. Jakarta: EGC.<br />
NANDA.2006.Pedoman Diagnosa Keperawatan NANDA 2005 – 2006. .........................: Primamedika.Puspo Widianotohttp://www.blogger.com/profile/18352577488779133633noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4942725209072240234.post-29186156996972125122011-02-21T18:33:00.001-08:002011-02-21T18:33:18.727-08:00Eksim atau dermatitisLAPORAN PENDAHULUAN<br />
<br />
A. Pengertian<br />
• Eksim atau dermatitis adalah istilah kedokteran untuk kelainan kulit yang ditandai kulit tampak meradang dan iritasi<br />
• Dermatitis merupakan epidermo-dermis dengan gejala subjektif pruritus (Kapita Selekta Kedokteran )<br />
• Dermatitis merupakan reaksi inflamasi pada kulit dan didasari factor herediter dan lingkungan ( Cory. S Matundang )<br />
Pengertian umum dari dermatitis adalah suatu reaksi radang terhadap banyak rangsang, reaksi ini dapat berasal dari luar ( eksogen ) maupun dari dalam (endogen)<br />
<br />
B. Etiologi<br />
Penyebab dermatitis kadang–kadang tidak diketahui sebagian besar merupakan respon kulit terhadap agen-agen yang beraneka ragam, misalnya<br />
1. Zat kimia, protein, bakteri, dan fungus<br />
2. Alergi terhadap debu, serbuk sari tanaman / bulu hewan<br />
3. Alergi / toleransi terhadap makanan tertentu<br />
4. Pemakaian kosmetik dan perhiasan imitasi ( bahan kimia lainnya )<br />
5. Virus dan infeksi lain<br />
<br />
C. Patofisiologi<br />
Dermatitis merupakan reaksi alergi tipe 4 yakni respon lambat tipe tuberculin yang bersifat cell mediated reaksi spesifik memerlukan beberapa jam mencapai maksimum. Klinis biasanya baru tampak respon sesudah 24 – 48 jam. Pada reaksi antara antigen dan antibody terjadi pembebasan berbagai mediator farmakologik. Misalnya histamine, serotonin, bradikinin, asetikoline, heparin, dan anafilaktosin<br />
<br />
D. Manifestasi klinis<br />
Dimanapun lokasi timbulnya dermatitis, gejala utama yang dirasakan pasien adalah gatal. Terkadang rasa gatal sudah muncul sebelum ada tanda kemerahan pada kulit. Gejala kemerahan biasanya akan muncul pada wajah, lutut, tangan dan kaki. Namun tidak menutup kemungkinan kemerahan muncul didaerah lain. Daerah yang terkena akan terasa sangat kering, menebal atau keropeng. Pada orang kulit putih daerah ini pada mulanya akan berwarna merah muda lalu berubah menjadi coklat. Sementara itu pada orang dengan kulit lebih gelap, dermatitis akan mempengaruhi pigmen kulit, sehingga daerah dermatitis akan tampak lebih terang atau lebih gelap.<br />
Subjektif pada tanda-tanda radang akut, terutama pruritus ( sebagai pengganti dolor ). Selain itu juga terdapat kenaikan suhu ( kalor ), kemerahan ( rubor ), edema atau pembengkakan dan gangguan fungsi kulit ( fungsiolesa ). <br />
<br />
E. Jenis- jenis Dermatitis<br />
Adapun jenis-jenis dermatitis yaitu (Mahadi, 2000:7):<br />
1. Dermatitis atopik<br />
adalah dermatitis yang terjadi pada orang yang mempunyai riwayat atopi.<br />
2. Dermatitis seboroik<br />
adalah peradangan kulit yang sering terdapat pada daerah tubuh berambut, terutama pda kulit kepala, alis mata, dan muka, kronik dan superficial.<br />
3. Dermatitis statis<br />
adalah dermatitis yang terjadi akibat adanya gangguan aliran darah vena ditungkai bawah.<br />
4. Dermatitis (ekzema) nonspesifik<br />
adalah suatu erupsi epidermal yang dapat berlangsung akut, kronik, terlokalisir atau generalis.<br />
5. Dermatitis pomfolik<br />
adalah dermatitis yang ditandai dengan adanya vesikula yang dalam, mengenai telapak tangan, kaki, dan sisi jari-jari.<br />
6. Dermatitis otosentisisasi<br />
adalah perluasan yang cepat dari reaksi ekzematus atau vesikuler.<br />
7. Dermatitis numuler<br />
adalah dermatitis yang bentuk lesinya bulat seperti uang logam.<br />
<br />
8. Dermatitis xerotik<br />
adalah dermatitis yang terjadi pada musim dingin dan sering dijumpai pada orang tua dan mempunyai predisposisi dapat dijumpai pada laki-laki maupun perempuan.<br />
9. Dermatitis medikamentosa<br />
10. Dermatitis kontak<br />
adalah suatu dermatitis yang disertai dengan adaanya spongiosis atau edema interseluler pada epidermis karena kulit berinteraksi dengan bgahan-bahan kimia yang berkontak atau terpajan pada kulit. <br />
11. Dermatitis infektif<br />
adalah suatu eczema yang disebabkan oleh suatu mikroorganisme ataupun produknya dan menyembuh bila organismenya sudah diobati.<br />
12. Dermatofitid<br />
adalahdermatitis yang terjadi secara sekunder, jauh dari lesi infeksi, analog dengan tuberkulid kulit pada tuberculosis.<br />
13. Dermatitis eksfoliatifa generalisata<br />
adalah suatu kelainan peradangan yang ditandai dengan eritema dan skuama yang hampir mengenai seluruh tubuh.<br />
<br />
F. Penatalaksanaan <br />
Tujuan utama dari pengobatan adalah menghilangkan rasa gatal untuk mencegah terjadinya infeksi. Ketika kulit terasa sangat kering dan gatal, lotion dan cream pelembab sangat dianjurkan untuk membuat kulit menjadi lembab. Tindakan ini biasanya dilakukan saat kulit masih basah, seperti saat habis mandi sehingga cream yang dioleskan akan mempertahankan kelembaban kulit. Kompres dingin juga diduga dapat mengurangi rasa gatal yang terjadi. Salep atau cream yang mengandung kortikosteroid seperti hydri kortison dibrikan untuk mengurangi proses inflamasi / peradangan. Untuk kasus-kasus yang berat dokter akan memberikan tablet kortikosteroid dan apabila pada daerah dermatitis setelagh terinfeksi maka bisa diberikan antibiotika untuk membunuh bakteri penyebab infeksi. Pengobatan menurut FKUI yaitu :<br />
<br />
<br />
<br />
1. Pengobatan secara sistemik<br />
Pada kasus dermatitis ringan diberi antihistamin atau kombinasi antihistamin-anti serotonin, anti bradikinin, anti-SRS-A, dsb. Pada kasus berat dapt dipertimbangkan pemberian kortikosteroid.<br />
2. Pengobatan secara topical<br />
Prinsip umum terapi topical diuraikan dibawah ini :<br />
• Dermatitis basah ( madidans ) harus diobati dengan kompres terbuka. Dermatitis kering ( sika ) diobati dengan krim atau salep<br />
• Makin berat atau akut penyakitnya, makin rendah presentase obat spesifik<br />
• Bila dermatitis akut, diberi kompres. Bila subakut, diberi losion ( bedak kocok ), pasta, krim atau linimentum ( pasta pendingin ). Bila kronik diberi salep<br />
• Pada dermatitis sika, bila superficial diberi bedak, losio, krim atau pasta. Bila kronik diberi salep. Krim diberikan pada daerah berambut, sedangkan pasta pada daerah yang tidak berambut. Penetrasi salep lebih besar daripada krim.<br />
<br />
G. Pencegahan<br />
Munculnya dermatitis dapat dihindari dengan melakukan hal-hal sebagai <br />
berikut :<br />
1. Menjaga kelembaban kulit<br />
2. Hindari perubahan suhu dan kelembaban yang mendadak<br />
3. Hindari berkeringat terlalu banyak / kepanasan<br />
4. Kurangi stress<br />
5. Hindari pakaian yang menggunakan bahan yang menggaruk seperti wool dan lain-lain.<br />
6. Hindari sabun dengan bahan yang terlalu keras, deterjen dan larutan lainnya.<br />
7. Hindari factor lingkungan lain yang dapat mencetuskan alergi seperti serbuk bunga, debu, bulu binatang dan lain-lain.<br />
8. Hati-hati dalam memilih makanan yang bias menyebabkan alergi<br />
<br />
H. Komplikasi<br />
Komplikasi yang sering terjadi adalah infeksi sekunder oleh bakteri, septikemi, diare, dan pneumonia. Gangguan metabolic mengakibatkan suatu resiko hipotermia, dekompensasi kordis, kegagalan sirkulasi perifer dan trombophlebitis. Bila pengobatan kurang baik, akan terjadi degenerasi visceral yang menyebabkan kematian.<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
ASUHAN KEPERAWATAN<br />
<br />
I. Pengkajian<br />
Menurut Doengus 2000:899<br />
a. Riwayat kesehatan<br />
Klien dengan Dermatitis harus dikaji bagaimana kebiasaan hygiene sehari-hari(missal: apakah klien menggunakan sabun dan air panas?), pengobatan yang telah diberikan, terpapar oleh allergen, lingkungan dan riwayat kerusakan kulit.<br />
1) Adanya riwayat alergi bahan makanan, kosmetik, suhu, dan protein.<br />
2) Suhu kesehatan keluarga ditanyakan apakah ada anggota keluarga menderita gangguan kulit, dan kapan mulainya.<br />
3) Kebiasaan aktifitas sehari-hari misalnya lingkungan pasien yang dapat menyebabkan gangguan kulit.<br />
b. Pemeriksaan fisik<br />
Inspeksi mengenai warna, jaringan parut, vesikel, lesi, dan kondisi vaskularisasi supervisial.<br />
c. Periksaan penunjang<br />
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk dermatitis, misal:<br />
• Usap kulit(skin swab)<br />
Dilakukan pada: <br />
Pasien eksema yang di RS dengan eksema yang terbuka, terkeskoriasi, atau berkerak untuk menentukan jenis bakteri penyabab dan pengobatan paling tepat.<br />
Kecurigaan bahwa infeksi disebabkan oleh bakteri S, auereus yang resisten terhadap pengobatan standar.<br />
• Usap hidung (nasal swab) dari pasien dan orang tua<br />
Hanya dilakukan jika ada infeksi berulang atau bisul<br />
• Tes alergi pada kulit<br />
Dilakukan jika:<br />
Anak memiliki riwayat gatal, kemerahan, bentol-bentol, atau kambuhnya eksema setelah makan makanan tertentu<br />
Anak berusia kurang dari 12 bulan dengan eksema sedang-berat yang tidak membaik dengan pengobatan.<br />
Anak yang patuh dengan pengobatan selama 6 minggu, namun tidak menunjukan perbaikan.<br />
• Dermatografisme puth<br />
• Percobaan asetikolin<br />
• Percobaan histamine<br />
<br />
II. DIAGNOSA KEPERAWATAN<br />
1. Kerusakan integritas kulit b.d terpapar allergen<br />
2. Resiko infeksi b.d kerusakan jaringan dan peningkatan paparan lingkungan<br />
3. Gangguan rasa aman : nyeri (gatal) b.d agen injuri atau allergen<br />
4. Gangguan pola tidur b.d stimulasi yang berlebih ( gatal-gatal)<br />
<br />
III. INTERVENSI<br />
DX I :Kerusan intregritas kulit b.d terpapar alergen.<br />
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan kerusakan kulit <br />
dapat dihindari.<br />
Criteria hasil :<br />
NOC : Integritas jaringan<br />
Integritas kulit yang baik bias dipertahankan<br />
Tidak ada luka atau lesi pada kulit<br />
Menunjukan pemahaman dalam proses perbaikan kulit dan mencegah terjadinya cedera berulang.<br />
Mampu melindungi kulit dan memepertahankan kelembaban kulit dan perawatan alami.<br />
NIC : Manajemen tekanan<br />
a. Anjurkan pasien mengenakan pakaian yang longgar<br />
b. Hindari kerutan pada tempat tidur<br />
c. Jaga kebersihan kulit agar cepat bersih dan kering<br />
d. Mobilisasi pasien secara teratur<br />
e. Monitor kulit akan adanya kemerahan<br />
<br />
DX II : Resiko infeksi b.d kerusakan jaringan dan peningkatan paparan <br />
lingkungan<br />
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan resiko infeksi dapat dihindari<br />
Criteria hasil :<br />
NOC : Control resiko<br />
Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi.<br />
Mendeskripsikan proses penularan penyakit, factor yang mempengaruhi penularan dan penataksanaannya.<br />
Menunjukan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi.<br />
Menunjukan perilaku hidup sehat.<br />
NIC : Control infeksi<br />
a. Anjurkan klien untuk mencuci tangan sebelum atau sesudah melakukan kegiatan<br />
b. Gunakan sabun anti mikroba untuk mencuci tangan.<br />
c. Berikan terapi antibiotic bila perlu ( Infection Protection)<br />
d. Monitor tanda dan gejala infeksi sitemik dan local<br />
e. Monitor kerentangan terhadap infeksi<br />
f. Berikan perawatan kulit<br />
g. Inspeksi kulit terhadap tanda-tanda infeksi<br />
h. Instruksikan klien minum antibiotic sesuai resep<br />
i. Ajarkan pasien ( keluarga) tentang tanda dan gejala infeksi<br />
j. Laporkan kecurigaan infeksi <br />
k. Laporkan kultur positif<br />
<br />
DX. III :Gangguan rasa nyaman : nyeri (gatal)<br />
Tujuan :Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan rasa gatal pasien <br />
hilang atau berkurang.<br />
NOC :<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
DX IV : Gangguan) pola tidur b.d stimulasi yang berlebih ( gatal-gatal)<br />
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan tidur tercukupi<br />
NOC : Tidur<br />
Jam tidur cukup<br />
Pola tidur baik<br />
Kualitas tidur baik<br />
Gangguan tidur berkurang<br />
Vital sign dalam batas normal<br />
NIC : Perubahan tidur<br />
a. Kaji pangaruh pengaruh pengobatan terhadap pola tidur<br />
b. Monitor pola tidur dan jam tidur pasien<br />
c. Instruksikan pasien untuk mencari factor pendukung gangguan pola tidur<br />
d. Bantu mengurangi stress sebelum tidur<br />
e. Anjurkan penggunaan obat tidur yang sesuai ketentuan<br />
f. Ciptakan lingkungan yang mendukung kenyamanan untuk tidur<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
IV. EVALUASI<br />
Dx Criteria hasil Skala penilaian<br />
1 Integritas kulit yang baik bias dipertahankan<br />
Tidak ada luka atau lesi pada kulit<br />
Menunjukan pemahaman dalam proses perbaikan kulit dan mencegah terjadinya cedera berulang.<br />
Mampu melindungi kulit dan memepertahankan kelembaban kulit dan perawatan alami. <br />
1 = tidak pernah menunjukan<br />
2 = jarang menunjukan<br />
3 = kadang menunjukan<br />
4 = sering menunjukan<br />
5 = selalu menunjukan<br />
2 Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi.<br />
Mendeskripsikan proses penularan penyakit, factor yang mempengaruhi penularan dan penataksanaannya.<br />
Menunjukan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi.<br />
Menunjukan perilaku hidup sehat. <br />
1 = tidak pernah menunjukan<br />
2 = jarang menunjukan<br />
3 = kadang menunjukan<br />
4 = sering menunjukan<br />
5 = selalu menunjukan<br />
3 <br />
<br />
1 = tidak pernah menunjukan<br />
2 = jarang menunjukan<br />
3 = kadang menunjukan<br />
4 = sering menunjukan<br />
5 = selalu menunjukan<br />
4 Jam tidur cukup<br />
Pola tidur baik<br />
Kualitas tidur baik<br />
Gangguan tidur berkurang<br />
Vital sign dalam batas normal 1 = tidak pernah menunjukan<br />
2 = jarang menunjukan<br />
3 = kadang menunjukan<br />
4 = sering menunjukan<br />
5 = selalu menunjukan<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
Carpenito, Lynda Juall,2000.Diagnosa Keperawatan, Alih bahasa Monica Ester dkk, EGC:Jakarta<br />
Doengoes, Marilyn E dkk, 1998. Rencana Asuhan Keperawatan, edisi 3. Alih<br />
Bahasa 1 Made Karisa,S.Kep dkk, EGC : Jakarta <br />
FKUI.1993. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin Edisi: 2. Jakarta<br />
Harahap, marwali. 2000. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta: Hipokrates<br />
______,2000. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3,Jakarta: Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia<br />
http://www.google.com<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
TUGAS TERSTRUKTUR MATA KULIAH<br />
KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH<br />
LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASKEP PADA DERMATITIS<br />
Dosen Pengampu :Munjiati, S.Kp<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Disusun Oleh:<br />
1. Anggraeni. C P. 10220206045<br />
2. Diah Ika P. 10220206051<br />
3. Feri Yudistira P. 10220206058<br />
4. Indra Wahyudi P. 10220206059<br />
5. Slamet Raharja P. 10220206073<br />
6. Yuli Wijayanti P. 10220206078<br />
7. Yusetya Novi P. 10220206079<br />
<br />
<br />
DEPARTEMEN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA<br />
POLITEKNIK KESEHATAN SEMARANG<br />
PROGRAM STUDY KEPERAWATAN<br />
PURWOKERTO<br />
2008Puspo Widianotohttp://www.blogger.com/profile/18352577488779133633noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4942725209072240234.post-76127774757058698922011-02-21T18:32:00.002-08:002011-02-21T18:32:23.629-08:00DEKUBITUSDEKUBITUS<br />
<br />
A. PENGERTIAN<br />
1. Dekubitus adalah luka akibat tekanan karena posisi tidak berubah.<br />
2. Dekubitus merupakan luka yang terjadi karena tekanan atau iritasi kronis, biasanya pada kulit punggung pasien yang selalu berbaring di tempat tidur atau yang sulit bangkit dari ranjang perawatan dalam waktu yang lama. <br />
3. Ulkus dekubitus adalah suatu keadaan kerusakan jaringan setempat yang disebabkan oleh iskemia kulit akibat tekanan dari luar yang berlebihan.<br />
<br />
B. ETIOLOGI<br />
- Primer : <br />
1. Iskemia<br />
2. Tekanan intra okuler dan supra kapiler.<br />
3. Dilatasi pembuluh darah.<br />
- Sekunder<br />
1. Gangguan saraf vasomotorik, sensorik dan motorik.<br />
2. Malnutrisi<br />
3. Anemia<br />
4. infeksi<br />
5. Hygiene yang buruk.<br />
6. Kemunduran mental dan penurunan kesadaran<br />
<br />
C. KLASIFIKASI<br />
1. Stadium I<br />
Ulserasi terbatas pada epidermis dan dermis dengan eritema pada kulit. Penderita dengan sensibilitas baik akan mengeluh nyeri, stadium ini biasanya reversible dan dapat sembuh dalam 5-10 hari.<br />
2. Stadium II<br />
Ulserasi mengenai dermis, epidermis dan meluas ke jaringan adiposa terlihat eritema dan indurasi. Stadium ini dapat sembuh dalam 10-15 hari.<br />
4. Stadium III<br />
Ulserasi meluas sampai ke lapisan lemak subkulit dan otot sudah mulai terganggu dengan adanya edema dan inflamasi, infeksi akan hilang struktur fibril. Biasanya sembuh dalam 3-8 minggu.<br />
5. Stadium IV<br />
Ulserasi dan nekrosis meluas mengenai fasia,otot serta sendi. Dapat sembuh dalam 3-6 bulan.<br />
<br />
D. PATOFISIOLOGI<br />
Pada dasarnya ulkus dekubitus terjadi akibat adanya faktor primer dan sekunder. Faktor primer tekanan dari luar yang menimbulkan iskmeik setempat. Dalam keadaan normal, tekanan intrakapiler arteriol adalah 32 mmHg dan tekanan ini dapat mencapai 60 mmHg. Efek destruksi jaringan yang berkaitan dengan keadaan iskemik dapat terjadi dengan tekanan jaringan kapiler 32-60 mmHg yang disebut tekanan suprakapiler. Jika tekanan suprakapiler tercapai akan terjadi aliran darah, kapiler yang disusul dengan iskemik setempat.<br />
Substansi H yang mirip dengan histami dilepaskan oleh sel yang iskemik dan akumulasi metabolik, kalium, ADP dan asam laktat diduga sebagai faktor yang menyebabkan dilatasi pembuluh darah.<br />
Reaksi kompresi sirkulasi akan tampak sebagai hiperemia dan reaksi tersebut masih efektif bila tekanan dihilangkan sebelum periode kritis terjadi yaitu 1-2 jam.<br />
<br />
E. MANIFESTASI KLINIS<br />
1. Edema<br />
2. Hiperemis<br />
3. Kerusakan otot.<br />
4. Kerusakan jaringan kulit.<br />
5. Kemerahan.<br />
<br />
<br />
<br />
F. LOKASI ULKUS<br />
1. Tuberositas ulkus<br />
Akibat tekanan pada keadaan duduk karena foodrest pada kurs roda terlalu tinggi sehingga BB tertumpu pada daerah ischium.<br />
2. Sacrum<br />
Terjadi bila berbaring terlentang, tidak mengubah posisi. Secara teratur salah posisi waktu duduk di kursi roda juga saat penderita merosot kew tempat tidur dengan sandaran miring.<br />
3. Tunit<br />
4. Lutut<br />
Terjadi bila pasien lama berbaring telungkup sedangkan sisi lateral lutut terkena karena lama berbaring pada satu sisi.<br />
5. Siku<br />
Sering dipakai sebagai penekan tubuh atau pembantu mengubah posisi.<br />
6. Jari kaki<br />
Dapat terkena pada posisi telungkup, sepatu yang terlalu sempit.<br />
7. Scapula dan Processus spinous vertebrae<br />
Dapat terkena akibat terlalu lama terlentang dan gesekan yang sering.<br />
<br />
G. KOMPLIKASI<br />
1. Infeksi<br />
2. keterlibatan jaringan tulang dan sendi<br />
3. Septikemia<br />
4. Anemia<br />
5. Hiperbilirubin<br />
6. Kematian<br />
<br />
H. PENATALAKSANAAN<br />
A. Pencegahan<br />
Umum : Penkes tentang dekubitus bagi staf medis dan keluarga.<br />
Pemeliharaan KU dan gygiene penderita.<br />
Khusus : Mengurangi/menghindari tekanan luar yang berlebihan daerah tubuh tertentu dengan cara perubahan posisi tiap 2 jam di tempat tidur sepanjang 24 jam.<br />
- Pemeriksaan dan perawatan kulit dilakukan 2 kali sehari tetapi dapat sering pada aderah potensial terjadi dekubitus. Pemeriksaan kulit dapat dilakukan sendiri atau dengan batuan orang lain.<br />
- Pembersihan dengan menggunakan sabun lunak dan menjaga kulit tetap bersih dari keringat, urine dan feces bila perlu dapat diberikan lotion yang mengandung alkohol, bedak.<br />
B. Pengobatan<br />
- Mngurangi tekanan lebih lanjut pada daerah dekubitus. Secara umum dengan tindakan pencegahan yang sudah dibicarakan di atas. Pengurangan tekanan sangat penting karena dekubitus tidak akan sembuh selama masih ada tekanan yang lama.<br />
- Mempertahankan kedaaan bersih pada ulkus dan sekitarnya, proses tersebut akan menyebabkan proses kesembuhan menjadi cepat dan baik.<br />
- Mengangkat jaringan nekrotik pada ulkus akan menghambat jaringan granulasi dan epitalisasi. Oleh karena itu, pengangkatan jaringan nekrotik akan mempercepat kesembuhan.<br />
- Menurunkan dan mengatasi infeksi<br />
Perlu pemeriksaan kultur dan tes resisiten antibiotik sistemik dapat diberikan bila penderita mengalami sepsis,ulkus yang terinfeksi harus dibersihkan beberapa kali sehari dengan larutan antiseptik seperti larutan H2)2 30%, providon iodin.<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DEKUBITUS<br />
<br />
PENGKAJIAN<br />
1. Wawancara<br />
- Apakah pasien mengalami immobilisasi yang lama.<br />
- Apakah pasien mengalami gejala anoreksia.<br />
- Sejak kapan keluhan mulai dirasakan.<br />
- Bagaimana pola aktivitas sebelumnya.<br />
- Apakah sebelumnya pasien selalu berada di kursi roda.<br />
2. Pemeriksaan fisik<br />
- Aktivitas dan istirahat<br />
Menunjukkan adanya gangguan tidur, kelemahan otot, kehilangan tonus otot pada aderah yang luka.<br />
- Sirkulasi<br />
Adanya kelemahan nadi karena menurunnya serum ke daerah luka.<br />
- Integritas Ego<br />
Perasaan tidak berdaya, tidaka ada harapan, ansietas, takut, mudah tersinggung.<br />
- Eliminasi<br />
Penurunan BAB/BAK frekuensi dikarenakan kesulitas mobilitas fisik.<br />
- Makanan/cairan<br />
Penurunan BB karena malnutrisi, anoreksia, nyeri akut, adanya turgor kulit yag kering.<br />
- Nyeri/kenyamanan<br />
Dirasakan bila daerah luka digerakkan<br />
- Pernafasan<br />
Pernafasan ditemukan bila terjadi peningkatan/normal karena oksigenasi sangat dibutuhkan.<br />
<br />
DIAGNOSA KEPERAWATAN<br />
1. Kerusakan integritas kulit b.d Immobilisasi fisik<br />
2. Nyeri akut b.d Agen cedera fisik<br />
3. Resiko infeksi b.d Pertahanan primer tidak adekuat (kulit tidak utuh, truma jaringan)<br />
INTERVENSI KEPERAWATAN<br />
Dx I : Kerusakan integritas kulit b.d Immobilisasi fisik<br />
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan kerusakan integritas kulit tidak terjadi.<br />
NOC: Integritas Jaringan: kulit dan membran mukosa<br />
Kriteria Hasil:<br />
a. Sensasi normal<br />
b. Elastisitas normal<br />
c. Warna<br />
d. Tekstur<br />
e. Jaringan bebas lesi<br />
f. Adanya pertumbuhan rambut dikulit<br />
g. Kulit utuh<br />
Ket Skala:<br />
1 = Kompromi luar biasa<br />
2 = Kompromi baik<br />
3 = Kompromi kadang-kadang<br />
4 = Jarang kompromi <br />
5 = Tidak pernah kompromi<br />
NIC: Skin Surveilance<br />
1) Observation ekstremitas oedema, ulserasi, kelembaban<br />
2) Monitor warna kulit<br />
3) Monitor temperatur kulit<br />
4) Inspeksi kulit dan membran mukosa<br />
5) Inspeksi kondisi insisi bedah<br />
6) Monitor kulit pada daerah kerusakan dan kemerahan<br />
7) Monitor infeksi dan oedema<br />
<br />
Dx II : Nyeri akut b.d Agen cedera fisik<br />
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan nyeri berkurang atau hilang.<br />
a. NOC 1: Level Nyeri<br />
Kriteria Hasil:<br />
1. Laporkan frekuensi nyeri<br />
2. Kaji frekuensi nyeri<br />
3. Lamanya nyeri berlangsung<br />
4. Ekspresi wajah terhadap nyeri<br />
5. Kegelisahan<br />
6. Perubahan TTV<br />
b. NOC 2: Kontrol Nyeri<br />
Kriteria Hasil:<br />
2. Mengenal faktor penyebab<br />
3. Gunakan tindakan pencegahan<br />
4. Gunakan tindakan non analgetik<br />
5. Gunakan analgetik yang tepat<br />
Ket Skala:<br />
1 = Tidak pernah menunjukkan<br />
2 = Jarang menunjukkan<br />
3 = Kadang menunjukkan<br />
4 = Sering menunjukkan<br />
5 = Selalu menunjukkan<br />
NIC: Manajemen Nyeri<br />
1) Kaji secara menyeluruh tentang nyeri termasuk lokasi, durasi, frekuensi, intensitas, <br />
dan faktor penyebab.<br />
2) Observasi isyarat non verbal dari ketidaknyamanan terutama jika tidak dapat <br />
berkomunikasi secara efektif.<br />
3) Berikan analgetik dengan tepat.<br />
4) Berikan informasi tentang nyeri seperti penyebab nyeri, berapa lama akan berakhir<br />
dan antisipasi ketidaknyamanan dari prosedur.<br />
5) Ajarkan teknik non farmakologi (misalnya: relaksasi, guide, imagery,terapi musik,distraksi)<br />
<br />
Dx III : Resiko infeksi b.d Pertahanan primer tidak adekuat (kulit tidak utuh, trauma jaringan)<br />
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan infeksitidak terjadi.<br />
NOC: <br />
NOC : Pengendalian Infeksi<br />
Kriteria Hasil:<br />
1. Pengetahuan tentang adanya resiko infeksi<br />
2. Mampu memonitor faktor resiko dari lingkungan<br />
3. Membuat strategi untuk mengendalikan resiko infeksi<br />
4. Mengatur gaya hidup untuk mengurangi resiko<br />
5. Penggunaan pelayanan kesehatan yang sesuai<br />
Ket Skala:<br />
1 = Selalu<br />
2 = Sering<br />
3 = Kadang<br />
4 = Jarang<br />
5 = Tidak pernah<br />
NIC: Teaching diases proses<br />
1) Deskripsikan proses penyakit dengan tepat<br />
2) Sediakan informasi tentang kondisi pasien<br />
3) Diskusikan perawatan yang akan dilakukan<br />
4) Gambaran tanda dan gejala penyakit<br />
5) Instruksikan pasien untuk melaporkan kepada perawat untuk melaporkan tentang tanda dan gejala yang dirasakan.<br />
<br />
EVALUASI<br />
Kriteria Hasil: <br />
1. Sensasi normal 3 <br />
2. Elastisitas normal 3 <br />
3. Warna 3 <br />
4. Tekstur 3 <br />
5. Jaringan bebas lesi 3 <br />
6. Adanya pertumbuhan rambut dikulit 2 <br />
7. Kulit utuh 3 <br />
<br />
NOC 1: Level Nyeri<br />
1. Laporkan frekuensi nyeri 3 <br />
2. Kaji frekuensi nyeri 3 <br />
3. Lamanya nyeri berlangsung 3 <br />
4. Ekspresi wajah terhadap nyeri 3 <br />
5. Kegelisahan 3 <br />
6. Perubahan TTV 3 <br />
NOC 2: Kontrol Nyeri<br />
1.Mengenal faktor penyebab 3 <br />
2. Gunakan tindakan pencegahan 3 <br />
3. Gunakan tindakan non analgetik 3 <br />
4. Gunakan analgetik yang tepat 3 <br />
<br />
1. Pengetahuan tentang adanya resiko infeksi 3 <br />
2. Mampu memonitor faktor resiko dari lingkungan 3 <br />
3. Membuat strategi untuk mengendalikan resiko infeksi 3 <br />
4. Mengatur gaya hidup untuk mengurangi resiko 3 <br />
5. Penggunaan pelayanan kesehatan yang sesuai 3 <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn. S <br />
DENGAN DEKUBITUS DI RUANG ASOKA<br />
RSUD MARGONO SOEKARJO <br />
PURWOKERTO<br />
<br />
I. PENGKAJIAN<br />
Pengkajian dilakukan pada :<br />
Hari/tanggal : Selasa, 28 Oktober 2008<br />
Waktu : 21.00 WIB<br />
Petugas : Novianti S.M<br />
<br />
A. IDENTITAS PASIEN<br />
Nama : Tn. S <br />
Umur : 58 tahun<br />
Jenis kelamin : laki-laki<br />
Agama : islam<br />
Pekerjaan : Buruh. <br />
Pendidikan : SD<br />
Suku : jawa<br />
Alamat : Bancar<br />
No. RM : 025184<br />
Diagnosa medis : Tetanus<br />
Tanggal medik : 21 Oktober 2008<br />
<br />
B. IDENTITAS PENANGGUNG JAWAB<br />
Nama : Tn.M<br />
Jenis kelamin : laki-laki<br />
Pekerjaan : Wiraswasta<br />
Alamat : Banjar<br />
Hubungan dg pasien : Anak kandung pasien<br />
C. RIWAYAT KESEHATAN<br />
1. Keluhan Utama<br />
Pasien mengatakan sakit pada punggung bagian bawah.<br />
2. Keluhan Tambahan<br />
Pasien mengatakan gatal dan terasa panas pada punggung bagian bawah.<br />
3. Riwayat Penyakit Sekarang<br />
Pasien datang dari IGD pada tanggal 21 Oktober 2008 kemudian pasien dirawat di ruang ICU selama 6 hari. Setelah keadaan membaik, pasien dirawat di ruang Asoka pada tanggal 28 Oktober 2008. Pasien mengeluh sakit pada punggung bagian bawah, gatal, dan terasa panas pada punggung bagian bawah.<br />
4. Riwayat Penyakit Dahulu<br />
Pasien pernah mengalami kecelakaan 5 tahun yang lalu namun tidak ada luka, hanya terjadi dislokasi pada kaki kiri dan dipijat kemudian sembuh.<br />
5. Riwayat Penyakit Keluarga<br />
Dari keluarga baik ibu maupun bapak pasien tidak ada penyakit keturunan dan menular<br />
GENOGRAM<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Keterangan<br />
<br />
LAKI-LAKI Tinggal Serumah<br />
Garis keturunan<br />
PEREMPUAN meninggal <br />
<br />
PASIEN <br />
<br />
<br />
E. POLA KESEHATAN FUNGSIONAL MENURUT GORDON<br />
1. POLA PERSEPSI KESEHATAH DAN MANAJEMEN KESEHATAN<br />
DS : Pasien mengatakan bahwa kesehatan itu penting.<br />
DO : pasien dirawat di RS.<br />
2. POLA NUTRISI DAN METABOLISME<br />
DS : Keluarga mengatakan sulit menelan makanan dan susah minum.<br />
DO : pasien terlihat makan dengan bubur ± 6 sendok makan/gari, minum menggunakan pipet karena takut tersedak ± 1/2 sendok .<br />
3. POLA ELIMINASI<br />
DS : Pasien mengatakan BAB tidak lancar, pasien sudah 1 minggu tidak BAB, BAK lancar.<br />
DO : pasien terlihat terpasang kateter dan BAK lancar.<br />
4. POLA AKTIVITAS DAN LATIHAN<br />
DS : Pasien mengatakan aktivitas selalu dibantu.<br />
DO : Pasien tampak tidur terlentang danADL dibantu oleh keluarga.<br />
Aktivitas 0 1 2 3 4<br />
Makan dan minum<br />
Mandi<br />
Toileting<br />
Berpakaian<br />
Mobilisasi di tempat tidur<br />
Ambulasi <br />
5. POLA ISTIRAHAT DAN TIDUR<br />
DS : Pasien mengatakan pasein dapat tidur.<br />
DO : Pasien tampak istiragat dan tidur malam sekitar 8 jam.<br />
6. POLA PERSEPSI KOGNITIF<br />
DS : Pasien mengatakan pancainderanya baik.<br />
DO : Fungsi pendengaran,penglihatan,dan pengecapan baik.<br />
7. POLA PERSEPSI DAN KONSEP DIRI<br />
Pasien yakin dengan pengobatan dan perawatan di RS, pasien dapat pulih seperti semula dan dapat beraktivitas seperti dahulu lagi<br />
8. POLA HUBUNGAN DAN PERAN<br />
DS : Pasien mengatakan hubungan dengan istri dan anak terjalin baik.<br />
DO : Keluarga tampak menunggui pasien.<br />
9. POLA REPRODUKSI DAN SEKSUAL<br />
DS : pasien mengatakan sudah menikah dan mempunyai 2 orang anak dan 1 istri.<br />
DO : Pasien berjenis kelamin laki-laki.<br />
10. POLA KOPING STRESS DAN ADAPTASI<br />
DS : pasienmengatakan bila ada masalah selalu dibicarakan dengan keluarga.<br />
DO : Pasien tampak dekat dengan istri dan anak-anaknya.<br />
11. POLA NILAI DAN KEYAKINAN<br />
DS : Pasien mengatakan beragama Islam dan selalu menjalankan shalat 5 waktu serta yakin anaknya akan sembuh.<br />
DO : Pasien terlihat berdoa untuk kesembuhannya..<br />
<br />
F. PEMERIKSAAN FISIK<br />
2. PEMERIKSAAN UMUM<br />
Keadaan umum : sedang<br />
Kesadaran : Composmentis<br />
Tanda-tanda Vital : <br />
TD : 130/90 mmHg R : 24x/mnt<br />
N : 84x/mnt S : 37ºC<br />
3. PEMERIKSAAN HEAD TO TOE<br />
KEPALA<br />
Bentuk : mesochepal<br />
Rambut : pendek, warna hitam dan sedikit beruban.<br />
Mata : penglihatan normal, kongjutiva tidak anemis, sklera tidak ikhterik<br />
Telinga : simetris, bersih, pendengaran baik<br />
Hidung : tidak ada polip, bersih, fungsi penciuman baik<br />
Mulut&gigi : trismus 2 cm, gigi bersih, mulut bersih,tidak ada caries.<br />
LEHER : terdapat sedikit kekakuan pada leher.tidak ada pembesaran kelnjar tiroid<br />
DADA<br />
Bentuk : simetri, tidak ada retraksi dada<br />
Paru : tidak ada bunyi ronckhi, wheezing<br />
Jantung : irama teratur, bunyi jantung reguler S1>S2<br />
ABDOMEN : bentuk datar, tidak terjadi pembesaran dan tidak ada nyeri tekan.<br />
PUNGGUNG : bentuk simetri, ada luka dekubitus<br />
GENETALIA : jenis kelamin laki-laki, terpasang kateter<br />
KULIT : turgor lembab.<br />
EKSTREMITAS<br />
Atas : terpasang infus D5 % ditangan kanan dan kedua tangan dapat digerakkan.<br />
Bawah : tidak terdapat oedem dan dapat digerakkan dengan baik.<br />
<br />
DATA PENUNJANG<br />
Pemeriksaan laboratorium tanggal 10 Oktober 2008<br />
Urine rutin kuning kuning muda, agak tua<br />
Kekeruhan keruh jernih<br />
Keasaman,Ph 6,0 asam (5,5-7,07)<br />
Leukosit banyak -<br />
Eritrosit 6-8 < 6/LPB<br />
Sel epire 3-4 <3/LPB<br />
Terapi : <br />
- Infus D5 20 tetes/menit - Ranitidine 3x1 ampul.<br />
- Oksigen 4 liter/mnt.<br />
- Dexametason 3x1 ampul.<br />
- Diazepam 10 mg iv (jika kejang).<br />
- Cefotaxime 3x1000 mg<br />
- Metronidazol 2x1<br />
<br />
ANALISA DATA<br />
DX DATA FOKUS ETIOLOGI PROBLEM<br />
I DS : Pasien mengatakan bahwa punggung terasa panas dan bagian pantat juga terasa sakit jika tidur dalam posisi terlentang.<br />
DO : - tampak ada luka tonjolan di tulang ekor.<br />
- Adanya kerusakan pada lapisan epidermis dan dermis.<br />
- Ada luka dekubitus Immobilisasi fisik<br />
Kerusakan integritas kulit<br />
DS : Ibu pasien mengatakan sakit pada punggung bagian bawah.<br />
DO : Pasien terlihat merintih kesakitan, luka tampak luas dan terlihat lapisan dermis.<br />
Skala nyeri 6. <br />
Agen cedera fisik <br />
Nyeri akut<br />
DS : -<br />
DO : ada luka dekubitus di daerah tulang belakang. Terdapat luka post kecelakaan di kaki kanan.<br />
Terpasang infus dan DC. <br />
Pertahanan primer tidak adekuat (kulit tidak utuh, truma jaringan)<br />
<br />
Resiko infeksi<br />
<br />
<br />
DIAGNOSA KEPERAWATAN<br />
1. Kerusakan integritas kulit b.d Immobilisasi fisik<br />
2. Nyeri akut b.d Agen cedera fisik<br />
3. Resiko infeksi b.d Pertahanan primer tidak adekuat (kulit tidak utuh, truma jaringan)<br />
<br />
INTERVENSI KEPERAWATAN<br />
Dx I : Kerusakan integritas kulit b.d Immobilisasi fisik<br />
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan kerusakan integritas kulit tidak terjadi.<br />
NOC: Integritas Jaringan: kulit dan membran mukosa<br />
Kriteria Hasil:<br />
h. Sensasi normal<br />
i. Elastisitas normal<br />
j. Warna<br />
k. Tekstur<br />
l. Jaringan bebas lesi<br />
m. Adanya pertumbuhan rambut dikulit<br />
n. Kulit utuh<br />
Ket Skala:<br />
1 = Kompromi luar biasa<br />
2 = Kompromi baik<br />
3 = Kompromi kadang-kadang<br />
4 = Jarang kompromi <br />
5 = Tidak pernah kompromi<br />
NIC: Skin Surveilance<br />
1) Observation ekstremitas oedema, ulserasi, kelembaban<br />
2) Monitor warna kulit<br />
3) Monitor temperatur kulit<br />
4) Inspeksi kulit dan membran mukosa<br />
5) Inspeksi kondisi insisi bedah<br />
6) Monitor kulit pada daerah kerusakan dan kemerahan<br />
7) Monitor infeksi dan oedema<br />
<br />
Dx II : Nyeri akut b.d Agen cedera fisik<br />
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan nyeri berkurang atau hilang.<br />
c. NOC 1: Level Nyeri<br />
Kriteria Hasil:<br />
7. Laporkan frekuensi nyeri<br />
8. Kaji frekuensi nyeri<br />
9. Lamanya nyeri berlangsung<br />
10. Ekspresi wajah terhadap nyeri<br />
11. Kegelisahan<br />
12. Perubahan TTV<br />
d. NOC 2: Kontrol Nyeri<br />
Kriteria Hasil:<br />
6. Mengenal faktor penyebab<br />
7. Gunakan tindakan pencegahan<br />
8. Gunakan tindakan non analgetik<br />
9. Gunakan analgetik yang tepat<br />
Ket Skala:<br />
1 = Tidak pernah menunjukkan<br />
2 = Jarang menunjukkan<br />
3 = Kadang menunjukkan<br />
4 = Sering menunjukkan<br />
5 = Selalu menunjukkan<br />
NIC: Manajemen Nyeri<br />
6) Kaji secara menyeluruh tentang nyeri termasuk lokasi, durasi, frekuensi, intensitas, <br />
dan faktor penyebab.<br />
7) Observasi isyarat non verbal dari ketidaknyamanan terutama jika tidak dapat <br />
berkomunikasi secara efektif.<br />
8) Berikan analgetik dengan tepat.<br />
9) Berikan informasi tentang nyeri seperti penyebab nyeri, berapa lama akan berakhir<br />
dan antisipasi ketidaknyamanan dari prosedur.<br />
10) Ajarkan teknik non farmakologi (misalnya: relaksasi, guide, imagery,terapi musik,distraksi)<br />
<br />
Dx III : Resiko infeksi b.d Pertahanan primer tidak adekuat (kulit tidak utuh, trauma jaringan)<br />
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan infeksitidak terjadi.<br />
NOC: <br />
NOC : Pengendalian Infeksi<br />
Kriteria Hasil:<br />
6. Pengetahuan tentang adanya resiko infeksi<br />
7. Mampu memonitor faktor resiko dari lingkungan<br />
8. Membuat strategi untuk mengendalikan resiko infeksi<br />
9. Mengatur gaya hidup untuk mengurangi resiko<br />
10. Penggunaan pelayanan kesehatan yang sesuai<br />
Ket Skala:<br />
1 = Selalu<br />
2 = Sering<br />
3 = Kadang<br />
4 = Jarang<br />
5 = Tidak pernah<br />
NIC: Teaching diases proses<br />
6) Deskripsikan proses penyakit dengan tepat<br />
7) Sediakan informasi tentang kondisi pasien<br />
8) Diskusikan perawatan yang akan dilakukan<br />
9) Gambaran tanda dan gejala penyakit<br />
10) Instruksikan pasien untuk melaporkan kepada perawat untuk melaporkan tentang tanda dan gejala yang dirasakan.<br />
<br />
<br />
IMPLEMENTASI<br />
Tanggal/jam Dx Implementasi Respon pasien paraf<br />
28-10-08<br />
21.00<br />
<br />
<br />
21.30<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
22.00<br />
<br />
<br />
<br />
22.30<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
22.45<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
23.50<br />
<br />
<br />
29-10-08<br />
05.00<br />
<br />
<br />
05.30<br />
<br />
06.00<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
21.00<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
21.30<br />
<br />
<br />
22.00<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
22.30<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
22.45<br />
<br />
05.00<br />
<br />
<br />
05.20<br />
<br />
<br />
05.30<br />
<br />
<br />
06.00 <br />
• mengkaji keluhan pasien.<br />
<br />
<br />
• Mengobservasi kulit adanya kemerahan<br />
• Mengkaji skala nyeri dan mengajarkan tehnik relaksasi.<br />
• Menganjurkan untuk memakai baju yang longgar.<br />
<br />
• Menganjurkan keluaga untuk mengolesi minyak pada daerah punggung bila pasien merasa gatal dan panas.<br />
<br />
• Mencuci tangan, memakai sarung tangan dan menyiapkan injeksi<br />
• Memberikan injeksi cefotaxime 1000 mg<br />
• Memotivasi untuk istirahat<br />
<br />
• Memotivasi untuk memandikan pasien dengan air hangat.<br />
• Menganjurkan miring kanan dan kiri tiap 2 jam<br />
• Mengukur TTV<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
• mengkaji keluhan pasien.<br />
<br />
<br />
• Mengobservasi kulit adanya kemerahan<br />
• Mengkaji skala nyeri<br />
• Menganjurkan keluarga untuk mengolesi minyak pada daerah punggung bila pasien merasa gatal dan panas.<br />
• Mencuci tangan, memakai sarung tangan dan menyiapkan injeksi<br />
• Memberikan injeksi cefotaxime 1000 mg<br />
• Memotivasi untuk istirahat<br />
• Memotivasi untuk memandikan pasien dengan air hangat.<br />
• Menganjurkan untuk menghindari kerutan pada tempat tidur.<br />
• Mengobservasi aktivitas pasien.<br />
<br />
• Mengukur TTV Pasien.mengatakan nyeri pada daerah punggung dan terasa gatal.<br />
Kulit kemerahan.<br />
<br />
Skala nyeri 6 dan pasien mengerti tehnik relaksasi.<br />
Pasien kooperatif<br />
<br />
<br />
<br />
Keluarga pasien mengolesi dengan minyak kayu putih.<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Injeksi cefotaxime 1000 mg masuk.<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Pasien istirahat.<br />
<br />
<br />
Pasien diseka dengan air hangat.<br />
<br />
Keluarga membantu miring kanan dan kiri.<br />
TD = 100/70 mmHg<br />
N = 80x/menit<br />
S = 36,7ºC<br />
R = 20x/menit<br />
<br />
Pasien.mengatakan nyeri pada daerah punggung dan terasa gatal.<br />
Kulit kemerahan<br />
<br />
Skala nyeri 4<br />
Keluarga pasien mengerti<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Injeksi cefotaxime 1000 mg masuk<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Pasien istirahat<br />
<br />
Pasien diseka dengan air hangat.<br />
<br />
Tempat tidur rapi tidak ada kerutan.<br />
<br />
Pasien dapat miring kanan dan kiri.<br />
TD = 110/80 mmHg<br />
N = 80x/menit<br />
S = 36 ºC<br />
R = 20x/menit <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
EVALUASI<br />
Kriteria Hasil: 28-10-08 29-10-08<br />
1. Sensasi normal 3 4<br />
2. Elastisitas normal 3 4<br />
3. Warna 3 4<br />
4. Tekstur 3 3<br />
5. Jaringan bebas lesi 3 3<br />
6. Adanya pertumbuhan rambut dikulit 2 2<br />
7. Kulit utuh 3 3<br />
<br />
NOC 1: Level Nyeri<br />
1. Laporkan frekuensi nyeri 3 4 <br />
2. Kaji frekuensi nyeri 3 4<br />
3. Lamanya nyeri berlangsung 3 4<br />
4. Ekspresi wajah terhadap nyeri 3 4 <br />
5. Kegelisahan 3 3 <br />
6. Perubahan TTV 3 4 <br />
NOC 2: Kontrol Nyeri<br />
1.Mengenal faktor penyebab 3 4<br />
2. Gunakan tindakan pencegahan 3 4<br />
3. Gunakan tindakan non analgetik 3 4<br />
4. Gunakan analgetik yang tepat 3 4<br />
<br />
1. Pengetahuan tentang adanya resiko infeksi 3 4<br />
2. Mampu memonitor faktor resiko dari lingkungan 3 4<br />
3. Membuat strategi untuk mengendalikan resiko infeksi 3 4<br />
4. Mengatur gaya hidup untuk mengurangi resiko 3 3<br />
5. Penggunaan pelayanan kesehatan yang sesuai 3 4Puspo Widianotohttp://www.blogger.com/profile/18352577488779133633noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4942725209072240234.post-56568848159910673902011-02-21T18:32:00.000-08:002011-02-21T18:32:01.149-08:00LUKA BAKARBAB I<br />
KONSEP DASAR LUKA BAKAR<br />
<br />
A. PENGERTIAN<br />
1. Luka bakar adalah luka yang disebabkan oleh kontak dengan suhu tingi seperti api, air panas, listrik, bahan kimia dan radiasi juga oleh sebab kontak dengan suhu rendah. (Mansjoer, Arif. 2000 : 365).<br />
2. Luka bakar dapat timbul karena kulit terpajan ke suhu tinggi, syok listrik atau bahan kimia (Corwin, Elisabeth, J. 2000 : 5 ).<br />
3. Luka bakar merupakan luka yang disebabkan oleh berpindahnya energi dari sumber panas ke tubuh (Efendy, Cristantik , 2000 : 5 ).<br />
4. Luka bakar adalah luka yang disebabkan oleh transfer energi dan sumber panas ke tubuh. (Bruner and Sudart, 2000 : 73 ).<br />
5. Luka bakar adalah kerusakan atau kehilangan jaringan yang disebabkan kontak dengan sumber panas seperti api, air panas, bahan kimia, listrik, dan radiasi ( Moenajat, 2001).<br />
Dapat disimpulkan bahwa luka bakar adalah luka yang disebabkan oleh kontak dengan suhu tingi seperti api, air panas, listrik, bahan kimia dan radiasi yang menimbulkan kerusakan kulit.<br />
B. ETIOLOGI<br />
Penyebab luka bakar menurut www.info-sehat.com yaitu:<br />
1. Suhu tinggi<br />
2. Api<br />
3. Air panas<br />
4. Listrik<br />
5. Petir<br />
6. Asam dan basa kuat<br />
Penyebab luka bakar secara umum yaitu:<br />
1. Kontak dengan nyala api;<br />
2. Kontak dengan bahan cair/padat yang panas;<br />
3. Kontak dengan bahan kimia;<br />
4. Kontak dengan arus listrik yang voltasenya tinggi; dan<br />
5. Sinar ultraviolet (sengatan matahari).<br />
<br />
C. KLASIFIKASI<br />
1. Menurut Kedalaman Luka Bakar<br />
Kedala<br />
man Jaringan yang terkena Penyebab<br />
yang<br />
lazim Karakteristik Nyeri Penyembuhan<br />
Ketebalan superficial (derajat I) Kerusakan epitel minimal Sinar matahari Kering : tidak ada lepuh, merah pink, memutih dengan tekanan Nyeri Sekitar 5 hari<br />
Ketebalan partial (derajat IIA) Epidermis, dermis minimal Kilat : cairan hangat Basah : pink atau merah, lepuh sebagian memutih Nyeri : hiperestetik Sekitar 21 hari, jaringan parut minimal<br />
Ketebalan partial dermal dalam (derajat IIB) Keseluruhan epidermis, sebagian dermis Benda panas, nyala api, cidera radiasi Kering : pucat, berlilin, tidak memutih Sensitif terhadap tekanan Berkepanjangan membentuk jaringan hipertrofik : pembentukan kontraktur<br />
Ketebalan penuh (derajat III) Semua yang di atas dan bagian lemak subkutan dapat mengenai jaringan ikat, otot, tulang Nyala api berkepanjangan, listrik, kimia, dan uap panas Kulit terkelupas vascular, pucat kuning sampai coklat Sedikit nyeri Tidak dapat beregenerasi sendiri : membutuhkan tandur kulit<br />
<br />
2. Klasifikasi keparahan luka bakar menurut America Bun Associaton (Effendi, Cristanty 2000 : 18 )<br />
a. Cidera luka bakar minor<br />
1) Luka bakar dengan LPTT < 5 % pada orang dewasa, umur < 40 tahun.
2) Luka bakar dengan LPTT < 10 % pada orang dewasa, umur > 40 tahun. <br />
3) Luka bakar dengan LPTT < 10 % pada orang anak-ansk, umur < 10 tahun.
Dengan luka bakar ketebalan penuh LPTT < 2% dan tidak ada resiko kosmetik atau fungsi pada wajah, mata, telinga, tangan, kaki, atau perineum.
b. Cidera luka bakar sedang
1) Luka bakar dengan LPTT 15 - 25 % pada orang dewasa, umur < 40 tahun.
2) Luka bakar dengan LPTT 10 - 20 % pada orang dewasa, umur > 40 tahun. <br />
3) Luka bakar dengan LPTT 10 - 20 % pada orang anak-ansk, umur < 10 tahun.
Dengan luka bakar ketebalan penuh dengan LPTT < 10% dan tidak ada resiko kosmetik atau fungsi pada wajah, mata, telinga, tangan, kaki atau perineum.
c. Cidera luka bakar mayor
1) Luka bakar dengan LPTT 25 % pada orang dewasa, umur < 40 tahun.
2) Luka bakar dengan LPTT 20 % pada orang dewasa, umur > 40 tahun. <br />
3) Luka bakar dengan LPTT 20 % pada orang anak-anak, umur < 10 tahun.
3. Menurut ukuran luka bakar
Ukuran luka bakar dapat ditentukan dengan salah satu dari 2 metode, yaitu:
a) Rule of nine
Rule of nine digunakan sebagai alat untuk mempekirakan ukuran luka bakar yang tepat. Dasar dari perhitungan ini adalah dengan membagi - bagi anatomi tubuh dengan kelipatan 9% dari luas permukaan tubuh.
Masing- masing ada perhitungan antara lain :
1) Kepala dan leher 9%;
2) Paha dan tungkai kaki 49%;
3) Genetalia 1%; dan
4) Dada, perut, punggung, bokong 4 x 9 %.
b) Diagram bagan Lund & Browder
Lokasi Usia (Tahun)
0-1 1-4 5-9 10-15
Kepala 19 17 13 10
Leher 2 2 2 2
Dada dan perut 13 13 13 13
Punggung 13 13 13 13
Pantat kiri 2,5 2,5 2,5 2,5
Pantat kanan 2,5 2,5 2,5 2,5
Kelamin 1 1 1 1
Lengan atas kanan 4 4 4 4
Lengan atas kiri 4 4 4 4
Lengan bawah kanan 3 3 3 3
Lengan bawah kiri 3 3 3 3
Tangan kanan 2,5 2,5 2,5 2,5
Tangan kiri 2,5 2,5 2,5 2,5
Paha kanan 5,5 6,5 8,5 8,5
Paha kiri 5,5 6,5 8,5 8,5
Tungkai bawah kanan 5 5 5,5 6
Tungkai bawah kiri 5 5 5,5 6
Kaki kanan 3,5 3,5 3,5 3,5
Kaki kiri 3,5 3,5 3,5 3,5
4. Menurut derajat keparahan luka bakar
a. Berat
1) Derajat II dengan luas > 25 %.<br />
2) Derajat III dengan luas > 10 % atau terdapat di muka, kaki dan tangan.<br />
3) Luka bakar di sertai trauma jalan nafas atau jaringan lunak atau fraktur.<br />
4) Luka akibat listrik. <br />
b. Sedang<br />
1) Derajat II dengan luas > 15 %<br />
2) Derajat III dengan luas < 10 % kecuali di muka, kaki dan tangan<br />
c. Ringan <br />
1) Derajat II dengan luas < 25 %<br />
2) Derajat III dengan luas < 20 % <br />
5. Menurut lokasi luka bakar<br />
a. Luka bakar pada kepala, leher, dan dada sering berkaitan dengan komlikasi pulmonal.<br />
b. Luka bakar pada wajah sering menyebabkan abrasi kornea.<br />
c. Luka bakar pada telinga sering menyebabkan kondritis auricular dan rentan terhadap infeksi serta kehilangan jaringan lebih lanjut.<br />
d. Luka bakar pada tangan dan persendian berdampak pada kecacatan fisik menetap.<br />
e. Luka bakar pada perineal membuat mudah terserang infeksi akibat autokontaminasi oleh urin dan feses.<br />
f. Luka bakar sirkumferensial ekstremitas dapay menyebabkan efek penebalan pembuluh darah dan mengarah padagangguan vascular distal.<br />
g. Luka bakar sirkumferensial thorak dapat mengarah pada inadekuat ekspansi dinding dada dan insufisiensi pulmonal.<br />
6. Menurut agen penyebab luka bakar<br />
Beberapa agen penyebab luka bakar yaitu thermal, listrik,kimia, radiasi. Luka bakar dengan trauma inhalasi dapat dibagi dalam 3 kategori (Meyer & Salber) yaitu:<br />
a. Trauma panas pada saluran napas;<br />
b. Trauma kimia pada saluran napas dan parenkim paru; dan<br />
c. Keracunan kimia secara sistemik.<br />
7. Menurut usia korban luka bakar<br />
Usia mempengaruhi keparahan dan keberhasilan dalam perawatan luka bakar. Angka kematian terjadi lebih tinggi pada anak-anak usia kurang dari 4 tahun, terutama kelompok usia 0-1 tahun.<br />
<br />
D. PATHOFISIOLOGI<br />
Luka disebabkan oleh perpindahan energi dari sumber panas ke tubuh. Panas tersebut mungkin di pindah melalui kondisi atau radiasi elektromagnetik. Luka bakar diklasifikasikan sebagai luka bakar thermal, radiasi atau luka bakar kimiawi kulit dengan luka bakar akan mengalami kerusakan pada epidermis, dermis maupun jaringan SC tergantung factor penyebab dan lamanya kulit kontak dengan sumber panas / penyebabnya. Dalamnya luka bakar akan mempengaruhi kerusakan gangguan intergritas kulit dan kematian sel – sel.<br />
Luka bakar mengakibatkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah sehingga air, natrium, klorida dan protein tubuh akan keluar dari dalam sel dan menyababkan terjadinya edema yang dapat berlanjut pada keadaan hypovolemia dan hemokonsentrasi.<br />
Kehilangan cairan tubuh pasien luka bakar dapat disebabkan beberapa factor:<br />
1. Peningkatan mineralokortikoid<br />
a. Retensi air, Na dan Cl<br />
b. Ekskresi kalium<br />
2. Peningkatan permeabilitas pembuluh darah<br />
Keluarnya elektrolit dan protein dari pembuluh darah.<br />
3. Perbedaan tekanan osmotic intra sel dan ekstra sel<br />
Kehilangan volume cairan akan mempengaruhi nilai normal cairan dan elektrolit tubuh yang selanjutnya akan terlihat pada hasil pemeriksaan laboratorium. Luka bakar akan mengakibatkan tidak hanya kerusaka kulit, tetapi juga mempengarihi seluruh system tubuh sehingga menunjukan perubahan reaksi fisiologis sebagai respon kompensasi terhadap luka bakar. Pada pasien luka bakar yang luas (mayor), tubuh tak mampu lagi untuk mengkompensasi sehingga timbul berbagai macam komplikasi.<br />
Berbagai factor dapat menjadi penyebab luka bakar. Beratnya luka bakar juga di pengaruhi oleh cara dan lamanya kontak dengan sumber panas (misalnya) suhu benda yang membakar, jenis pakaian yang terbakar, sumber panas api, air panas, minyak panas, listrik, zat kimia, radiasi, kondisi ruangan saat terjadi kebakaran, ruangan yang tertutup.Faktor yang menjadi penyebab beratnya luka bakar antara lain :<br />
1. Keluasan luka bakar<br />
2. Kedalaman luka bakar<br />
3. Umur<br />
4. Agen penyebab<br />
5. Fraktur atau luka – luka yang menyertai<br />
6. Penyakit yang dialami terdahulu seperti DM, jantung, ginjal dll<br />
7. Obesitas <br />
8. Adanya trauma inhalasi<br />
<br />
E. MANIFESTASI KLINIS<br />
Manifestasi klinis yang dapat dilihat berdasarkan derajat luka bakar (Mansjoer : 2000)<br />
1. Grade I<br />
a. Jaringan rusak hanya epidermis saja<br />
b. Klinis ada rasa nyeri, warna kemerahan <br />
c. Adanya hiperalgisia<br />
d. Akan sembuh kurang lebih 7 hari <br />
2. Grade II<br />
a. Grade II a<br />
1) Jaringan luka bakar sebagian dermis.<br />
2) Klinis nyeri, warna lesi merah / kuning.<br />
3) Klinis lanjutan terjadi bila basah<br />
4) Tes jarum hiper aligesia, kadang normal.<br />
5) Sumber memerlukan waktu 7 – 14 hari<br />
b. Grade II b<br />
1) Jaringan rusak sampai dermis dimana hanya kelenjar keringat saja yang masih utuh.<br />
2) Klinis nyeri, warna lesi merah / kuning.<br />
3) Tes jarum hiper algisia .<br />
4) Waktu sembuh kurang lebih 14 – 12 hari<br />
5) Hasil kulit pucat, mengkilap, kadang ada sikatrik<br />
3. Grade III<br />
a. Jaringan yang seluruh dermis dan epidermis.<br />
b. Klinis mirip dengan grade II hanya kulit bewarna hitam / kecoklatan.<br />
c. Tes jarum tidak sakit.<br />
d. Waktu sembuh lebih dari 21 hari.<br />
e. Hasil kulit menjadi sikratrik hipertrofi<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
F. PATHWAY<br />
Factor Penyebab (termal, listrik, dan radiasi)<br />
<br />
Keracunan CO Luka Bakar <br />
<br />
Kerusakan Peningkatan permiabilitas <br />
jaringan pembuluh darah<br />
<br />
Edema <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Sumber :<br />
1. Corwin, Elisabeth, J: 2000<br />
2. NANDA:2005<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
G. KOMPLIKASI<br />
Komplikasi yang sering dialami oleh klien luka bakar yang luas antara lain:<br />
1. Burn shock (shock hipovolemik)<br />
Merupakan komplikasi yang pertama kali dialami oleh klien dengan luka bakar luas karena hipovolemik yang tidak segera diatasi.<br />
2. Sepsis<br />
Kehilangan kulit sebagai pelindung menyebabkan kulit sangat mudah terinfeksi. Jika infeksi ini telah menyebar ke pembuluh darah, dapat mengakibatkan sepsis.<br />
3. Pneumonia<br />
Dapat terjadi karena luka bakar dengan penyebab trauma inhalasi sehingga rongga paru terisi oleh gas (zat-zat inhalasi).<br />
4. Gagal ginjal akut<br />
Kondisi gagal ginjal akut dapat terjadi karena penurunan aliran darah ke ginjal.<br />
5. Hipertensi jaringan akut<br />
Merupakan komplikasi kuloit yang biasa dialami pasien dengan luka bakar yang sulit dicegah, akan tetapi bias diatasi dengan tindakan tertentu.<br />
6. Kontraktur<br />
Merupakan gangguan fungsi pergerakan.<br />
7. Dekubitus<br />
Terjadi karena kurangnya mobilisasi pada pasien dengan luka bakar yang cenderung bedrest terus.<br />
Menurut Smeltzer (2000) :<br />
1. Curhing ulcer (ulkus curhing)<br />
2. Septikemia<br />
3. Pneumonia<br />
4. Gagal jantung akut<br />
5. Deformitas<br />
6. Kontraktur<br />
7. Hipertrofi jaringan parut<br />
8. Dekubitus<br />
9. Syok sirkulasi<br />
10. Syndrom kompartemen<br />
11. Ileus parlitik<br />
12. Defisit kalori protein<br />
<br />
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG<br />
1. Hitung darah lengkap<br />
Peningkatan MHT awal menunjukan hemokonsentrasi sehubung dengan perpindahan atau kehilngan cairan. Selanjutnya menurunnya Hb dan Ht dapat terjadi sehubungan dengan kerusakan oleh panas terhadap endothelium pembuluh darah.<br />
2. Sel darah putih<br />
Leukosit dapat terjadi sehubungan dengan kehilangan sel pada sisi luka dan respon inflamasi terhadap cidera. <br />
3. GDA<br />
Dasar penting untuk kecurigaan cidera inhalasi.<br />
4. CO Hbg<br />
Peningkatan lebih dari 15 % mengindikasikan keracunan CO cidera inhalasi.<br />
5. Elektrolit serum <br />
Kalium dapat meningkat pada awal sehubungan dengan cidera jaringan / kerusakan SDm dan penurunan fungsi ginjal. <br />
6. Natrium urine random<br />
Lebih besar dari 20 MEqL mengindikasikan kelebihan resusitasi cairan, kurang dari 10 MEq / L menduga ketidak adekuatan resusitasi cairan. <br />
7. Glukosa serum<br />
Rasio albumin / globulin mungkin terbalik sehubungan dengan kehilangan protein pada edema cairan. <br />
8. Albumin serum<br />
Peningkatan glukosa serum menunjukan respon stress.<br />
9. BUN kreatinin<br />
Peningkatan BUN menujukan penuruna fungsi- fungai ginjal.<br />
10. Urine<br />
Adanya albumin, Hb dan mioglobulin menunjukan kerusakan jaringan dalam dan kehilangan protein.<br />
11. Foto roentgen dada<br />
Dapat tampak normal pada pansca luka bakar dini meskipun dengan cidera inhalasi, namun cidera inhalasi yang sesungguhnya akan ada pada saat progresif tanpa foto dada. <br />
12. Bronkopi serat optik<br />
Berguna dalam diagnosa luas cidera inhalasi, hasil dapat meliputi edema, perdarahan dan / tukak pada saluran pernafasan atas<br />
13. Loop aliran volume<br />
Memberikan pengkajian non invasive terhadap efek / luasnya cidera inhalasi<br />
14. Scan paru<br />
Mungkin dilakukan untuk menentukan luasnya xidera inhalasi<br />
15. EKG<br />
Tanda iskemia miokardiak disritmia dapat terjadi pada luka bakar listrik<br />
16. Foto grafi luka bakar<br />
Memberikan catatan untuk penyembuhan luka bakar selanjutnya.<br />
<br />
I. PENATALAKSANAAN<br />
Pengamatan terhadap penatalaksanaan luka bakar di RS merupakan rangkaian kegiatan praktek klinik. Panatalaksanaan luka bakar yaitu :<br />
1. Penanggulangan terhadap shock<br />
2. Mengatasi gangguan keseimbangan cairan dilakukan dengan cara : diberikan cairan ringer lactate : 2.5-4 cc/ KgBB/% LB pada 24 jam pertama dan diberikan Dek 5 % inwater : 24 x ( 25+% LLB) XBSA cc pada 24 jam kedua<br />
3. Mengatasi ganggan pernafasan<br />
4. Mengatasi infeksi dengan pemberian salep Chlorfomazin dan sulfatul<br />
5. Pemberian nutrisi<br />
6. Rehabilitasi<br />
Secara sistematik dapat dilakukan langkah 6C yaitu clothing, cooling, cleaning, chemoprophylaksis, covering anda comforting. Pada pertolongan pertama dapat dilakukan langkan clothing dan cooling selanjutnya dilakukan pada fasilitas kesehatan . secara rinci langkah 6 C yaitu :<br />
1. Clothing adalah singkirkan semua pakaian yang panas atau terbakar. Bahan pakaian yang menempel dan tak dapat dilepaskan maka dibiarkan untuk sampai pada fase cleaning<br />
2. Cooling adalah dinginkan daerah yang terkena luka bakar dengan menggunakan air mengalir selama 20 menit, hindari hipotermia.( Penurunan suhu dibawah normal, terutama pada anak dan orang tua). Cara ini efektif sampai dengan 3 jam setelah kejadian luka bakar. Selanjutnya kompres dengan air dingin ( air sring diganti agar efektif tetap memberian rasa dingin) sebagai analgesia ( penghilang rasa nyeri) untuk luka yang terlokalisasi. Penggunaan es tidak dibenarkan karena es menyebabkan pembuluh darah mengkerut (vasokontriksi) sehingga justru akan memperberat derajat luka dan resiko hipotermia. Luka bakar yang diakibatkan olah zat kimia dan luka bakar didaerah mata, panatalaksanaanya disiram dengan air mengalir yang banyak selama 15 menit atau lebih,. Bila penyebab luka bakar berupa bubuk, maka singkirkan terlebih dahulu dari kulit baru disiram air yang mengalir<br />
3. Cleaning adalah pembersihan dilakukan dengan zat anastesi untuk mengurangi rasa sakit. Jaringan yang sudah mati dibuang sehingga proses penyembuhan akan lebih cepat dan resiko infeksi berkurang<br />
4. Chemoprophylaksis adalah pemberian anti tetanus, dapat diberikan pada luka yang lebih dalam dari superficial partial thickness. Pemberian cream silver sulfadiazil untuk penanganan infeksi, dapat deberikan kecuali pada luka bakar superficial. Pemberian tersebut tidak boleh pada wajah, riwayat alergi sulfa, perempuan hamil, bayui baru lahir, ibu menyusui dengan bayi kurang dari 2 bulan.<br />
5. Covering adalah penutupan luka bakar dengan kasa, dilakukan sesuai dengan derajat luka bakar. Luka bakar superficial tidak perlu ditutup dengan kasa atau bahan lainya. Pembalutan luka ( yang dilakukan setelah pendinginan) bertujuan untuk mengirangi pengeluaran panas yang terjadi akibat hilangnya lapisan kulit. Pasien luka bakar jangan berikan mentega , minyak, oli atau larutan lainya, sehingga akan menghambat penyembuhan dan meningkatkan resiko infeksi.<br />
6. Comforting dapat dilakukan pemberian obatr pengurang rasa nyeri, berupa parasetamol dan codein ( PO-peroral) 20 -30 mg /Kg, morfin (1 V-intravena) 0,1 mg/Kgdiberikan dengan dosis titrasibolus atau morfin (IM) 0,2 mg/Kg.<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
BAB II<br />
ASUHAN KEPERAWATAN LUKA BAKAR<br />
<br />
A. PENGKAJIAN<br />
1. Wawancara<br />
Tanyakan tentang :<br />
a. Penyebab luka bakar (kimia, termal, listrik).<br />
b. Waktu luka bakar (penting karena kebutuhan resusitasi cairan dihitung dari waktu cidera luka bakar, bahkan dari waktu tibanya luka bakar, area terbuka tertutup).<br />
c. Adanya masalah – masalah medis yang menyertai.<br />
d. Alergi (khususnya sulfa) karena banyak antimikrobial kapital mengandung sulfa.<br />
e. Tanggal terakhir imunisasi tetanus.<br />
f. Obat-obatan yang digunakan bersamaan.<br />
2. Pemeriksaan fisik<br />
Menurut Doengoes (2000, 804-806) pengkajian ada lika bakar meliputi :<br />
a. Aktivitas/ Istirahat<br />
Tanda :<br />
1. Penurunan kekuatan, tahanan<br />
2. Keterbatasan rentan gerak pada area yang sakit<br />
3. Gangguan masa otot, perubahan tonus<br />
b. Sirkulasi<br />
Tanda (dengan cederaluka bakar lebih dari 20 % APTT)<br />
1. Hipotensi ( shock )<br />
2. Penurunan nadi perifer distal pada ekstremitas yang cidera, vasokontriksi umum dengan kehilangan nadi, kulit putih dan dingin ( Shock listrik)<br />
3. Takikardi ( Shock/ ansietas/ nyeri )<br />
4. Distritmia( Shock listrik).<br />
5. Pembentukan edema jaringan ( semua luka bakar)<br />
c. Integritas ego<br />
Tanda : ansietas, menangis, ketergantungan, menyangkal, menari diri, <br />
marah.<br />
Gejala : masalah tentang keluarga, pekerjaan, keuangan, kecacatan<br />
d. Eliminasi<br />
Tanda :<br />
1. Haluaran urune menurun/ tak ada selama fase darurat, warna mungkin hitam kemerahan bila terjadi miogluobin, mengindikasikan kerusakan otot dalam.<br />
2. Diuresis (setelah kebocoran kapiler dan mobilisasi cairan kedalam sirkulasi)<br />
3. Penurunan bising usus/ tak ada, khususnya pada luka bakar kutaneus lebih besar dari 20 % sebagai stress penurunan motilitas/ peristalticgastric<br />
e. Makanan cairan<br />
Tanda : <br />
1. Edema jaringan umum <br />
2. Anoreksia, mual/ muntah<br />
f. Neurosensori<br />
Tanda :<br />
1. Perubahan orientasi, afek, perilaku<br />
2. Penurunan refleks tendon dalam( RTD) pada cedera ekstremitas<br />
3. Aktifitas kejang ( shock listrik)<br />
4. Laserasi korneal, kerusakan retinal, penurunan ketajaman penglihatan ( shock listrik)<br />
5. Ruptur membran timpani ( shock listrik)<br />
6. Paralisis ( cidera listrik pada aliran ayaraf)<br />
Gejala : area bebas, kesemutan<br />
g. Nyeri/ Kenyamanan<br />
Gejala : Berbagai nyeri, contoh luka bakar derajat pertama secara <br />
ekstreme sensitif untuk disentuh, ditekan, gerakan udara dan perubahan suhu, luka bakar ketebalan sedang derajat dua sangat nyeri, sementara respon pada luka bakar derajat ke dua tergantung pada keutuhan ujung syaraf, luka bakar derajat tiga tidak nyeri<br />
h. Pernafasan <br />
Tanda : <br />
1. Serak, batuk mengi, partikel karbon dalam sputum, ketidakmampuan dalam menelan sekresi oral, dan sianosis, indikasi inhalasi<br />
2. Pengembangan thoraks mungkin terbatas pada adanya luka bakar lingkar dada<br />
3. Jalan nafas atas stridor/ mengi (obstruksi sehubungan dengan laring spasme, edemalaringeal)<br />
4. Bunyi nafas : gemericik ( edema paru), stridor ( edema laringeal) sekret jalan nafas dalam ( ronkhi)<br />
Gejala : Terkurung dalam ruang tertutup, terpajan lama (kemungkinan <br />
cidera inhalasi<br />
i. Keamanan <br />
Tanda :<br />
1. Kulit : umum : destruksi jarngan dalam mungkin tidak terbukti selama 3-5 hari sehubungan dengan proses trombus mikrovaskuler pada beberapa luka<br />
2. Area kulit tak terbakar mingkin dingin atau lembab, pucat dengan pengisian kapiler lambat pada adanya penurunan curah jantung sehubungan dengan adanya kehilangan cairan atau status shock<br />
3. Cidera api : trerdapat area cidera campuran dalam, sehubungan dengan variase intensitas panas yang dihasilkan bekuan terbakar, bulu hidung gosong, mukosa hdung dan mulut kering, merah :lepuh pada faring posterior, edema lingkai mulut dan lingkar nasal<br />
4. Cidera kimia : tampak luka bervariasi sesuai agen penyebab<br />
5. Kulit mungkin coklat kekuningan dengan tekstur seperti kulit semak halus, lepuh, ulkus, nekrosis atau jaringan paru tebal. Cidera secara umum lebih dalam tampaknya secara perkutan dan kerusakan jaringan dapat berlanjut sampai 72 jam setelah cidera<br />
6. Cidera listrik : cidera kutaneus eksternal biasanya lebih sedikit dan bawah nekrosis. Penampilan luka bervariasi dapat meliputi luka aliran masuk/ keluar( eksplosif) luka bakar dar hgerakan aliran pada proksimal tubuh tertutup dan luka bakar termal berhubungan dengan pakaian terbakar.<br />
<br />
3. Pemeriksaan laboratorium/diagnostic<br />
a. IDL <br />
Mengkaji hemokonstriksi.<br />
b. Elektrolit serum<br />
Mendeteksi keseimbangan cairan dan biokimia.<br />
c. GDA dan sinar X dada<br />
Mengkaji fungsi pulmonal, khususnya pada cidera inhalasi uap.<br />
d. BUN dan kreatinin<br />
Mengkaji fungsi ginjal.<br />
e. Urinalisis<br />
Menunjukkan mioglobin hemokromegan menandakan kerusakan otot pada luka bakar.<br />
f. Bronkoskopi<br />
Membantu memastikan cidera inhalasi asap.<br />
g. Koagulasi<br />
Memeriksa faktor- faktor pembekuan yang dapat menurun pada luka bakar masif. <br />
h. Kadar CO serum, meningkat pada cidera inhalator.<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN<br />
Menurut NANDA : 2005-2006<br />
1. Nyeri akut berhubungan dengan luka bakar, kerusakan jaringan.<br />
2. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan peningkatan permeabilitas pembuluh darah.<br />
3. Perfusi jaringan tidak efektif berhubungan dengan keracunan CO dan cidera inhalasi.<br />
4. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan cidera luka bakar.<br />
5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan kerusakan permukaan kulit.<br />
6. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan neuromuskuler.<br />
7. Resiko tinggi terhadap cidera berhubungan dengan luka bakar.<br />
<br />
C. INTERVENSI<br />
Menurut NOC : 1997 dan NIC : 1996<br />
1. DX I : Nyeri akut berhubungan dengan luka bakar, kerusakan jaringan.<br />
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses <br />
keperawatan diharapkan nyeri berkurang.<br />
NOC I : Pain Level<br />
Kriteria Hasil :<br />
a. Melaporkan nyeri, frekuensi, dan lama nyeri. <br />
b. Posisi tubuh pasien melindungi nyeri. <br />
c. TD, nadi, suhu dan respirasi dalam batas normal. <br />
Indicator Skala : <br />
1 : Tidak melakukan <br />
2 : Jarang melakukan <br />
3 : Kadang melakukan <br />
4 : Sering melakukan<br />
5 : Selalu melakukan<br />
NOC II : Pain Control.<br />
Kriteria Hasil :<br />
a. Mengungkapkan faktor penyebab timbulnya nyeri. <br />
b. Mampu mengontrol nyeri ( tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan tekhnik non farmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan ). <br />
c. Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan manajemen nyeri <br />
d. Mampu mengenal nyeri ( skala , intensitas , frekuensi dan tanda nyeri ). <br />
e. Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang. <br />
Indicator Skala : <br />
1 : Tidak melakukan <br />
2 : Jarang melakukan <br />
3 : Kadang melakukan <br />
4 : Sering melakukan<br />
5 : Selalu melakukan<br />
NOC III : Comfort Level.<br />
Kriteria Hasil :<br />
a. Melaporkan kondisi yang nyaman. <br />
b. ekspresi puas terhadap pengendalian nyeri.<br />
Indicator Skala : <br />
1 : Tidak melakukan <br />
2 : Jarang melakukan <br />
3 : Kadang melakukan <br />
4 : Sering melakukan<br />
5 : Selalu melakukan<br />
NIC I : Vital Sign Monitor.<br />
Intervensi : <br />
a. Monitor TD, nadi, suhu dan respirasi.<br />
b. Identifikasi adanya perubahan TTV.<br />
c. Cek secara periodik TTV pasien.<br />
NIC II : Pain Management.<br />
Intervensi :<br />
a. Kaji secara komprehensif tentang nyeri, meliputi : lokasi, karakteristik, dan onset, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas / beratnya nyeri, dan factor- factor predisposisi.<br />
b. Observasi isyarat –isyarat non verbal dari ketidaknyamanan , khususnya dalam ketidakmampuan untuk berkomunikasi secara efektif.<br />
c. Gunakan komunikasi terapeutik agar pasien dapat mengekspresikan nyeri <br />
d. Anjurkan penggunaan tekhnik non farmakologi (ex: relaksasi, guided imagery, terapi musik, distraksi,aplikasi panas-dingin, masase, dll).<br />
e. Berikan anelgetik untuk mengurangi nyeri .<br />
NIC III : Environmental management.<br />
Intervensi : <br />
a. Cegah tindakan yang tidak dibutuhkan.<br />
b. Posisikan pasien pada posisi yang nyaman.<br />
<br />
2. DX II : Kekurangan volume cairan berhubungan dengan peningkatan <br />
permeabilitas pembuluh darah.<br />
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses <br />
keperawatan diharapkan volume cairan adekuat.<br />
NOC : Fluid Balance<br />
Kriteria Hasil :<br />
a. Mempertahankan urine output sesuai dengan usia dan BB, Bj urine normal, HT normal. <br />
b. TD, nadi, suhu tubuh dalam batas normal.<br />
c. Tidak ada tanda, dehidrasi, alstisitas turgor kulit baik, membrane mukosa lembab, tidak ada rasa haus yang berlebihan. <br />
Indicator skala :<br />
1 : Tidak pernah menunjukkan. <br />
2 : Jarang menunjukkan <br />
3 : Kadang menunjukkan<br />
4 : Sering menunjukkan<br />
5 : Selalu menunjukkan<br />
NIC : Fluid Management<br />
Intervensi :<br />
a. Pertahankan catatan intake dan output yang akurat.<br />
b. Monitor status hidrasi (kelembaban membran mukosa, nadi adekuat, tekanan darah ortostatik).<br />
c. Monitor TTV.<br />
d. Jaga keakuratan pemasukan dan pengeluaran.<br />
e. Kolaborasi pemberian cairan IV.<br />
<br />
3. DX III : Perfusi jaringan tidak efektif berhubungan dengan keracunan CO <br />
dan cidera inhalasi.<br />
Tujuan :Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses <br />
keperawatan diharapkan perfusi jaringan efektif.<br />
NOC : Menunjukkan perfusi jaringan ; Perifer.<br />
Kriteria Hasil :<br />
a. Kulit utuh. <br />
b. Warna normal. <br />
c. Suhu ekstremitas hangat. <br />
d. Tidak ada nyeri ekstremitas yang terlokalisasi. <br />
e. Fungsi otot utuh. <br />
Indicator Skala : <br />
1 : Tidak pernah menunjukkan <br />
2 : Jarang menunjukkan <br />
3 : Kadang menunjukkan<br />
4 : Sering menunjukkan<br />
5 : Selalu menunjukkan<br />
NIC : Penatalaksanaan sensasi perifer.<br />
Intervensi :<br />
a. Meminimalkan pemcegahan rasa tidak nyaman pada pasien dengan perubahan sensasi.<br />
b. Pantau perbedaan ketajaman/tumpul dan panas - dingin perifer).<br />
c. Pantau peristesia, kesbas, kesemutan, hiperestia dan hipoestesia.<br />
d. Pantau tromboplebitis dan trombosis vena profunda.<br />
e. Pantau posisi bagian tubuh saat mandi, duduk, berbaring atau mengubah posisi.<br />
<br />
4. DX IV : Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan cidera luka bakar.<br />
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses <br />
keperawatan diharapkan tidak terjadi infeksi pada pasien.<br />
NOC I : Risk Detection<br />
Kriteria Hasil :<br />
a. Mengidentifikasi faktor yang dapat menimbulkan resiko. <br />
b. menjelaskan kembali tanda dan gejala yang mengidikasi resiko infeksi. <br />
c. Menggunakan sumber dan pelayanan kesehatan untuk mendapatkan <br />
informasi.<br />
Indicator Skala :<br />
1 : Tidak pernah dilakukan<br />
2 : Jarang dilakukan<br />
3 : Kadang dilakukan<br />
4 : Sering dilakukan<br />
5 : Selalu dilakukan<br />
NOC II : Risk Control<br />
a. Membenarkan factor- factor resiko. <br />
b. Memonitor factor resiko dari lingkungan. <br />
c. Memonitor perilaku yang dapat meningkatkan faktor resiko. <br />
d. Merubah gaya hidup untuk mengurangi faktor resiko. <br />
e. Memonitor dan mengungkapkan status kesehatannya. <br />
f. Membuat strategi dan menjalankan strategi untuk mengontrol resiko. <br />
Indicator Skala :<br />
1 : Tidak pernah dilakukan<br />
2 : Jarang dilakukan<br />
3 : Kadang dilakukan<br />
4 : Sering dilakukan<br />
5 : Selalu dilakukan<br />
NIC I : Infection Protection.<br />
Intervensi :<br />
a. Monitor sistemik lokasi, tanda dan gejala infeksi dan resiko <br />
tinggi infeksi.<br />
b. Anjurkan peningkatan frekuensi istirahat.<br />
c. Anjurkan peningkatan intake nutrisi.<br />
d. Monitor apakah pasien mudah terkena infeksi.<br />
e. Monitor peningkatan granulosit, sel darah putih.<br />
f. Batasi pangunjung yang menjenguk pasien.<br />
g. Kaji faktor yang dapat meningkatkan infeksi.<br />
NIC II : Infection Control.<br />
Intervensi :<br />
a. Bersihkan lingkungan dengan benar setelah digunakan pasien.<br />
b. Ajarkan pasien cara mencuci tangan yang baik dan benar.<br />
c. Ajarkan kepada pasien dan keluarga tanda dan gejala infeksi <br />
dan kapan harus melaporkannya ke pihak pelayanan kesehatan.<br />
d. Pertahankan tehnik isolasi jika diperlukan.<br />
e. Batasi pengunjung jika diperlukan.<br />
<br />
5. DX V : Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan kerusakan <br />
permukaan kulit.<br />
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan diharapkan integritas klien kembali normal.<br />
NOC I : Tissue Integrity : Skin and Mucous Membranes<br />
Kriteria Hasil :<br />
a. Integritas kulit yang baik bisa dipertahankan.<br />
b. Tidak ada luka / lesi pada kulit.<br />
c. Perfusi jaringan baik.<br />
d. Menunjukkan pemahaman dalam proses perbaikan kulit dan mencegah terjadinya cedera berulang.<br />
e. Mampu melindungi kulit dan mempertahankan kelembaban kulit dan perawatan alami. <br />
Indicator skala :<br />
1 : Tidak pernah menunjukkan. <br />
2 : Jarang menunjukkan<br />
3 : Kadang menunjukkan<br />
4 : Sering menunjukkan<br />
5 : Selalu menunjukkan<br />
NOC II : Penyembuhan Luka ; Tujuan Utama.<br />
Kriteria Hasil :<br />
a. Penyatuan kulit. <br />
b. Resolusi drainase dari luka/drain. <br />
c. Resolusi pada daerah sekitar eritema kulit. <br />
d. Resolusi dari bau luka. <br />
Indicator skala :<br />
1 : Tidak pernah menunjukkan. <br />
2 : Jarang menunjukkan<br />
3 : Kadang menunjukkan<br />
4 : Sering menunjukkan<br />
5 : Selalu menunjukkan<br />
NIC I : Pengawasan Luka<br />
Intervensi :<br />
a. Pengumpulan dan analisa data pasien untuk mempertahankan integritas membran mukosa dan kulit.<br />
b. Pembersihan, pemantauan dan peningkatan proses penyembuhan luka.<br />
c. Inspeksi adanya kemerahan, pembengkakan, tanda-tanda defisiensi/ efisiensi.<br />
d. Ajarkan anggota keluarga atau pemberi asuhan tentang tanda kerusakan kulit jika diperlukan.<br />
NIC II : Perawatan Luka.<br />
Intervensi :<br />
a. Pencegahan dari komplikasi luka dan peningkatan proses penyembuhan luka.<br />
b. Inspeksi luka pada setiap ganti balutan.<br />
c. Ajarkan pasien/anggota keluarga tentang prosedur luka.<br />
d. Lakukan pemijatan di sekitar luka untuk merangsang sirkulasi.<br />
e. Posisikan untuk menghindari ketegangan pada luka.<br />
<br />
6. DX VI : Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan <br />
neuromuskuler.<br />
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses <br />
keperawatan diharapkan tidak terjadi kerusakan mobilitas fisik, <br />
pasien dapat melakukan aktivitas secara normal.<br />
NOC I : Tingkat Mobilitas.<br />
Kriteria Hasil :<br />
a. Pergerakan sendi dan otot. <br />
b. Melakukan perpindahan. <br />
c. Ambulasi berjalan. <br />
d. Menunjukkan keseimbangan posisi tubuh. <br />
e. Penampilan yang seimbang. <br />
f. Penampilan posisi tubuh. <br />
Indicator Skala :<br />
1 : Tidak pernah dilakukan sama sekali. <br />
2 : Jarang dilakukan. <br />
3 : Kadang dilakukan.<br />
4 : Sering dilakukan.<br />
5 : Selalu dilakukan.<br />
NIC I : Perawatan Bedrest.<br />
a. Atur posisi tubuh yang benar.<br />
b. Kaji alasan pasien bedrest.<br />
c. Monitor kondisi kulit.<br />
d. Berikan tempat tidur yang terapeutik.<br />
e. Ubah posisi tubuh minimal 2 jam berdasarkan jadwal spesifik.<br />
NIC II : Latihan Terapi Pergerakan.<br />
a. Ajarkan dan bantu pasien dalam proses perpindahan, misal : duduk.<br />
b. Rujuk ke ahli terapi fisik untuk program latihan.<br />
c. Berikan latihan ROM aktif/pasif untuk mempertahankan <br />
kekuatan dan ketahanan otot.<br />
d. Ajarkan tehnik perpindahan dan pergerakkan yang sama.<br />
e. Awasi seluruh kegiatan pasien dan bantu aktivitas yang diperoleh.<br />
<br />
7. DX VII : Resiko tinggi terhadap cidera berhubungan dengan luka bakar.<br />
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses <br />
keperawatan diharapkan tidak terjadi cidera pada pasien.<br />
NOC : Risk Control.<br />
Kriteria Hasil :<br />
a. Membenarkan factor resiko. <br />
b. Merubah gaya hidup untuk mengurangi factor resiko. <br />
c. Berpartisipasi dalam mengidentifikasi factor resiko. <br />
d. Memantau factor resiko pribadi dan perorangan. <br />
e. Memonitor factor resiko dari lingkungan. <br />
f. Memonitor dan mengungkapkan status kesehatannya. <br />
Indicator Skala :<br />
1 : Tidak pernah menunjukan<br />
2 : Jarang menunjukan<br />
3 : Kadang menunjukan<br />
4 : Sering menunjukan<br />
5 : Selalu menunjukan<br />
NIC : Fall Prevention.<br />
Intervensi :<br />
a. Identifikasi status kognitif dan fisik pasien yang mungkin meningkatkan resiko jatuh.<br />
b. Identifikasi karakteristik pasien yang berpotensial meningkatkan resiko jatuh pada pasien.<br />
c. Monitor gerakan - gerakan yang tidak teratur (keseimbangan, kelemahan waktu beraktivitas).<br />
d. Bantu menolong pasien waktu berpindah temapt.<br />
e. Berikan sandal yang tidak licin.<br />
f. Orientasikan kepada pasien ruangan yang ditempati.<br />
g. Ajarkan kepada pasien bagaimana kalau jatuh dan cara meminimalkan trauma.<br />
h. Berikan cahaya yang terang pada malam hari.<br />
i. Ajarkan kepada anggota keluarga tentang faktor resiko yang dapat meningkatkan jatuh.<br />
j. Instruksikan pada apasien untuk memanggil keluarga jika ingin beraktivitas, jika diperlukan.<br />
D. EVALUASI<br />
1. DX I : Nyeri akut berhubungan dengan luka bakar, kerusakan jaringan.<br />
NOC I : Pain Level.<br />
Kriteria Hasil :<br />
a. Melaporkan nyeri, frekuensi, dan lama nyeri. 5<br />
b. Posisi tubuh pasien melindungi nyeri. 5<br />
c. TD, nadi, suhu dan respirasi dalam batas normal. 5<br />
NOC II : Pain Control.<br />
Kriteria Hasil :<br />
a. Mengungkapkan faktor penyebab timbulnya nyeri. 5<br />
b. Mampu mengontrol nyeri ( tahu penyebab nyeri, mampu<br />
menggunakan teknik non farmakologi untuk mengurangi <br />
nyeri, mencari bantuan ) 5<br />
c. Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan manajemen nyeri 5<br />
d. Mampu mengenal nyeri <br />
(skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri). 5<br />
e. Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang. 5<br />
NOC III : Comfort Level.<br />
Kriteria Hasil :<br />
a. Melaporkan kondisi yang nyaman. 5 <br />
b. ekspresi puas terhadap pengendalian nyeri. 5<br />
2. DX II : Kekurangan volume cairan berhubungan dengan peningkatan <br />
permeabilitas pembuluh darah.<br />
NOC : Fluid Balance<br />
Kriteria Hasil :<br />
a. Mempertahankan urine output sesuai dengan usia dan BB, Bj urine normal<br />
HT normal. 5<br />
b. TD, nadi, suhu tubuh dalam batas normal. 5<br />
c. Tidak ada tanda, dehidrasi, alstisitas turgor kulit baik, membrane <br />
mukosa lembab, tidak ada rasa haus yang berlebihan. 5<br />
<br />
3. DX III : Perfusi jaringan tidak efektif berhubungan dengan keracunan CO dan cidera inhalasi.<br />
NOC : Menunjukkan perfusi jaringan ; Perifer.<br />
Kriteria Hasil :<br />
a. Kulit utuh. 5<br />
b. Warna normal. 5<br />
c. Suhu ekstremitas hangat. 5<br />
d. Tidak ada nyeri ekstremitas yang terlokalisasi. 5<br />
e. Fungsi otot utuh. 5<br />
<br />
4. DX IV : Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan cidera luka bakar.<br />
NOC I : Risk Detection<br />
Kriteria Hasil :<br />
a. Mengidentifikasi faktor yang dapat menimbulkan resiko. 5<br />
b. Menjelaskan kembali tanda dan gejala yang<br />
mengindikasi resiko infeksi. 5<br />
c. Menggunakan sumber dan pelayanan kesehatan untuk<br />
mendapatkan informasi. 5<br />
NOC II : Risk Control<br />
Kriteria Hasil :<br />
a. Membenarkan factor- factor resiko. 5<br />
b. Memonitor factor resiko dari lingkungan. 5<br />
c. Memonitor perilaku yang dapat meningkatkan faktor resiko. 5<br />
d. Merubah gaya hidup untuk mengurangi faktor resiko. 5<br />
e. Memonitor dan mengungkapkan status kesehatannya. 5<br />
f. Membuat strategi dan menjalankan strategi untuk<br />
mengontrol resiko. 5<br />
<br />
5. DX V : Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan kerusakan <br />
NOC I : Tissue Integrity : Skin and Mucous Membranes<br />
Kriteria Hasil :<br />
a. Integritas kulit yang baik bisa dipertahankan. 5<br />
b. Tidak ada luka / lesi pada kulit. 5<br />
c. Perfusi jaringan baik. 5<br />
d. Menunjukkan pemahaman dalam proses perbaikan kulit dan <br />
mencegah terjadinya cedera berulang. 5<br />
e. Mampu melindungi kulit dan mempertahankan kelembaban<br />
kulit dan perawatan alami. 5<br />
NOC II : Penyembuhan Luka : Tujuan Utama.<br />
Kriteria Hasil :<br />
a. Penyatuan kulit. 5<br />
b. Resolusi drainase dari luka/drain. 5<br />
c. Resolusi pada daerah sekitar eritema kulit. 5<br />
d. Resolusi dari bau luka. 5<br />
<br />
6. DX VI : Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan <br />
neuromuskuler.<br />
NOC I : Tingkat Mobilitas.<br />
Kriteria Hasil :<br />
a. Pergerakan sendi dan otot. 5<br />
b. Melakukan perpindahan. 5<br />
c. Ambulasi berjalan. 5<br />
d. Menunjukkan keseimbangan posisi tubuh. 5<br />
e. Penampilan yang seimbang. 5<br />
f. Penampilan posisi tubuh. 5<br />
<br />
7. DX VII : Resiko tinggi terhadap cidera berhubungan dengan luka bakar.<br />
NOC : Risk Control. <br />
Kriteria Hasil :<br />
a. Membenarkan factor resiko. 5<br />
b. Merubah gaya hidup untuk mengurangi factor resiko. 5<br />
c. Berpartisipasi dalam mengidentifikasi factor resiko. 5<br />
d. Memantau factor resiko pribadi dan perorangan. 5<br />
e. Memonitor factor resiko dari lingkungan. 5<br />
f. Memonitor dan mengungkapkan status kesehatannya. 5<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
<br />
Corwin, Elizabeth J. 2000. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC<br />
Doengoes, M.E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk <br />
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, Edisi <br />
3.Jakarta:EGC<br />
Harahap, M . 2000. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta : Hipokratis.<br />
Jhonson,Marion,dkk. 1997. Iowa Outcomes Project Nursing Classification <br />
(NOC) Edisi 2. St. Louis ,Missouri ; Mosby<br />
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3 Jilid 2. Jakarta : EGC<br />
Mc Closkey, Joanner. 1996 . Iowa Intervention Project Nursing <br />
Intervention Classification (NIC) Edisi 2. Westline Industrial <br />
Drive, St. Louis :Mosby<br />
Santosa,Budi . 2005 - 2006. Diagnosa Keperawatan NANDA . Jakarta : <br />
Prima Medika<br />
Smeltzer, S.C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner and<br />
Sudath, Edisi 8, Volume 3. Jakarta : EGC<br />
Smeltzer, S.C dan Bare, B.G. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikial Bedah Brunner and Sudath, Edisi 8. Jakarta : EGCPuspo Widianotohttp://www.blogger.com/profile/18352577488779133633noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4942725209072240234.post-51988813543260381442011-02-21T18:29:00.001-08:002011-02-21T18:29:37.603-08:00GAGAL JANTUNG KONGESTIF (CHF)GAGAL JANTUNG KONGESTIF (CHF)<br />
A. Pengertian <br />
Gagal jantung adalah keadaan patofisiologik dimana jantung sebagai pompa tidak mampu memenuhi kebutuhan darah untuk metabolisme jaringan. Ciri-ciri yang penting dari defenisi ini adalah pertama defenisi gagal adalah relatif terhadap kebtuhan metabolic tubuh, kedua penekanan arti gagal ditujukan pada fungsi pompa jantung secara keseluruhan. Istilah gagal miokardium ditujukan spesifik pada fungsi miokardium ; gagal miokardium umumnya mengakibatkan gagal jantung, tetapi mekanisme kompensatorik sirkulai dapat menunda atau bahkan mencegah perkembangan menjadi gagal jantung dalam fungsi pompanya.<br />
Istilah gagal sirkulasi lebih bersifat umum dari pada gagal jantung. Gagal sirkulasi menunjukkan ketidakmampuan dari sistem kardiovaskuler untuk melakukan perfusi jaringan dengan memadai. Defenisi ini mencakup segal kelainan dari sirkulasi yang mengakibatkan perfusi jaringan yang tidak memadai, termasuk perubahan dalam volume darah, tonus vaskuler dan jantung. Gagal jantung kongetif adlah keadaan dimana terjadi bendungan sirkulasi akibat gagal jantung dan mekanisme kompenstoriknya. Gagal jantung kongestif perlu dibedakan dengan istilah yang lebih umum yaitu. Gagal sirkulasi, yang hanya berarti kelebihan bebabn sirkulasi akibat bertambahnya volume darah pada gagal jantung atau sebab-sebab diluar jantung, seperti transfusi yang berlebihan atau anuria.<br />
B. Etiologi dan Patofisiologi<br />
Gagal jantung adalah komplikasi yang paling sering dari segala jenis penyakit jantung kongestif maupun didapat. Mekanisme fisiologis yang menyebabkan gagal jantung mencakup keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal, beban akhir atau menurunkan kontraktilitas miokardium. Keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal meliputi : regurgitasi aorta dan cacat septum ventrikel. Dan beban akhir meningkat pada keadaan dimana terjadi stenosis aorta dan hipertensi sistemik. Kontraktilitas miokardium dapat menurun pada imfark miokardium dan kardiomiopati. <br />
Faktor-fktor yang dapat memicu perkembangan gagal jantung melalui penekanana sirkulasi yang mendadak dapat berupa : aritmia, infeksi sistemik dan infeksi paru-paru dan emboli paru-paru. Pennganan yang efektif terhadap gagal jantung membutuhkan pengenalan dan penanganan tidak saja terhadap mekanisme fisiologis dan penykit yang mendasarinya, tetapi juga terhadap faktor-faktor yang memicu terjadinya gagal jantung.<br />
C. Patofisiologi<br />
Kelainan intrinsik pada kontraktilitas miokardium yang khas pada gagal jantung akibat penyakit jantung iskemik, mengganggu kemampuan pengosongan ventrikel yang efektif. Kontraktilitas ventrikel kiri yang menurun mengurangi curah sekuncup dan meningkatkan volume residu ventrikel.<br />
Tekanan rteri paru-paru dapat meningkat sebagai respon terhadap peningkatan kronis tekanan vena paru. Hipertensi pulmonary meningkatkan tahanan terhadap ejeksi ventrikel kanan. Serentetan kejadian seprti yang terjadi pada jantung kiri, juga akan terjadi pada jantung kanan, dimana akhirnya akan terjdi kongesti sistemik dan edema.<br />
Perkembangan dari kongesti sistemik atau paru-paru dan edema dapat dieksaserbasi oleh regurgitasi fungsional dan katub-katub trikuspidalis atau mitralis bergantian. Regurgitasi fungsional dapat disebabkan oleh dilatasi dari annulus katub atrioventrikularis atau perubahan-perubahan pada orientasi otot papilaris dan kordatendinae yang terjadi sekunder akibat dilatasi ruang.<br />
Sebagai respon terhadap gagal jantung ada tiga meknisme primer yang dapat dilihat; meningkatnya aktifitas adrenergik simpatik, meningkatnya beban awal akibat aktivasi istem rennin-angiotensin-aldosteron dan hipertrofi ventrikel. Ketiga respon ini mencerminkan usaha untuk mempertahankan curh jantung. Meknisme-meknisme ini mungkin memadai untuk mempertahnkan curah jantung pada tingkat normal atau hampir normal pada gagal jantung dini, pada keadaan istirahat. Tetapi kelainan pad kerj ventrikel dan menurunnya curah jantung biasanya tampak pada keadaan berktivitas. Dengn berlanjutny gagal jantung maka kompensasi akan menjadi semakin luring efektif.<br />
D. Penanganan<br />
Gagal jantung ditngani dengan tindakan umum untuk mengurangi beban kerja jantung dan manipulasi selektif terhadap ketiga penentu utama dari fungsi miokardium, baik secar sendiri-sendiri maupun gabungan dari : beban awal, kontraktilitas dan beban akhir.Penanganan biasanya dimulai ketika gejala-gejala timbul pad saat beraktivitas biasa. Rejimen penanganan secar progresif ditingkatkan sampai mencapai respon klinik yang diinginkan. Eksaserbasi akut dari gagal jantung atau perkembangan menuju gagal jantung yang berat dapat menjadi alasan untuk dirawat dirumah sakit atau mendapat penanganan yang lebih agresif . <br />
Pembatasan aktivitas fisik yang ketat merupakan tindakan awal yang sederhan namun sangat tepat dalam pennganan gagal jantung. Tetapi harus diperhatikan jngn sampai memaksakan lrngan yng tak perlu untuk menghindari kelemahan otot-otot rangka. Kini telah dikethui bahwa kelemahan otot rangka dapat meningkatkan intoleransi terhadap latihan fisik. Tirah baring dan aktifitas yang terbatas juga dapat menyebabkan flebotrombosis. Pemberian antikoagulansia mungkin diperlukan pad pembatasan aktifitas yang ketat untuk mengendalikan gejala.<br />
E. Pemeriksaan Diagnostik<br />
1. EKG : Hipertrofi atrial atau ventrikuler, penyimpangan aksis, iskemia san kerusakan pola mungkin terlihat. Disritmia mis : takhikardi, fibrilasi atrial. Kenaikan segmen ST/T persisten 6 minggu atau lebih setelah imfark miokard menunjukkan adanya aneurime ventricular.<br />
2. Sonogram : Dapat menunjukkan dimensi pembesaran bilik, perubahan dalam fungsi/struktur katub atau are penurunan kontraktilitas ventricular.<br />
3. Skan jantung : Tindakan penyuntikan fraksi dan memperkirakan pergerakan dinding.<br />
4. Kateterisasi jantung : Tekanan bnormal merupakan indikasi dan membantu membedakan gagal jantung sisi kanan verus sisi kiri, dan stenosi katup atau insufisiensi, Juga mengkaji potensi arteri kororner. Zat kontras disuntikkan kedalam ventrikel menunjukkan ukuran bnormal dan ejeksi fraksi/perubahan kontrktilitas.<br />
ASUHAN KEPERAWATAN<br />
A. Pengkajian <br />
Gagal serambi kiri/kanan dari jantung mengakibtkan ketidakmampuan memberikan keluaran yang cukup untuk memenuhi kebutuhan jaringan dan menyebabkan terjadinya kongesti pulmonal dan sistemik . Karenanya diagnostik dan teraupetik berlnjut . GJK selanjutnya dihubungkan dengan morbiditas dan mortalitas.<br />
1. Aktivitas/istirahat<br />
a. Gejala : Keletihan/kelelahan terus menerus sepanjang hari, insomnia, nyeri dada dengan aktivitas, dispnea pada saat istirahat.<br />
b. Tanda : Gelisah, perubahan status mental mis : letargi, tanda vital berubah pad aktivitas.<br />
2. Sirkulasi<br />
a. Gejala : Riwayat HT, IM baru/akut, episode GJK sebelumnya, penyakit jantung , bedah jantung , endokarditis, anemia, syok septic, bengkak pada kaki, telapak kaki, abdomen.<br />
b. Tanda : <br />
1) TD ; mungkin rendah (gagal pemompaan).<br />
2) Tekanan Nadi ; mungkin sempit.<br />
3) Irama Jantung ; Disritmia.<br />
4) Frekuensi jantung ; Takikardia.<br />
5) Nadi apical ; PMI mungkin menyebar dan merubah <br />
6) posisi secara inferior ke kiri.<br />
7) Bunyi jantung ; S3 (gallop) adalah diagnostik, S4 dapat <br />
8) terjadi, S1 dan S2 mungkin melemah.<br />
9) Murmur sistolik dan diastolic.<br />
10) Warna ; kebiruan, pucat abu-abu, sianotik.<br />
11) Punggung kuku ; pucat atau sianotik dengan pengisian <br />
12) kapiler lambat.<br />
13) Hepar ; pembesaran/dapat teraba.<br />
14) Bunyi napas ; krekels, ronkhi.<br />
15) Edema ; mungkin dependen, umum atau pitting <br />
16) khususnya pada ekstremitas.<br />
3. Integritas ego<br />
a. Gejala : Ansietas, kuatir dan takut. Stres yang berhubungan dengan penyakit/keperihatinan finansial (pekerjaan/biaya perawatan medis)<br />
b. Tanda : Berbagai manifestasi perilaku, mis : ansietas, marah, ketakutan dan mudah tersinggung.<br />
4. Eliminasi<br />
Gejala : Penurunan berkemih, urine berwana gelap, berkemih malam hari (nokturia), diare/konstipasi.<br />
5. Makanan/cairan<br />
a. Gejala : Kehilangan nafsu makan, mual/muntah, penambhan berat badan signifikan, pembengkakan pada ekstremitas bawah, pakaian/sepatu terasa sesak, diet tinggi garam/makanan yang telah diproses dan penggunaan diuretic.<br />
b. Tanda : Penambahan berat badan cepat dan distensi abdomen (asites) serta edema (umum, dependen, tekanan dn pitting).<br />
6. Higiene<br />
a. Gejala : Keletihan/kelemahan, kelelahan selama aktivitas Perawatan diri.<br />
b. Tanda : Penampilan menandakan kelalaian perawatan personal.<br />
7. Neurosensori<br />
a. Gejala : Kelemahan, pening, episode pingsan.<br />
b. Tanda : Letargi, kusut pikir, diorientasi, perubahan perilaku dan mudah tersinggung.<br />
8. Nyeri/Kenyamanan<br />
a. Gejala : Nyeri dada, angina akut atau kronis, nyeri abdomen kanan atas dan sakit pada otot.<br />
b. Tanda : Tidak tenang, gelisah, focus menyempit danperilaku melindungi diri.<br />
9. Pernapasan<br />
a. Gejala : Dispnea saat aktivitas, tidur sambil duduk atau dengan beberapa bantal, batuk dengn/tanpa pembentukan sputum, riwayat penyakit kronis, penggunaan bantuan pernapasan.<br />
b. Tanda : <br />
1) Pernapasan; takipnea, napas dangkal, penggunaan otot asesori pernpasan.<br />
2) Batuk : Kering/nyaring/non produktif atau mungkin batuk terus menerus dengan/tanpa pemebentukan sputum.<br />
3) Sputum ; Mungkin bersemu darah, merah muda/berbuih (edema pulmonal)<br />
4) Bunyi napas ; Mungkin tidak terdengar.<br />
5) Fungsi mental; Mungkin menurun, kegelisahan, letargi.<br />
6) Warna kulit ; Pucat dan sianosis.<br />
10. Keamanan<br />
Gejala : Perubahan dalam fungsi mental, kehilangankekuatan/tonus otot, kulit lecet.<br />
11. Interaksi sosial <br />
Gejala : Penurunan keikutsertaan dalam aktivitas sosial yang biasa dilakukan.<br />
12. Pembelajaran/pengajaran<br />
a. Gejala : menggunakan/lupa menggunakan obat-obat jantung, misalnya : penyekat saluran kalsium.<br />
b. Tanda : Bukti tentang ketidak berhasilan untuk meningkatkan.<br />
B. Diagnosa Keperawatan<br />
1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan ; Perubahan kontraktilitas miokardial/perubahan inotropik, Perubahan frekuensi, irama dan konduksi listrik, Perubahan structural, ditandai dengan ;<br />
a. Peningkatan frekuensi jantung (takikardia) : disritmia, perubahan gambaran pola EKG<br />
b. Perubahan tekanan darah (hipotensi/hipertensi).<br />
c. Bunyi ekstra (S3 & S4)<br />
d. Penurunan keluaran urine<br />
e. Nadi perifer tidak teraba<br />
f. Kulit dingin kusam <br />
g. Ortopnea,krakles, pembesaran hepar, edema dan nyeri dada.<br />
Tujuan <br />
Klien akan : Menunjukkan tanda vital dalam batas yang dapat diterima (disritmia terkontrol atau hilang) dan bebas gejala gagal jantung , Melaporkan penurunan epiode dispnea, angina, Ikut serta dalam aktivitas yang mengurangi beban kerja jantung.<br />
Intervensi<br />
a. Auskultasi nadi apical ; kaji frekuensi, iram jantung <br />
Rasional : Biasnya terjadi takikardi (meskipun pada saat istirahat) untuk mengkompensasi penurunan kontraktilitas ventrikel.<br />
b. Catat bunyi jantung<br />
Rasional : S1 dan S2 mungkin lemah karena menurunnya kerja pompa. Irama Gallop umum (S3 dan S4) dihasilkan sebagai aliran darah kesermbi yang disteni. Murmur dapat menunjukkan Inkompetensi/stenosis katup.<br />
c. Palpasi nadi perifer<br />
Rasional : Penurunan curah jantung dapat menunjukkan menurunnya nadi radial, popliteal, dorsalis, pedis dan posttibial. Nadi mungkin cepat hilang atau tidak teratur untuk dipalpasi dan pulse alternan.<br />
d. Pantau TD<br />
Rasional : Pada GJK dini, sedng atu kronis tekanan drah dapat meningkat. Pada HCF lanjut tubuh tidak mampu lagi mengkompensasi danhipotensi tidak dapat norml lagi.<br />
e. Kaji kulit terhadp pucat dan sianosis <br />
Rasional : Pucat menunjukkan menurunnya perfusi perifer ekunder terhadap tidak dekutnya curh jantung; vasokontriksi dan anemia. Sianosis dapt terjadi sebagai refrakstori GJK. Area yang sakit sering berwarna biru atu belang karena peningkatan kongesti vena.<br />
f. Berikan oksigen tambahan dengan kanula nasal/masker dan obat sesuai indikasi (kolaborasi)<br />
Rasional : Meningkatkn sediaan oksigen untuk kebutuhan miokard untuk melawan efek hipoksia/iskemia. Banyak obat dapat digunakan untuk meningkatkan volume sekuncup, memperbaiki kontraktilitas dan menurunkan kongesti.<br />
2. Aktivitas intoleran berhubungan dengan : Ketidak seimbangan antar suplai okigen. Kelemahan umum, Tirah baring lama/immobilisasi. Ditandai dengan : Kelemahan, kelelahan, Perubahan tanda vital, adanya disrirmia, Dispnea, pucat, berkeringat.<br />
Tujuan /kriteria evaluasi :<br />
Klien akan : Berpartisipasi pad ktivitas yang diinginkan, memenuhi perawatan diri sendiri, Mencapai peningkatan toleransi aktivitas yang dapat diukur, dibuktikan oelh menurunnya kelemahan dan kelelahan.<br />
Intervensi<br />
a. Periksa tanda vital sebelum dan segera setelah aktivitas, khususnya bila klien menggunakan vasodilator,diuretic dan penyekat beta.<br />
Rasional : Hipotensi ortostatik dapat terjadi dengan aktivitas karena efek obat (vasodilasi), perpindahan cairan (diuretic) atau pengaruh fungsi jantung.<br />
b. Catat respons kardiopulmonal terhadap aktivitas, catat takikardi, diritmia, dispnea berkeringat dan pucat.<br />
Rasional : Penurunan/ketidakmampuan miokardium untuk meningkatkan volume sekuncup selama aktivitas dpat menyebabkan peningkatan segera frekuensi jantung dan kebutuhan oksigen juga peningkatan kelelahan dan kelemahan.<br />
c. Evaluasi peningkatan intoleran aktivitas.<br />
Rasional : Dapat menunjukkan peningkatan dekompensasi jantung daripada kelebihan aktivitas.<br />
d. Implementasi program rehabilitasi jantung/aktivitas (kolaborasi)<br />
Rasional : Peningkatan bertahap pada aktivitas menghindari kerja jantung/konsumsi oksigen berlebihan. Penguatan dan perbaikan fungsi jantung dibawah stress, bila fungsi jantung tidak dapat membaik kembali,<br />
3. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan : menurunnya laju filtrasi glomerulus (menurunnya curah jantung)/meningkatnya produksi ADH dan retensi natrium/air. ditandai dengan : Ortopnea, bunyi jantung S3, Oliguria, edema, Peningkatan berat badan, hipertensi, Distres pernapasan, bunyi jantung abnormal.<br />
Tujuan /kriteria evaluasi, <br />
Klien akan : Mendemonstrasikan volume cairan stabil dengan keseimbangan masukan danpengeluaran, bunyi nafas bersih/jelas, tanda vital dalam rentang yang dapat diterima, berat badan stabil dan tidak ada edema., Menyatakan pemahaman tentang pembatasan cairan individual.<br />
Intervensi :<br />
a. Pantau pengeluaran urine, catat jumlah dan warna saat dimana diuresis terjadi.<br />
Rasional : Pengeluaran urine mungkin sedikit dan pekat karena penurunan perfusi ginjal. Posisi terlentang membantu diuresis sehingga pengeluaran urine dapat ditingkatkan selama tirah baring.<br />
b. Pantau/hitung keseimbangan pemaukan dan pengeluaran selama 24 jam<br />
Rasional : Terapi diuretic dapat disebabkan oleh kehilangan cairan tiba-tiba/berlebihan (hipovolemia) meskipun edema/asites masih ada.<br />
c. Pertahakan duduk atau tirah baring dengan posisi semifowler selama fase akut.<br />
Rasional : Posisi tersebut meningkatkan filtrasi ginjal dan menurunkan produksi ADH sehingga meningkatkan diuresis.<br />
d. Pantau TD dan CVP (bila ada)<br />
Rasional : Hipertensi dan peningkatan CVP menunjukkan kelebihan cairan dan dapat menunjukkan terjadinya peningkatan kongesti paru, gagal jantung.<br />
e. Kaji bisisng usus. Catat keluhan anoreksia, mual, distensi abdomen dan konstipasi.<br />
Rasional : Kongesti visceral (terjadi pada GJK lanjut) dapat mengganggu fungsi gaster/intestinal.<br />
f. Pemberian obat sesuai indikasi (kolaborasi)<br />
g. Konsul dengan ahli diet.<br />
Rasional : perlu memberikan diet yang dapat diterima klien yang memenuhi kebutuhan kalori dalam pembatasan natrium.<br />
4. Resiko tinggi gangguan pertukaran gas berhubungan dengan : perubahan menbran kapiler-alveolus. <br />
Tujuan /kriteria evaluasi, <br />
Klien akan : Mendemonstrasikan ventilasi dan oksigenisasi dekuat pada jaringan ditunjukkan oleh oksimetri dalam rentang normal dan bebas gejala distress pernapasan., Berpartisipasi dalam program pengobatan dalam btas kemampuan/situasi.<br />
Intervensi :<br />
a. Pantau bunyi nafas, catat krekles<br />
Rasional : menyatakan adnya kongesti paru/pengumpulan secret menunjukkan kebutuhan untuk intervensi lanjut.<br />
b. Ajarkan/anjurkan klien batuk efektif, nafas dalam.<br />
Rasional : membersihkan jalan nafas dan memudahkan aliran oksigen.<br />
c. Dorong perubahan posisi.<br />
Rasional : Membantu mencegah atelektasis dan pneumonia.<br />
d. Kolaborasi dalam Pantau/gambarkan seri GDA, nadi oksimetri.<br />
Rasional : Hipoksemia dapat terjadi berat selama edema paru.<br />
e. Berikan obat/oksigen tambahan sesuai indikasi<br />
5. Resiko tinggi terhadap kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring lama, edema dan penurunan perfusi jaringan.<br />
Tujuan/kriteria evaluasi<br />
Klien akan : Mempertahankan integritas kulit, Mendemonstrasikan perilaku/teknik mencegah kerusakan kulit.<br />
Intervensi<br />
a. Pantau kulit, catat penonjolan tulang, adanya edema, area sirkulasinya terganggu/pigmentasi atau kegemukan/kurus.<br />
Rasional : Kulit beresiko karena gangguan sirkulasi perifer, imobilisasi fisik dan gangguan status nutrisi.<br />
b. Pijat area kemerahan atau yang memutih<br />
Rasional : meningkatkan aliran darah, meminimalkan hipoksia jaringan.<br />
c. Ubah posisi sering ditempat tidur/kursi, bantu latihan rentang gerak pasif/aktif.<br />
Rasional : Memperbaiki sirkulasi waktu satu area yang mengganggu aliran darah.<br />
d. Berikan perawtan kulit, minimalkan dengan kelembaban/ekskresi.<br />
Rasional : Terlalu kering atau lembab merusak kulit/mempercepat kerusakan.<br />
e. Hindari obat intramuskuler<br />
Rasional : Edema interstisial dan gangguan sirkulasi memperlambat absorbsi obat dan predisposisi untuk kerusakan kulit/terjadinya infeksi..<br />
6. Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) mengenai kondisi dan program pengobatan berhubungan dengan kurang pemahaman/kesalahan persepsi tentang hubungan fungsi jantung/penyakit/gagal, ditandai dengan : Pertanyaan masalah/kesalahan persepsi, terulangnya episode GJK yang dapat dicegah.<br />
Tujuan/kriteria evaluasi<br />
Klien akan :<br />
a. Mengidentifikasi hubungan terapi untuk menurunkan episode berulang dan mencegah komplikasi.<br />
b. Mengidentifikasi stress pribadi/faktor resiko dan beberapa teknik untuk menangani.<br />
c. Melakukan perubahan pola hidup/perilaku yang perlu.<br />
Intervensi<br />
a. Diskusikan fungsi jantung normal<br />
Rasional : Pengetahuan proses penyakit dan harapan dapat memudahkan ketaatan pada program pengobatan.<br />
b. Kuatkan rasional pengobatan.<br />
Rasional : Klien percaya bahwa perubahan program pasca pulang dibolehkan bila merasa baik dan bebas gejala atau merasa lebih sehat yang dapat meningkatkan resiko eksaserbasi gejala.<br />
c. Anjurkan makanan diet pada pagi hari.<br />
Rasional : Memberikan waktu adequate untuk efek obat sebelum waktu tidur untuk mencegah/membatasi menghentikan tidur.<br />
d. Rujuk pada sumber di masyarakat/kelompok pendukung suatu indikasi<br />
Rasional : dapat menambahkan bantuan dengan pemantauan sendiri/penatalaksanaan dirumah.<br />
<br />
<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
<br />
Barbara C Long, Perawatan Medikal Bedah (Terjemahan), Yayasan IAPK Padjajaran Bandung, September 1996, Hal. 443 - 450<br />
<br />
Doenges Marilynn E, Rencana Asuhan Keperawatan (Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien), Edisi 3, Penerbit Buku Kedikteran EGC, Tahun 2002, Hal ; 52 – 64 & 240 – 249.<br />
<br />
Junadi P, Atiek S, Husna A, Kapita selekta Kedokteran (Efusi Pleura), Media Aesculapius, Fakultas Kedokteran Universita Indonesia, 1982, Hal.206 - 208<br />
<br />
Wilson Lorraine M, Patofisiologi (Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit), Buku 2, Edisi 4, Tahun 1995, Hal ; 704 – 705 & 753 - 763.Puspo Widianotohttp://www.blogger.com/profile/18352577488779133633noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4942725209072240234.post-85548008786605720192011-02-21T18:28:00.002-08:002011-02-21T18:28:56.813-08:00ASKEP DIABETES MELLITUSASKEP DIABETES MELLITUS<br />
1. Definisi<br />
Diabetes Mellitus ( DM ) adalah penyakit metabolik yang kebanyakan herediter, demham tanda – tanda hiperglikemia dan glukosuria, disertai dengan atau tidak adanya gejala klinik akut ataupun kronik, sebagai akibat dari kuranganya insulin efektif di dalam tubuh, gangguan primer terletak pada metabolisme karbohidrat yang biasanya disertai juga gangguan metabolisme lemak dan protein. ( Askandar, 2000 ).<br />
Gangren adalah proses atau keadaan yang ditandai dengan adanya jaringan mati atau nekrosis, namun secara mikrobiologis adalah proses nekrosis yang disebabkan oleh infeksi. ( Askandar, 2001 ).<br />
Gangren Kaki Diabetik adalah luka pada kaki yang merah kehitam-hitaman dan berbau busuk akibat sumbatan yang terjadi di pembuluh darah sedang atau besar di tungkai. ( Askandar, 2001).<br />
1. Anatomi Fisiologi<br />
Pankreas merupakan sekumpulan kelenjar yang panjangnya kira – kira 15 cm, lebar 5 cm, mulai dari duodenum sampai ke limpa dan beratnya rata – rata 60 – 90 gram. Terbentang pada vertebrata lumbalis 1 dan 2 di belakang lambung.<br />
Pankreas merupakan kelenjar endokrin terbesar yang terdapat di dalam tubuh baik hewan maupun manusia. Bagian depan ( kepala ) kelenjar pankreas terletak pada lekukan yang dibentuk oleh duodenum dan bagian pilorus dari lambung. Bagian badan yang merupakan bagian utama dari organ ini merentang ke arah limpa dengan bagian ekornya menyentuh atau terletak pada alat ini. Dari segi perkembangan embriologis, kelenjar pankreas terbentuk dari epitel yang berasal dari lapisan epitel yang membentuk usus.<br />
Pankreas terdiri dari dua jaringan utama, yaitu :<br />
(1). Asini sekresi getah pencernaan ke dalam duodenum.<br />
(2). Pulau Langerhans yang tidak tidak mengeluarkan sekretnya keluar, tetapi menyekresi insulin dan glukagon langsung ke darah.<br />
Pulau – pulau Langerhans yang menjadi sistem endokrinologis dari pamkreas tersebar di seluruh pankreas dengan berat hanya 1 – 3 % dari berat total pankreas. Pulau langerhans berbentuk ovoid dengan besar masing-masing pulau berbeda. Besar pulau langerhans yang terkecil adalah 50 m, sedangkan yang terbesar 300 m, terbanyak adalah yang besarnya 100 – 225 m. Jumlah semua pulau langerhans di pankreas diperkirakan antara 1 – 2 juta.<br />
Pulau langerhans manusia, mengandung tiga jenis sel utama, yaitu :<br />
(1). Sel – sel A ( alpha ), jumlahnya sekitar 20 – 40 % ; memproduksi glikagon yang manjadi faktor hiperglikemik, suatu hormon yang mempunyai “ anti insulin like activity “.<br />
(2). Sel – sel B ( betha ), jumlahnya sekitar 60 – 80 % , membuat insulin.<br />
(3). Sel – sel D ( delta ), jumlahnya sekitar 5 – 15 %, membuat somatostatin.<br />
Masing – masing sel tersebut, dapat dibedakan berdasarkan struktur dan sifat pewarnaan. Di bawah mikroskop pulau-pulau langerhans ini nampak berwarna pucat dan banyak mengandung pembuluh darah kapiler. Pada penderita DM, sel beha sering ada tetapi berbeda dengan sel beta yang normal dimana sel beta tidak menunjukkan reaksi pewarnaan untuk insulin sehingga dianggap tidak berfungsi.<br />
Insulin merupakan protein kecil dengan berat molekul 5808 untuk insulin manusia. Molekul insulin terdiri dari dua rantai polipeptida yang tidak sama, yaitu rantai A dan B. Kedua rantai ini dihubungkan oleh dua jembatan ( perangkai ), yang terdiri dari disulfida. Rantai A terdiri dari 21 asam amino dan rantai B terdiri dari 30 asam amino. Insulin dapat larut pada pH 4 – 7 dengan titik isoelektrik pada 5,3. Sebelum insulin dapat berfungsi, ia harus berikatan dengan protein reseptor yang besar di dalam membrana sel.<br />
Insulin di sintesis sel beta pankreas dari proinsulin dan di simpan dalam butiran berselaput yang berasal dari kompleks Golgi. Pengaturan sekresi insulin dipengaruhi efek umpan balik kadar glukosa darah pada pankreas. Bila kadar glukosa darah meningkat diatas 100 mg/100ml darah, sekresi insulin meningkat cepat. Bila kadar glukosa normal atau rendah, produksi insulin akan menurun.<br />
Selain kadar glukosa darah, faktor lain seperti asam amino, asam lemak, dan hormon gastrointestina merangsang sekresi insulin dalam derajat berbeda-beda. Fungsi metabolisme utama insulin untuk meningkatkan kecepatan transport glukosa melalui membran sel ke jaringan terutama sel – sel otot, fibroblas dan sel lemak.<br />
1. Etiologi <br />
1. Diabetes Melitus<br />
DM mempunyai etiologi yang heterogen, dimana berbagai lesi dapat menyebabkan insufisiensi insulin, tetapi determinan genetik biasanya memegang peranan penting pada mayoritas DM. Faktor lain yang dianggap sebagai kemungkinan etiologi DM yaitu :<br />
1. Kelainan sel beta pankreas, berkisar dari hilangnya sel beta sampai kegagalan sel beta melepas insulin.<br />
2. Faktor – faktor lingkungan yang mengubah fungsi sel beta, antara lain agen yang dapat menimbulkan infeksi, diet dimana pemasukan karbohidrat dan gula yang diproses secara berlebihan, obesitas dan kehamilan.<br />
3. Gangguan sistem imunitas. Sistem ini dapat dilakukan oleh autoimunitas yang disertai pembentukan sel – sel antibodi antipankreatik dan mengakibatkan kerusakan sel – sel penyekresi insulin, kemudian peningkatan kepekaan sel beta oleh virus.<br />
4. Kelainan insulin. Pada pasien obesitas, terjadi gangguan kepekaan jaringan terhadap insulin akibat kurangnya reseptor insulin yang terdapat pada membran sel yang responsir terhadap insulin.<br />
1. Gangren Kaki Diabetik<br />
Faktor – faktor yang berpengaruh atas terjadinya gangren kaki diabetik dibagi menjadi endogen dan faktor eksogen.<br />
Faktor endogen : a. Genetik, metabolik<br />
b. Angiopati diabetik<br />
c. Neuropati diabetik<br />
Faktor eksogen : a. Trauma<br />
b. Infeksi<br />
c. Obat<br />
4. Patofisiologis<br />
a. Diabetes Melitus<br />
Sebagian besar gambaran patologik dari DM dapat dihubungkan dengan salah satu efek utama akibat kurangnya insulin berikut:<br />
1. Berkurangnya pemakaian glukosa oleh sel – sel tubuh yang mengakibatkan naiknya konsentrasi glukosa darah setinggi 300 – 1200 mg/dl.<br />
2. Peningkatan mobilisasi lemak dari daerah penyimpanan lemak yang menyebabkan terjadinya metabolisme lemak yang abnormal disertai dengan endapan kolestrol pada dinding pembuluh darah.<br />
3. Berkurangnya protein dalam jaringan tubuh.<br />
Pasien – pasien yang mengalami defisiensi insulin tidak dapat mempertahankan kadar glukosa plasma puasa yang normal atau toleransi sesudah makan. Pada hiperglikemia yng parah yang melebihi ambang ginjal normal ( konsentrasi glukosa darah sebesar 160 – 180 mg/100 ml ), akan timbul glikosuria karena tubulus – tubulus renalis tidak dapat menyerap kembali semua glukosa. Glukosuria ini akan mengakibatkan diuresis osmotik yang menyebabkan poliuri disertai kehilangan sodium, klorida, potasium, dan pospat. Adanya poliuri menyebabkan dehidrasi dan timbul polidipsi. Akibat glukosa yang keluar bersama urine maka pasien akan mengalami keseimbangan protein negatif dan berat badan menurun serta cenderung terjadi polifagi. Akibat yang lain adalah astenia atau kekurangan energi sehingga pasien menjadi cepat telah dan mengantuk yang disebabkan oleh berkurangnya atau hilangnya protein tubuh dan juga berkurangnya penggunaan karbohidrat untuk energi.<br />
Hiperglikemia yang lama akan menyebabkan arterosklerosis, penebalan membran basalis dan perubahan pada saraf perifer. Ini akan memudahkan terjadinya gangren.<br />
b. Gangren Kaki Diabetik<br />
Ada dua teori utama mengenai terjadinya komplikasi kronik DM akibat hiperglikemia, yaitu teori sorbitol dan teori glikosilasi.<br />
1. Teori Sorbitol<br />
Hiperglikemia akan menyebabkan penumpukan kadar glukosa pada sel dan jaringan tertentu dan dapat mentransport glukosa tanpa insulin. Glukosa yang berlebihan ini tidak akan termetabolisasi habis secara normal melalui glikolisis, tetapi sebagian dengan perantaraan enzim aldose reduktase akan diubah menjadi sorbitol. Sorbitol akan tertumpuk dalam sel / jaringan tersebut dan menyebabkan kerusakan dan perubahan fungsi.<br />
2. Teori Glikosilasi<br />
Akibat hiperglikemia akan menyebabkan terjadinya glikosilasi pada semua protein, terutama yang mengandung senyawa lisin. Terjadinya proses glikosilasi pada protein membran basal dapat menjelaskan semua komplikasi baik makro maupun mikro vaskular.<br />
Terjadinya Kaki Diabetik (KD) sendiri disebabkan oleh faktor – faktor disebutkan dalam etiologi. Faktor utama yang berperan timbulnya KD adalah angiopati, neuropati dan infeksi. Neuropati merupakan faktor penting untuk terjadinya KD. Adanya neuropati perifer akan menyebabkan terjadinya gangguan sensorik maupun motorik. Gangguan sensorik akan menyebabkan hilang atau menurunnya sensasi nyeri pada kaki, sehingga akan mengalami trauma tanpa terasa yang mengakibatkan terjadinya ulkus pada kaki gangguan motorik juga akan mengakibatkan terjadinya atrofi otot kaki, sehingga merubah titik tumpu yang menyebabkan ulsetrasi pada kaki pasien. Angiopati akan menyebabkan terganggunya aliran darah ke kaki. Apabila sumbatan darah terjadi pada pembuluh darah yang lebih besar maka penderita akan merasa sakit tungkainya sesudah ia berjalan pada jarak tertentu. Manifestasi gangguan pembuluh darah yang lain dapat berupa : ujung kaki terasa dingin, nyeri kaki di malam hari, denyut arteri hilang, kaki menjadi pucat bila dinaikkan. Adanya angiopati tersebut akan menyebabkan terjadinya penurunan asupan nutrisi, oksigen (zat asam) serta antibiotika sehingga menyebabkan luka sulit sembuh (Levin,1993). Infeksi sering merupakan komplikasi yang menyertai KD akibat berkurangnya aliran darah atau neuropati, sehingga faktor angiopati dan infeksi berpengaruh terhdap penyembuhan atau pengobatan dari KD.<br />
5. Klasifikasi<br />
Wagner (1983) membagi gangren kaki diabetik menjadi enam tingkatan , yaitu :<br />
Derajat 0 : Tidak ada lesi terbuka, kulit masih utuh dengan kemungkinan<br />
disertai kelainan bentuk kaki seperti “ claw,callus “.<br />
Derajat I : Ulkus superfisial terbatas pada kulit.<br />
Derajat II : Ulkus dalam menembus tendon dan tulang.<br />
Derajat III : Abses dalam, dengan atau tanpa osteomielitis.<br />
Derajat IV : Gangren jari kaki atau bagian distal kaki dengan atau tanpa selulitis.<br />
Derajat V : Gangren seluruh kaki atau sebagian tungkai.<br />
Sedangkan Brand (1986) dan Ward (1987) membagi gangren kaki menjadi dua golongan :<br />
1. Kaki Diabetik akibat Iskemia ( KDI )<br />
Disebabkan penurunan aliran darah ke tungkai akibat adanya makroangiopati ( arterosklerosis ) dari pembuluh darah besar ditungkai, terutama di daerah betis.<br />
Gambaran klinis KDI :<br />
- Penderita mengeluh nyeri waktu istirahat.<br />
- Pada perabaan terasa dingin.<br />
- Pulsasi pembuluh darah kurang kuat.<br />
- Didapatkan ulkus sampai gangren.<br />
1. Kaki Diabetik akibat Neuropati ( KDN )<br />
Terjadi kerusakan syaraf somatik dan otonomik, tidak ada gangguan dari sirkulasi. Klinis di jumpai kaki yang kering, hangat, kesemutan, mati rasa, oedem kaki, dengan pulsasi pembuluh darah kaki teraba baik.<br />
6. Dampak masalah<br />
Adanya penyakit gangren kaki diabetik akan mempengaruhi kehidupan individu dan keluarga. Adapun dampak masalah yang bisa terjadi meliputi :<br />
1. Pada Individu<br />
Pola dan gaya hidup penderita akan berubah dengan adanya penyakit ini, Gordon telah mengembangkan 11 pola fungsi kesehatan yang dapat digunakan untuk mengetahui perubahan tersebut.<br />
1. Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat<br />
Pada pasien gangren kaki diabetik terjadi perubahan persepsi dan tata laksana hidup sehat karena kurangnya pengetahuan tentang dampak gangren kaki diabetuk sehingga menimbulkan persepsi yang negatif terhadap dirinya dan kecenderungan untuk tidak mematuhi prosedur pengobatan dan perawatan yang lama, oleh karena itu perlu adanya penjelasan yang benar dan mudah dimengerti pasien.<br />
1. Pola nutrisi dan metabolisme<br />
Akibat produksi insulin tidak adekuat atau adanya defisiensi insulin maka kadar gula darah tidak dapat dipertahankan sehingga menimbulkan keluhan sering kencing, banyak makan, banyak minum, berat badan menurun dan mudah lelah. Keadaan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya gangguan nutrisi dan metabolisme yang dapat mempengaruhi status kesehatan penderita.<br />
1. Pola eliminasi<br />
Adanya hiperglikemia menyebabkan terjadinya diuresis osmotik yang menyebabkan pasien sering kencing (poliuri) dan pengeluaran glukosa pada urine ( glukosuria ). Pada eliminasi alvi relatif tidak ada gangguan.<br />
1. Pola tidur dan istirahat<br />
Adanya poliuri, nyeri pada kaki yang luka dan situasi rumah sakit yang ramai akan mempengaruhi waktu tidur dan istirahat penderita, sehingga pola tidur dan waktu tidur penderita mengalami perubahan.<br />
1. Pola aktivitas dan latihan<br />
Adanya luka gangren dan kelemahan otot – otot pada tungkai bawah menyebabkan penderita tidak mampu melaksanakan aktivitas sehari-hari secara maksimal, penderita mudah mengalami kelelahan.<br />
1. Pola hubungan dan peran<br />
Luka gangren yang sukar sembuh dan berbau menyebabkan penderita malu dan menarik diri dari pergaulan.<br />
1. Pola sensori dan kognitif<br />
Pasien dengan gangren cenderung mengalami neuropati / mati rasa pada luka sehingga tidak peka terhadap adanya trauma.<br />
1. Pola persepsi dan konsep diri<br />
Adanya perubahan fungsi dan struktur tubuh akan menyebabkan penderita mengalami gangguan pada gambaran diri. Luka yang sukar sembuh, lamanya perawatan, banyaknya biaya perawatan dan pengobatan menyebabkan pasien mengalami kecemasan dan gangguan peran pada keluarga ( self esteem ).<br />
1. Pola seksual dan reproduksi<br />
Angiopati dapat terjadi pada sistem pembuluh darah di organ reproduksi sehingga menyebabkan gangguan potensi sek, gangguan kualitas maupun ereksi, serta memberi dampak pada proses ejakulasi serta orgasme.<br />
10. Pola mekanisme stres dan koping<br />
Lamanya waktu perawatan, perjalanan penyakit yang kronik, perasaan tidak berdaya karena ketergantungan menyebabkan reaksi psikologis yang negatif berupa marah, kecemasan, mudah tersinggung dan lain – lain, dapat menyebabkan penderita tidak mampu menggunakan mekanisme koping yang konstruktif / adaptif.<br />
11. Pola tata nilai dan kepercayaan<br />
Adanya perubahan status kesehatan dan penurunan fungsi tubuh serta luka pada kaki tidak menghambat penderita dalam melaksanakan ibadah tetapi mempengaruhi pola ibadah penderita.<br />
1. Dampak pada keluarga<br />
Dengan adanya salah satu anggota keluarga yang sakit dan dirawat di rumah sakit akan muncul bermacam –macam reaksi psikologis dari kelurga, karena masalah kesehatan yang dialami oleh seorang anggota keluarga akan mempengaruhi seluruh anggota keluarga. Waktu perawatan yang lama dan biaya yang banyak akan mempengaruhi keadaan ekonomi keluarga dan perubahan peran pada keluarga karena salah satu anggota keluarga tidak dapat menjalankan perannya.<br />
ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DM<br />
Dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien gangren kaki diabetik hendaknya dilakukan secara komperhensif dengan menggunakan proses keperawatan.<br />
Proses keperawatan adalah suatu metode sistematik untuk mengkaji respon manusia terhadap masalah-masalah dan membuat rencana keperawatan yang bertujuan untuk mengatasi masalah – masalah tersebut. Masalah-masalah kesehatan dapat berhubungan dengan klien keluarga juga orang terdekat atau masyarakat. Proses keperawatan mendokumentasikan kontribusi perawat dalam mengurangi / mengatasi masalah-masalah kesehatan.<br />
Proses keperawatan terdiri dari lima tahapan, yaitu : pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.<br />
1. Pengkajian<br />
Pengkajian merupakan langkah utama dan dasar utama dari proses keperawatan yang mempunyai dua kegiatan pokok, yaitu :<br />
1. Pengumpulan data<br />
Pengumpulan data yang akurat dan sistematis akan membantu dalam menentukan status kesehatan dan pola pertahanan penderita , mengidentifikasikan, kekuatan dan kebutuhan penderita yang dapt diperoleh melalui anamnese, pemeriksaan fisik, pemerikasaan laboratorium serta pemeriksaan penunjang lainnya.<br />
1. Anamnese <br />
1. Identitas penderita<br />
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan, alamat, status perkawinan, suku bangsa, nomor register, tanggal masuk rumah sakit dan diagnosa medis.<br />
1. Keluhan Utama<br />
Adanya rasa kesemutan pada kaki / tungkai bawah, rasa raba yang menurun, adanya luka yang tidak sembuh – sembuh dan berbau, adanya nyeri pada luka.<br />
1. Riwayat kesehatan sekarang<br />
Berisi tentang kapan terjadinya luka, penyebab terjadinya luka serta upaya yang telah dilakukan oleh penderita untuk mengatasinya.<br />
1. Riwayat kesehatan dahulu<br />
Adanya riwayat penyakit DM atau penyakit – penyakit lain yang ada kaitannya dengan defisiensi insulin misalnya penyakit pankreas. Adanya riwayat penyakit jantung, obesitas, maupun arterosklerosis, tindakan medis yang pernah di dapat maupun obat-obatan yang biasa digunakan oleh penderita.<br />
1. Riwayat kesehatan keluarga<br />
Dari genogram keluarga biasanya terdapat salah satu anggota keluarga yang juga menderita DM atau penyakit keturunan yang dapat menyebabkan terjadinya defisiensi insulin misal hipertensi, jantung.<br />
1. Riwayat psikososial<br />
Meliputi informasi mengenai prilaku, perasaan dan emosi yang dialami penderita sehubungan dengan penyakitnya serta tanggapan keluarga terhadap penyakit penderita.<br />
1. Pemeriksaan fisik <br />
1. Status kesehatan umum<br />
Meliputi keadaan penderita, kesadaran, suara bicara, tinggi badan, berat badan dan tanda – tanda vital.<br />
1. Kepala dan leher<br />
Kaji bentuk kepala, keadaan rambut, adakah pembesaran pada leher, telinga kadang-kadang berdenging, adakah gangguan pendengaran, lidah sering terasa tebal, ludah menjadi lebih kental, gigi mudah goyah, gusi mudah bengkak dan berdarah, apakah penglihatan kabur / ganda, diplopia, lensa mata keruh.<br />
1. Sistem integumen<br />
Turgor kulit menurun, adanya luka atau warna kehitaman bekas luka, kelembaban dan shu kulit di daerah sekitar ulkus dan gangren, kemerahan pada kulit sekitar luka, tekstur rambut dan kuku.<br />
1. Sistem pernafasan<br />
Adakah sesak nafas, batuk, sputum, nyeri dada. Pada penderita DM mudah terjadi infeksi.<br />
1. Sistem kardiovaskuler<br />
Perfusi jaringan menurun, nadi perifer lemah atau berkurang, takikardi/bradikardi, hipertensi/ hipotensi, aritmia, kardiomegalis.<br />
1. Sistem gastrointestinal<br />
Terdapat polifagi, polidipsi, mual, muntah, diare, konstipasi, dehidrase, perubahan berat badan, peningkatan lingkar abdomen, obesitas.<br />
1. Sistem urinary<br />
Poliuri, retensio urine, inkontinensia urine, rasa panas atau sakit saat berkemih.<br />
1. Sistem muskuloskeletal<br />
Penyebaran lemak, penyebaran masa otot, perubahn tinggi badan, cepat lelah, lemah dan nyeri, adanya gangren di ekstrimitas.<br />
1. Sistem neurologis<br />
Terjadi penurunan sensoris, parasthesia, anastesia, letargi, mengantuk, reflek lambat, kacau mental, disorientasi.<br />
1. Pemeriksaan laboratorium<br />
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah :<br />
1. Pemeriksaan darah<br />
Pemeriksaan darah meliputi : GDS > 200 mg/dl, gula darah puasa >120 mg/dl dan dua jam post prandial > 200 mg/dl.<br />
1. Urine<br />
Pemeriksaan didapatkan adanya glukosa dalam urine. Pemeriksaan dilakukan dengan cara Benedict ( reduksi ). Hasil dapat dilihat melalui perubahan warna pada urine : hijau ( + ), kuning ( ++ ), merah ( +++ ), dan merah bata ( ++++ ).<br />
1. Kultur pus<br />
Mengetahui jenis kuman pada luka dan memberikan antibiotik yang sesuai dengan jenis kuman.<br />
1. Analisa Data<br />
Data yang sudah terkumpul selanjutnya dikelompokan dan dilakukan analisa serta sintesa data. Dalam mengelompokan data dibedakan atas data subyektif dan data obyektif dan berpedoman pada teori Abraham Maslow yang terdiri dari :<br />
1. Kebutuhan dasar atau fisiologis<br />
2. Kebutuhan rasa aman<br />
3. Kebutuhan cinta dan kasih sayang<br />
4. Kebutuhan harga diri<br />
5. Kebutuhan aktualisasi diri<br />
Data yang telah dikelompokkan tadi di analisa sehingga dapat diambil kesimpulan tentang masalah keperawatan dan kemungkinan penyebab, yang dapat dirumuskan dalam bentuk diagnosa keperawatan meliputi aktual, potensial, dan kemungkinan.<br />
1. Diagnosa keperawatan<br />
Diagnosa keperawatan adalah penilaian klinis tentang respon individu, keluarga atau komunitas terhadap proses kehidupan/ masalah kesehatan. Aktual atau potensial dan kemungkinan dan membutuhkan tindakan keperawatan untuk memecahkan masalah tersebut.<br />
Adapun diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien gangren kaki diabetik adalah sebagai berikut :<br />
1. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan melemahnya / menurunnya aliran darah ke daerah gangren akibat adanya obstruksi pembuluh darah.<br />
2. Gangguan integritas jaringan berhubungan dengan adanya gangren pada ekstrimitas.<br />
3. Gangguan rasa nyaman ( nyeri ) berhubungan dengan iskemik jaringan.<br />
4. Keterbatasan mobilitas fisik berhubungan dengan rasa nyeri pada luka.<br />
5. Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake makanan yang kurang.<br />
6. Potensial terjadinya penyebaran infeksi ( sepsis ) berhubungan dengan tingginya kadar gula darah.<br />
7. Cemas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang penyakitnya.<br />
8. Kurangnya pengetahuan tentang proses penyakit, diet, perawatan dan pengobatan berhubungan dengan kurangnya informasi.<br />
9. Gangguan gambaran diri berhubungan dengan perubahan bentuk salah satu anggota tubuh.<br />
10. Ganguan pola tidur berhubungan dengan rasa nyeri pada luka di kaki.<br />
1. Perencanaan<br />
Setelah merumuskan diagnosa keperawatan, maka intervensi dan aktivitas keperawatan perlu ditetapkan untuk mengurangi, menghilangkan, dan mencegah masalah keperawatan penderita. Tahapan ini disebut perencanaan keperawatan yang meliputi penentuan prioritas, diagnosa keperawatan, menetapkan sasaran dan tujuan, menetapkan kriteria evaluasi dan merumuskan intervensi dan aktivitas keperawatan.<br />
1. Diagnosa no. 1<br />
Gangguan perfusi berhubungan dengan melemahnya/menurunnya aliran darah ke daerah gangren akibat adanya obstruksi pembuluh darah.<br />
Tujuan : mempertahankan sirkulasi perifer tetap normal.<br />
Kriteria Hasil : – Denyut nadi perifer teraba kuat dan reguler<br />
- Warna kulit sekitar luka tidak pucat/sianosis<br />
- Kulit sekitar luka teraba hangat.<br />
- Oedema tidak terjadi dan luka tidak bertambah parah.<br />
- Sensorik dan motorik membaik<br />
Rencana tindakan :<br />
1. Ajarkan pasien untuk melakukan mobilisasi<br />
Rasional : dengan mobilisasi meningkatkan sirkulasi darah.<br />
1. Ajarkan tentang faktor-faktor yang dapat meningkatkan aliran darah :<br />
Tinggikan kaki sedikit lebih rendah dari jantung ( posisi elevasi pada waktu istirahat ), hindari penyilangkan kaki, hindari balutan ketat, hindari penggunaan bantal, di belakang lutut dan sebagainya.<br />
Rasional : meningkatkan melancarkan aliran darah balik sehingga tidak terjadi oedema.<br />
1. Ajarkan tentang modifikasi faktor-faktor resiko berupa :<br />
Hindari diet tinggi kolestrol, teknik relaksasi, menghentikan kebiasaan merokok, dan penggunaan obat vasokontriksi.<br />
Rasional : kolestrol tinggi dapat mempercepat terjadinya arterosklerosis, merokok dapat menyebabkan terjadinya vasokontriksi pembuluh darah, relaksasi untuk mengurangi efek dari stres.<br />
1. Kerja sama dengan tim kesehatan lain dalam pemberian vasodilator, pemeriksaan gula darah secara rutin dan terapi oksigen ( HBO ).<br />
Rasional : pemberian vasodilator akan meningkatkan dilatasi pembuluh darah sehingga perfusi jaringan dapat diperbaiki, sedangkan pemeriksaan gula darah secara rutin dapat mengetahui perkembangan dan keadaan pasien, HBO untuk memperbaiki oksigenasi daerah ulkus/gangren.<br />
1. Diagnosa no. 2<br />
Ganguan integritas jaringan berhubungan dengan adanya gangren pada ekstrimitas.<br />
Tujuan : Tercapainya proses penyembuhan luka.<br />
Kriteria hasil : 1.Berkurangnya oedema sekitar luka.<br />
2. pus dan jaringan berkurang<br />
3. Adanya jaringan granulasi.<br />
4. Bau busuk luka berkurang.<br />
Rencana tindakan :<br />
1. Kaji luas dan keadaan luka serta proses penyembuhan.<br />
Rasional : Pengkajian yang tepat terhadap luka dan proses penyembuhan akan membantu dalam menentukan tindakan selanjutnya.<br />
1. Rawat luka dengan baik dan benar : membersihkan luka secara abseptik menggunakan larutan yang tidak iritatif, angkat sisa balutan yang menempel pada luka dan nekrotomi jaringan yang mati.<br />
Rasional : merawat luka dengan teknik aseptik, dapat menjaga kontaminasi luka dan larutan yang iritatif akan merusak jaringan granulasi tyang timbul, sisa balutan jaringan nekrosis dapat menghambat proses granulasi.<br />
1. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian insulin, pemeriksaan kultur pus pemeriksaan gula darah pemberian anti biotik.<br />
Rasional : insulin akan menurunkan kadar gula darah, pemeriksaan kultur pus untuk mengetahui jenis kuman dan anti biotik yang tepat untuk pengobatan, pemeriksaan kadar gula darahuntuk mengetahui perkembangan penyakit.<br />
1. Diagnosa no. 3<br />
Ganguan rasa nyaman ( nyeri ) berhubungan dengan iskemik jaringan.<br />
Tujuan : rasa nyeri hilang/berkurang<br />
Kriteria hasil : 1.Penderita secara verbal mengatakan nyeri berkurang/hilang .<br />
2. Penderita dapat melakukan metode atau tindakan untuk mengatasi atau mengurangi nyeri .<br />
3. Pergerakan penderita bertambah luas.<br />
4. Tidak ada keringat dingin, tanda vital dalam batas normal.( S : 36 – 37,5 0C, N: 60 – 80 x /menit, T : 100 – 130 mmHg, RR : 18 – 20 x /menit ).<br />
Rencana tindakan :<br />
1. Kaji tingkat, frekuensi, dan reaksi nyeri yang dialami pasien.<br />
Rasional : untuk mengetahui berapa berat nyeri yang dialami pasien.<br />
1. Jelaskan pada pasien tentang sebab-sebab timbulnya nyeri.<br />
Rasional : pemahaman pasien tentang penyebab nyeri yang terjadi akan mengurangi ketegangan pasien dan memudahkan pasien untuk diajak bekerjasama dalam melakukan tindakan.<br />
1. Ciptakan lingkungan yang tenang.<br />
Rasional : Rangasanga yang berlebihan dari lingkungan akan memperberat rasa nyeri.<br />
1. Ajarkan teknik distraksi dan relaksasi.<br />
Rasional : Teknik distraksi dan relaksasi dapat mengurangi rasa nyeri yang dirasakan pasien.<br />
1. Atur posisi pasien senyaman mungkin sesuai keinginan pasien.<br />
Rasional : Posisi yang nyaman akan membantu memberikan kesempatan pada otot untuk relaksasi seoptimal mungkin.<br />
1. Lakukan massage dan kompres luka dengan BWC saat rawat luka.<br />
Rasional : massage dapat meningkatkan vaskulerisasi dan pengeluaran pus sedangkan BWC sebagai desinfektan yang dapat memberikan rasa nyaman.<br />
1. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian analgesik.<br />
Rasional : Obat –obat analgesik dapat membantu mengurangi nyeri pasien.<br />
1. Diagnosa no. 4<br />
Keterbatasan mobilitas fisik berhubungan dengan rasa nyeri pada luka di kaki.<br />
Tujuan : Pasien dapat mencapai tingkat kemampuan aktivitas yang optimal.<br />
Kriteria Hasil : 1. Pergerakan paien bertambah luas<br />
2. Pasien dapat melaksanakan aktivitas sesuai dengan kemampuan ( duduk, berdiri, berjalan ).<br />
3. Rasa nyeri berkurang.<br />
4. Pasien dapat memenuhi kebutuhan sendiri secara bertahap sesuai dengan kemampuan.<br />
Rencana tindakan :<br />
1. Kaji dan identifikasi tingkat kekuatan otot pada kaki pasien.<br />
Rasional : Untuk mengetahui derajat kekuatan otot-otot kaki pasien.<br />
1. Beri penjelasan tentang pentingnya melakukan aktivitas untuk menjaga kadar gula darah dalam keadaan normal.<br />
Rasional : Pasien mengerti pentingnya aktivitas sehingga dapat kooperatif dalam tindakan keperawatan.<br />
1. Anjurkan pasien untuk menggerakkan/mengangkat ekstrimitas bawah sesui kemampuan.<br />
Rasional : Untuk melatih otot – otot kaki sehingg berfungsi dengan baik.<br />
1. Bantu pasien dalam memenuhi kebutuhannya.<br />
Rasional : Agar kebutuhan pasien tetap dapat terpenuhi.<br />
1. Kerja sama dengan tim kesehatan lain : dokter ( pemberian analgesik ) dan tenaga fisioterapi.<br />
Rasional : Analgesik dapat membantu mengurangi rasa nyeri, fisioterapi untuk melatih pasien melakukan aktivitas secara bertahap dan benar.<br />
1. Diagnosa no. 5<br />
Gangguan pemenuhan nutrisi ( kurang dari ) kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake makanan yang kurang.<br />
Tujuan : Kebutuhan nutrisi dapat terpenuhi<br />
Kriteria hasil : 1. Berat badan dan tinggi badan ideal.<br />
2. Pasien mematuhi dietnya.<br />
3. Kadar gula darah dalam batas normal.<br />
4. Tidak ada tanda-tanda hiperglikemia/hipoglikemia.<br />
Rencana Tindakan :<br />
1. Kaji status nutrisi dan kebiasaan makan.<br />
Rasional : Untuk mengetahui tentang keadaan dan kebutuhan nutrisi pasien sehingga dapat diberikan tindakan dan pengaturan diet yang adekuat.<br />
1. Anjurkan pasien untuk mematuhi diet yang telah diprogramkan.<br />
Rasional : Kepatuhan terhadap diet dapat mencegah komplikasi terjadinya hipoglikemia/hiperglikemia.<br />
1. Timbang berat badan setiap seminggu sekali.<br />
Rasional : Mengetahui perkembangan berat badan pasien ( berat badan merupakan salah satu indikasi untuk menentukan diet ).<br />
1. Identifikasi perubahan pola makan.<br />
Rasional : Mengetahui apakah pasien telah melaksanakan program diet yang ditetapkan.<br />
1. Kerja sama dengan tim kesehatan lain untuk pemberian insulin dan diet diabetik.<br />
Rasional : Pemberian insulin akan meningkatkan pemasukan glukosa ke dalam jaringan sehingga gula darah menurun,pemberian diet yang sesuai dapat mempercepat penurunan gula darah dan mencegah komplikasi.<br />
1. Diagnosa no. 6<br />
Potensial terjadinya penyebaran infeksi ( sepsis) berhubungan dengan tinggi kadar gula darah.<br />
Tujuan : Tidak terjadi penyebaran infeksi (sepsis).<br />
Kriteria Hasil : 1. Tanda-tanda infeksi tidak ada.<br />
2. Tanda-tanda vital dalam batas normal ( S : 36 – 37,5 0C )<br />
3. Keadaan luka baik dan kadar gula darah normal.<br />
Rencana tindakan :<br />
1. Kaji adanya tanda-tanda penyebaran infeksi pada luka.<br />
Rasional : Pengkajian yang tepat tentang tanda-tanda penyebaran infeksi dapat membantu menentukan tindakan selanjutnya.<br />
1. Anjurkan kepada pasien dan keluarga untuk selalu menjaga kebersihan diri selama perawatan.<br />
Rasional : Kebersihan diri yang baik merupakan salah satu cara untuk mencegah infeksi kuman.<br />
1. Lakukan perawatan luka secara aseptik.<br />
Rasional : untuk mencegah kontaminasi luka dan penyebaran infeksi.<br />
1. Anjurkan pada pasien agar menaati diet, latihan fisik, pengobatan yang ditetapkan.<br />
Rasional : Diet yang tepat, latihan fisik yang cukup dapat meningkatkan daya tahan tubuh, pengobatan yang tepat, mempercepat penyembuhan sehingga memperkecil kemungkinan terjadi penyebaran infeksi.<br />
1. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian antibiotika dan insulin.<br />
Rasional : Antibiotika dapat menbunuh kuman, pemberian insulin akan menurunkan kadar gula dalam darah sehingga proses penyembuhan.<br />
1. Diagnosa no. 7<br />
Cemas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang penyakitnya.<br />
Tujuan : rasa cemas berkurang/hilang.<br />
Kriteria Hasil : 1. Pasien dapat mengidentifikasikan sebab kecemasan.<br />
2. Emosi stabil., pasien tenang.<br />
3. Istirahat cukup.<br />
Rencana tindakan :<br />
1. Kaji tingkat kecemasan yang dialami oleh pasien.<br />
Rasional : Untuk menentukan tingkat kecemasan yang dialami pasien sehingga perawat bisa memberikan intervensi yang cepat dan tepat.<br />
1. Beri kesempatan pada pasien untuk mengungkapkan rasa cemasnya.<br />
Rasional : Dapat meringankan beban pikiran pasien.<br />
1. Gunakan komunikasi terapeutik.<br />
Rasional : Agar terbina rasa saling percaya antar perawat-pasien sehingga pasien kooperatif dalam tindakan keperawatan.<br />
1. Beri informasi yang akurat tentang proses penyakit dan anjurkan pasien untuk ikut serta dalam tindakan keperawatan.<br />
Rasional : Informasi yang akurat tentang penyakitnya dan keikutsertaan pasien dalam melakukan tindakan dapat mengurangi beban pikiran pasien.<br />
1. Berikan keyakinan pada pasien bahwa perawat, dokter, dan tim kesehatan lain selalu berusaha memberikan pertolongan yang terbaik dan seoptimal mungkin.<br />
Rasional : Sikap positif dari timkesehatan akan membantu menurunkan kecemasan yang dirasakan pasien.<br />
1. Berikan kesempatan pada keluarga untuk mendampingi pasien secara bergantian.<br />
Rasional : Pasien akan merasa lebih tenang bila ada anggota keluarga yang menunggu.<br />
1. Ciptakan lingkungan yang tenang dan nyaman.<br />
Rasional : lingkung yang tenang dan nyaman dapat membantu mengurangi rasa cemas pasien.<br />
1. Diagnosa no. 8<br />
Kurangnya pengetahuan tentang proses penyakit, diet, perawatan, dan pengobatan berhubungan dengan kurangnya informasi.<br />
Tujuan : Pasien memperoleh informasi yang jelas dan benar tentang penyakitnya.<br />
Kriteria Hasil : 1. Pasien mengetahui tentang proses penyakit, diet, perawatan dan pengobatannya dan dapat menjelaskan kembali bila ditanya.<br />
2. Pasien dapat melakukan perawatan diri sendiri berdasarkan pengetahuan yang diperoleh.<br />
Rencana Tindakan :<br />
1. Kaji tingkat pengetahuan pasien/keluarga tentang penyakit DM dan gangren.<br />
Rasional : Untuk memberikan informasi pada pasien/keluarga, perawat perlu mengetahui sejauh mana informasi atau pengetahuan yang diketahui pasien/keluarga.<br />
1. Kaji latar belakang pendidikan pasien.<br />
Rasional : Agar perawat dapat memberikan penjelasan dengan menggunakan kata-kata dan kalimat yang dapat dimengerti pasien sesuai tingkat pendidikan pasien.<br />
1. Jelaskan tentang proses penyakit, diet, perawatan dan pengobatan pada pasien dengan bahasa dan kata-kata yang mudah dimengerti.<br />
Rasional : Agar informasi dapat diterima dengan mudah dan tepat sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman.<br />
1. Jelasakan prosedur yang kan dilakukan, manfaatnya bagi pasien dan libatkan pasien didalamnya.<br />
Rasional : Dengan penjelasdan yang ada dan ikut secra langsung dalam tindakan yang dilakukan, pasien akan lebih kooperatif dan cemasnya berkurang.<br />
1. Gunakan gambar-gambar dalam memberikan penjelasan ( jika ada / memungkinkan).<br />
Rasional : gambar-gambar dapat membantu mengingat penjelasan yang telah diberikan.<br />
1. Diagnosa no. 9<br />
Gangguan gambaran diri berhubungan dengan perubahan bentuk salah satu anggota tubuh.<br />
Tujuan : Pasien dapat menerima perubahan bentuk salah satu anggota tubuhnya secar positif.<br />
Kriteria Hasil : - Pasien mau berinteraksi dan beradaptasi dengan lingkungan. Tanpa rasa malu dan rendah diri.<br />
- Pasien yakin akan kemampuan yang dimiliki.<br />
Rencana tindakan :<br />
1. Kaji perasaan/persepsi pasien tentang perubahan gambaran diri berhubungan dengan keadaan anggota tubuhnya yang kurang berfungsi secara normal.<br />
Rasional : Mengetahui adanya rasa negatif pasien terhadap dirinya.<br />
1. Lakukan pendekatan dan bina hubungan saling percaya dengan pasien.<br />
Rasional : Memudahkan dalm menggali permasalahan pasien.<br />
1. Tunjukkan rasa empati, perhatian dan penerimaan pada pasien.<br />
Rasional : Pasien akan merasa dirinya di hargai.<br />
1. Bantu pasien untuk mengadakan hubungan dengan orang lain.<br />
Rasional : dapat meningkatkan kemampuan dalam mengadakan hubungan dengan orang lain dan menghilangkan perasaan terisolasi.<br />
1. Beri kesempatan kepada pasien untuk mengekspresikan perasaan kehilangan.<br />
Rasional : Untuk mendapatkan dukungan dalam proses berkabung yang normal.<br />
1. Beri dorongan pasien untuk berpartisipasi dalam perawatan diri dan hargai pemecahan masalah yang konstruktif dari pasien.<br />
Rasional : Untuk meningkatkan perilaku yang adiktif dari pasien.<br />
1. Diagnosa no.10<br />
Gangguan pola tidur berhubungan dengan rasa nyeri pada luka di kaki.<br />
Tujuan : Gangguan pola tidur pasien akan teratasi.<br />
Kriteria hasil : 1. Pasien mudah tidur dalam waktu 30 – 40 menit.<br />
2. Pasien tenang dan wajah segar.<br />
3. Pasien mengungkapkan dapat beristirahat dengan cukup.<br />
Rencana tindakan :<br />
1. Ciptakan lingkungan yang nyaman dan tenang.<br />
Rasional : Lingkungan yang nyaman dapat membantu meningkatkan tidur/istirahat.<br />
1. Kaji tentang kebiasaan tidur pasien di rumah.<br />
Rasional : mengetahui perubahan dari hal-hal yang merupakan kebiasaan pasien ketika tidur akan mempengaruhi pola tidur pasien.<br />
1. Kaji adanya faktor penyebab gangguan pola tidur yang lain seperti cemas, efek obat-obatan dan suasana ramai.<br />
Rasional : Mengetahui faktor penyebab gangguan pola tidur yang lain dialami dan dirasakan pasien.<br />
1. Anjurkan pasien untuk menggunakan pengantar tidur dan teknik relaksasi .<br />
Rasional : Pengantar tidur akan memudahkan pasien dalam jatuh dalam tidur, teknik relaksasi akan mengurangi ketegangan dan rasa nyeri.<br />
1. Kaji tanda-tanda kurangnya pemenuhan kebutuhan tidur pasien.<br />
Rasional : Untuk mengetahui terpenuhi atau tidaknya kebutuhan tidur pasien akibat gangguan pola tidur sehingga dapat diambil tindakan yang tepat.<br />
1. Pelaksanaan<br />
Pelaksanaan adalah tahap pelaksananan terhadap rencana tindakan keperawatan yang telah ditetapkan untuk perawat bersama pasien. Implementasi dilaksanakan sesuai dengan rencana setelah dilakukan validasi, disamping itu juga dibutuhkan ketrampilan interpersonal, intelektual, teknikal yang dilakukan dengan cermat dan efisien pada situasi yang tepat dengan selalu memperhatikan keamanan fisik dan psikologis. Setelah selesai implementasi, dilakukan dokumentasi yang meliputi intervensi yang sudah dilakukan dan bagaimana respon pasien.<br />
5. Evaluasi<br />
Evaluasi merupakan tahap terakhir dari proses keperawatan. Kegiatan evaluasi ini adalah membandingkan hasil yang telah dicapai setelah implementasi keperawatan dengan tujuan yang diharapkan dalam perencanaan.<br />
Perawat mempunyai tiga alternatif dalam menentukan sejauh mana tujuan tercapai:<br />
1. Berhasil : prilaku pasien sesuai pernyatan tujuan dalam waktu atau tanggal yang ditetapkan di tujuan.<br />
2. Tercapai sebagian : pasien menunujukan prilaku tetapi tidak sebaik yang ditentukan dalam pernyataan tujuan.<br />
3. Belum tercapai. : pasien tidak mampu sama sekali menunjukkan prilaku yang diharapakan sesuai dengan pernyataan tujuan.Puspo Widianotohttp://www.blogger.com/profile/18352577488779133633noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4942725209072240234.post-62578345725513496852011-02-21T18:28:00.000-08:002011-02-21T18:28:06.110-08:00LP AIDSAIDS <br />
Pengertian <br />
• AIDS atauAcquired Immune Deficiency Sindrome merupakan kumpulan gejala penyakit akibat menurunnya system kekebalan tubuh oleh vurus yang disebut HIV. Dalam bahasa Indonesia dapat dialih katakana sebagai Sindrome Cacat Kekebalan Tubuh Dapatan.<br />
Acquired : Didapat, Bukan penyakit keturunan<br />
Immune : Sistem kekebalan tubuh<br />
Deficiency : Kekurangan<br />
Syndrome : Kumpulan gejala-gejala penyakit<br />
• Kerusakan progrwsif pada system kekebalan tubuh menyebabkan ODHA ( orang dengan HIV /AIDS ) amat rentan dan mudah terjangkit bermacam-macam penyakit. Serangan penyakit yang biasanya tidak berbahaya pun lama-kelamaan akan menyebabkan pasien sakit parah bahkan meninggal.<br />
• AIDS adalah sekumpulan gejala yang menunjukkan kelemahan atau kerusakan daya tahan tubuh yang diakibatkan oleh factor luar ( bukan dibawa sejak lahir )<br />
• AIDS diartikan sebagai bentuk paling erat dari keadaan sakit terus menerus yang berkaitan dengan infeksi Human Immunodefciency Virus ( HIV ). ( Suzane C. Smetzler dan Brenda G.Bare )<br />
• AIDS diartikan sebagai bentuk paling hebat dari infeksi HIV, mulai dari kelainan ringan dalam respon imun tanpa tanda dan gejala yang nyata hingga keadaan imunosupresi dan berkaitan dengan pelbagi infeksi yang dapat membawa kematian dan dengan kelainan malignitas yang jarang terjadi ( Center for Disease Control and Prevention )<br />
2. Etiologi<br />
AIDS disebabkan oleh virus yang mempunyai beberapa nama yaitu HTL II, LAV, RAV. Yang nama ilmiahnya disebut Human Immunodeficiency Virus ( HIV ) yang berupa agen viral yang dikenal dengan retrovirus yang ditularkan oleh darah dan punya afinitas yang kuat terhadap limfosit T.<br />
3. Patofisiologi<br />
Sel T dan makrofag serta sel dendritik / langerhans ( sel imun ) adalah sel-sel yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus ( HIV ) dan terkonsentrasi dikelenjar limfe, limpa dan sumsum tulang. Human Immunodeficiency Virus ( HIV ) menginfeksi sel lewat pengikatan dengan protein perifer CD 4, dengan bagian virus yang bersesuaian yaitu antigen grup 120. Pada saat sel T4 terinfeksi dan ikut dalam respon imun, maka Human Immunodeficiency Virus ( HIV ) menginfeksi sel lain dengan meningkatkan reproduksi dan banyaknya kematian sel T 4 yang juga dipengaruhi respon imun sel killer penjamu, dalam usaha mengeliminasi virus dan sel yang terinfeksi.<br />
Dengan menurunya jumlah sel T4, maka system imun seluler makin lemah secara progresif. Diikuti berkurangnya fungsi sel B dan makrofag dan menurunnya fungsi sel T penolong. <br />
Seseorang yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV ) dapat tetap tidak memperlihatkan gejala (asimptomatik) selama bertahun-tahun. Selama waktu ini, jumlah sel T4 dapat berkurang dari sekitar 1000 sel perml darah sebelum infeksi mencapai sekitar 200-300 per ml darah, 2-3 tahun setelah infeksi.<br />
Sewaktu sel T4 mencapai kadar ini, gejala-gejala infeksi ( herpes zoster dan jamur oportunistik ) muncul, Jumlah T4 kemudian menurun akibat timbulnya penyakit baru akan menyebabkan virus berproliferasi. Akhirnya terjadi infeksi yang parah. Seorang didiagnosis mengidap AIDS apabila jumlah sel T4 jatuh dibawah 200 sel per ml darah, atau apabila terjadi infeksi opurtunistik, kanker atau dimensia AIDS.<br />
4. Klasifikasi<br />
Sejak 1 januari 1993, orang-orang dengan keadaan yang merupakan indicator AIDS (kategori C) dan orang yang termasuk didalam kategori A3 atau B3 dianggap menderita AIDS.<br />
a. Kategori Klinis A<br />
Mencakup satu atau lebih keadaan ini pada dewasa/remaja dengan infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang sudah dapat dipastikan tanpa keadaan dalam kategori klinis B dan C<br />
1. Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang simptomatik.<br />
2. Limpanodenopati generalisata yang persisten ( PGI : Persistent Generalized Limpanodenophaty )<br />
3. Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV ) primer akut dengan sakit yang menyertai atau riwayat infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang akut.<br />
b. Kategori Klinis B<br />
Contoh-contoh keadaan dalam kategori klinis B mencakup :<br />
1. Angiomatosis Baksilaris<br />
2. Kandidiasis Orofaring/ Vulvavaginal (peristen,frekuen / responnya jelek terhadap terapi<br />
3. Displasia Serviks ( sedang / berat karsinoma serviks in situ )<br />
4. Gejala konstitusional seperti panas ( 38,5o C ) atau diare lebih dari 1 bulan.<br />
5. Leukoplakial yang berambut<br />
6. Herpes Zoster yang meliputi 2 kejadian yang bebeda / terjadi pada lebih dari satu dermaton saraf.<br />
7. Idiopatik Trombositopenik Purpura<br />
8. Penyakit inflamasi pelvis, khusus dengan abses Tubo Varii<br />
c. Kategori Klinis C<br />
Contoh keadaan dalam kategori pada dewasa dan remaja mencakup :<br />
1. Kandidiasis bronkus,trakea / paru-paru, esophagus<br />
2. Kanker serviks inpasif<br />
3. Koksidiomikosis ekstrapulmoner / diseminata<br />
4. Kriptokokosis ekstrapulmoner<br />
5. Kriptosporidosis internal kronis<br />
6. Cytomegalovirus ( bukan hati,lien, atau kelenjar limfe )<br />
7. Refinitis Cytomegalovirus ( gangguan penglihatan )<br />
8. Enselopathy berhubungan dengan Human Immunodeficiency Virus (HIV) <br />
9. Herpes simpleks (ulkus kronis,bronchitis,pneumonitis / esofagitis )<br />
10. Histoplamosis diseminata / ekstrapulmoner )<br />
11. Isoproasis intestinal yang kronis<br />
12. Sarkoma Kaposi<br />
13. Limpoma Burkit , Imunoblastik, dan limfoma primer otak<br />
14. Kompleks mycobacterium avium ( M.kansasi yang diseminata / ekstrapulmoner<br />
15. M.Tubercolusis pada tiap lokasi (pulmoner / ekstrapulmoner )<br />
16. Mycobacterium, spesies lain,diseminata / ekstrapulmoner<br />
17. Pneumonia Pneumocystic Cranii<br />
18. Pneumonia Rekuren<br />
19. Leukoenselophaty multifokal progresiva<br />
20. Septikemia salmonella yang rekuren<br />
21. Toksoplamosis otak<br />
22. Sindrom pelisutan akibat Human Immunodeficiency Virus ( HIV) <br />
5. Gejala Dan Tanda<br />
Pasien AIDS secara khas punya riwayat gejala dan tanda penyakit. Pada infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) primer akut yang lamanya 1 – 2 minggu pasien akan merasakan sakit seperti flu. Dan disaat fase supresi imun simptomatik (3 tahun) pasien akan mengalami demam, keringat dimalam hari, penurunan berat badan, diare, neuropati, keletihan ruam kulit, limpanodenopathy, pertambahan kognitif, dan lesi oral.<br />
Dan disaat fase infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) menjadi AIDS (bevariasi 1-5 tahun dari pertama penentuan kondisi AIDS) akan terdapat gejala infeksi opurtunistik, yang paling umum adalah Pneumocystic Carinii (PCC), Pneumonia interstisial yang disebabkan suatu protozoa, infeksi lain termasuk menibgitis, kandidiasis, cytomegalovirus, mikrobakterial, atipikal<br />
a. infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) <br />
Acut gejala tidak khas dan mirip tanda dan gejala penyakit biasa seperti demam berkeringat, lesu mengantuk, nyeri sendi, sakit kepala, diare, sakit leher, radang kelenjar getah bening, dan bercak merah ditubuh.<br />
b. Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) tanpa gejala<br />
Diketahui oleh pemeriksa kadar Human Immunodeficiency Virus (HIV) dalam darah akan diperoleh hasil positif.<br />
c. Radang kelenjar getah bening menyeluruh dan menetap, dengan gejala pembengkakan kelenjar getah bening diseluruh tubuh selama lebih dari 3 bulan.<br />
6. Komplikasi<br />
a. Oral Lesi<br />
Karena kandidia, herpes simplek, sarcoma Kaposi, HPV oral, gingivitis, peridonitis Human Immunodeficiency Virus (HIV), leukoplakia oral,nutrisi,dehidrasi,penurunan berat badan, keletihan dan cacat.<br />
b. Neurologik<br />
- kompleks dimensia AIDS karena serangan langsung Human Immunodeficiency Virus (HIV) pada sel saraf, berefek perubahan kepribadian, kerusakan kemampuan motorik, kelemahan, disfasia, dan isolasi social.<br />
- Enselophaty akut, karena reaksi terapeutik, hipoksia, hipoglikemia, ketidakseimbangan elektrolit, meningitis / ensefalitis. Dengan efek : sakit kepala, malaise, demam, paralise, total / parsial.<br />
-. Infark serebral kornea sifilis meningovaskuler,hipotensi sistemik, dan maranik endokarditis.<br />
- Neuropati karena imflamasi demielinasi oleh serangan Human Immunodeficienci Virus (HIV)<br />
c. Gastrointestinal<br />
- Diare karena bakteri dan virus, pertumbuhan cepat flora normal, limpoma, dan sarcoma Kaposi. Dengan efek, penurunan berat badan,anoreksia,demam,malabsorbsi, dan dehidrasi.<br />
- Hepatitis karena bakteri dan virus, limpoma,sarcoma Kaposi, obat illegal, alkoholik. Dengan anoreksia, mual muntah, nyeri abdomen, ikterik,demam atritis.<br />
- Penyakit Anorektal karena abses dan fistula, ulkus dan inflamasi perianal yang sebagai akibat infeksi, dengan efek inflamasi sulit dan sakit, nyeri rectal, gatal-gatal dan siare.<br />
d. Respirasi<br />
Infeksi karena Pneumocystic Carinii, cytomegalovirus, virus influenza, pneumococcus, dan strongyloides dengan efek nafas pendek,batuk,nyeri,hipoksia,keletihan,gagal nafas.<br />
e. Dermatologik<br />
Lesi kulit stafilokokus : virus herpes simpleks dan zoster, dermatitis karena xerosis, reaksi otot, lesi scabies/tuma, dan dekobitus dengan efek nyeri,gatal,rasa terbakar,infeksi skunder dan sepsis.<br />
f. Sensorik<br />
- Pandangan : Sarkoma Kaposi pada konjungtiva berefek kebutaan<br />
- Pendengaran : otitis eksternal akut dan otitis media, kehilangan pendengaran dengan efek nyeri.<br />
7. Penatalaksanaan<br />
Belum ada penyembuhan untuk AIDS, jadi perlu dilakukan pencegahan Human Immunodeficiency Virus (HIV) untuk mencegah terpajannya Human Immunodeficiency Virus (HIV), bisa dilakukan dengan :<br />
- Melakukan abstinensi seks / melakukan hubungan kelamin dengan pasangan yang tidak terinfeksi.<br />
- Memeriksa adanya virus paling lambat 6 bulan setelah hubungan seks terakhir yang tidak terlindungi.<br />
- Menggunakan pelindung jika berhubungan dengan orang yang tidak jelas status Human Immunodeficiency Virus (HIV) nya.<br />
- Tidak bertukar jarum suntik,jarum tato, dan sebagainya.<br />
- Mencegah infeksi kejanin / bayi baru lahir.<br />
Apabila terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV), maka terpinya yaitu :<br />
a. Pengendalian Infeksi Opurtunistik<br />
Bertujuan menghilangkan,mengendalikan, dan pemulihan infeksi opurtunistik,nasokomial, atau sepsis. Tidakan pengendalian infeksi yang aman untuk mencegah kontaminasi bakteri dan komplikasi penyebab sepsis harus dipertahankan bagi pasien dilingkungan perawatan kritis.<br />
b. Terapi AZT (Azidotimidin)<br />
Disetujui FDA (1987) untuk penggunaan obat antiviral AZT yang efektif terhadap AIDS, obat ini menghambat replikasi antiviral Human Immunodeficiency Virus (HIV) dengan menghambat enzim pembalik traskriptase. AZT tersedia untuk pasien AIDS yang jumlah sel T4 nya <>3 . Sekarang, AZT tersedia untuk pasien dengan Human Immunodeficiency Virus (HIV) positif asimptomatik dan sel T4 > 500 mm3<br />
c. Terapi Antiviral Baru<br />
Beberapa antiviral baru yang meningkatkan aktivitas system imun dengan menghambat replikasi virus / memutuskan rantai reproduksi virus pada prosesnya. Obat-obat ini adalah :<br />
– Didanosine<br />
– Ribavirin<br />
– Diedoxycytidine<br />
– Recombinant CD 4 dapat larut<br />
d. Vaksin dan Rekonstruksi Virus<br />
Upaya rekonstruksi imun dan vaksin dengan agen tersebut seperti interferon, maka perawat unit khusus perawatan kritis dapat menggunakan keahlian dibidang proses keperawatan dan penelitian untuk menunjang pemahaman dan keberhasilan terapi AIDS.<br />
e. Pendidikan untuk menghindari alcohol dan obat terlarang, makan-makanan sehat,hindari stress,gizi yang kurang,alcohol dan obat-obatan yang mengganggu fungsi imun.<br />
f. Menghindari infeksi lain, karena infeksi itu dapat mengaktifkan sel T dan mempercepat reflikasi Human Immunodeficiency Virus (HIV).<br />
Konsep Dasar Asuhan Keperawatan<br />
1. Pengkajian <br />
a. Riwayat Penyakit<br />
Jenis infeksi sering memberikan petunjuk pertama karena sifat kelainan imun. Umur kronologis pasien juga mempengaruhi imunokompetens. Respon imun sangat tertekan pada orang yang sangat muda karena belum berkembangnya kelenjar timus. Pada lansia, atropi kelenjar timus dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi. Banyak penyakit kronik yang berhubungan dengan melemahnya fungsi imun. Diabetes meilitus, anemia aplastik, kanker adalah beberapa penyakit yang kronis, keberadaan penyakit seperti ini harus dianggap sebagai factor penunjang saat mengkaji status imunokompetens pasien. Berikut bentuk kelainan hospes dan penyakit serta terapi yang berhubungan dengan kelainan hospes :<br />
- Kerusakan respon imun seluler (Limfosit T )<br />
Terapi radiasi,defisiensi nutrisi,penuaan,aplasia timik,limpoma,kortikosteroid,globulin anti limfosit,disfungsi timik congenital.<br />
- Kerusakan imunitas humoral (Antibodi)<br />
Limfositik leukemia kronis,mieloma,hipogamaglobulemia congenital,protein – liosing enteropati (peradangan usus)<br />
b. Pemeriksaan Fisik (Objektif) dan Keluhan (Sujektif)<br />
- Aktifitas / Istirahat<br />
Gejala : Mudah lelah,intoleran activity,progresi malaise,perubahan pola tidur.<br />
Tanda : Kelemahan otot, menurunnya massa otot, respon fisiologi aktifitas ( Perubahan TD, frekuensi Jantun dan pernafasan ).<br />
- Sirkulasi<br />
Gejala : Penyembuhan yang lambat (anemia), perdarahan lama pada cedera.<br />
Tanda : Perubahan TD postural,menurunnya volume nadi perifer, pucat / sianosis, perpanjangan pengisian kapiler.<br />
- Integritas dan Ego <br />
Gejala : Stress berhubungan dengan kehilangan,mengkuatirkan penampilan, mengingkari doagnosa, putus asa,dan sebagainya.<br />
Tanda : Mengingkari,cemas,depresi,takut,menarik diri, marah.<br />
- Eliminasi<br />
Gejala : Diare intermitten, terus – menerus, sering dengan atau tanpa kram abdominal, nyeri panggul, rasa terbakar saat miksi<br />
Tanda : Feces encer dengan atau tanpa mucus atau darah, diare pekat dan sering, nyeri tekan abdominal, lesi atau abses rectal,perianal,perubahan jumlah,warna,dan karakteristik urine.<br />
- Makanan / Cairan<br />
Gejala : Anoreksia, mual muntah, disfagia<br />
Tanda : Turgor kulit buruk, lesi rongga mulut, kesehatan gigi dan gusi yang buruk, edema<br />
- Hygiene<br />
Gejala : Tidak dapat menyelesaikan AKS<br />
Tanda : Penampilan tidak rapi, kurang perawatan diri.<br />
- Neurosensoro<br />
Gejala : Pusing, sakit kepala, perubahan status mental,kerusakan status indera,kelemahan otot,tremor,perubahan penglihatan.<br />
Tanda : Perubahan status mental, ide paranoid, ansietas, refleks tidak normal,tremor,kejang,hemiparesis,kejang.<br />
- Nyeri / Kenyamanan<br />
Gejala : Nyeri umum / local, rasa terbakar, sakit kepala,nyeri dada pleuritis.<br />
Tanda : Bengkak sendi, nyeri kelenjar,nyeri tekan,penurunan rentan gerak,pincang.<br />
- Pernafasan <br />
Gejala : ISK sering atau menetap, napas pendek progresif, batuk, sesak pada dada.<br />
Tanda : Takipnea, distress pernapasan, perubahan bunyi napas, adanya sputum.<br />
- Keamanan<br />
Gejala : Riwayat jatuh, terbakar,pingsan,luka,transfuse darah,penyakit defisiensi imun, demam berulang,berkeringat malam.<br />
Tanda : Perubahan integritas kulit,luka perianal / abses, timbulnya nodul, pelebaran kelenjar limfe, menurunya kekuatan umum, tekanan umum.<br />
-Seksualitas<br />
Gejala : Riwayat berprilaku seks beresiko tinggi,menurunnya libido,penggunaan pil pencegah kehamilan.<br />
Tanda : Kehamilan,herpes genetalia<br />
- Interaksi Sosial<br />
Gejala : Masalah yang ditimbulkan oleh diagnosis,isolasi,kesepian,adanya trauma AIDS<br />
Tanda : Perubahan interaksi<br />
- Penyuluhan / Pembelajaran <br />
Gejala : Kegagalan dalam perawatan,prilaku seks beresiko tinggi,penyalahgunaan obat-obatan IV,merokok,alkoholik.<br />
c. Pemeriksaan Diagnostik<br />
a. Tes Laboratorium<br />
Telah dikembangkan sejumlah tes diagnostic yang sebagian masih bersifat penelitian. Tes dan pemeriksaan laboratorium digunakan untuk mendiagnosis Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan memantau perkembangan penyakit serta responnya terhadap terapi Human Immunodeficiency Virus (HIV)<br />
1. Serologis<br />
- Tes antibody serum<br />
Skrining Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan ELISA. Hasil tes positif, tapi bukan merupakan diagnosa<br />
- Tes blot western<br />
Mengkonfirmasi diagnosa Human Immunodeficiency Virus (HIV)<br />
- Sel T limfosit<br />
Penurunan jumlah total<br />
- Sel T4 helper<br />
Indikator system imun (jumlah <200><br />
- T8 ( sel supresor sitopatik )<br />
Rasio terbalik ( 2 : 1 ) atau lebih besar dari sel suppressor pada sel helper ( T8 ke T4 ) mengindikasikan supresi imun.<br />
- P24 ( Protein pembungkus Human ImmunodeficiencyVirus (HIV ) )<br />
Peningkatan nilai kuantitatif protein mengidentifikasi progresi infeksi<br />
- Kadar Ig<br />
Meningkat, terutama Ig A, Ig G, Ig M yang normal atau mendekati normal<br />
- Reaksi rantai polimerase<br />
Mendeteksi DNA virus dalam jumlah sedikit pada infeksi sel perifer monoseluler.<br />
- Tes PHS<br />
Pembungkus hepatitis B dan antibody, sifilis, CMV mungkin positif<br />
2. Budaya<br />
Histologis, pemeriksaan sitologis urine, darah, feces, cairan spina, luka, sputum, dan sekresi, untuk mengidentifikasi adanya infeksi : parasit, protozoa, jamur, bakteri, viral.<br />
3. Neurologis<br />
EEG, MRI, CT Scan otak, EMG (pemeriksaan saraf)<br />
4. Tes Lainnya<br />
a. Sinar X dada<br />
Menyatakan perkembangan filtrasi interstisial dari PCP tahap lanjut atau adanya komplikasi lain<br />
b. Tes Fungsi Pulmonal<br />
Deteksi awal pneumonia interstisial<br />
c. Skan Gallium<br />
Ambilan difusi pulmonal terjadi pada PCP dan bentuk pneumonia lainnya.<br />
d. Biopsis<br />
Diagnosa lain dari sarcoma Kaposi<br />
e. Brankoskopi / pencucian trakeobronkial<br />
Dilakukan dengan biopsy pada waktu PCP ataupun dugaan kerusakan paru-paru<br />
b. Tes Antibodi<br />
Jika seseorang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV), maka system imun akan bereaksi dengan memproduksi antibody terhadap virus tersebut. Antibody terbentuk dalam 3 – 12 minggu setelah infeksi, atau bisa sampai 6 – 12 bulan. Hal ini menjelaskan mengapa orang yang terinfeksi awalnya tidak memperlihatkan hasil tes positif. Tapi antibody ternyata tidak efektif, kemampuan mendeteksi antibody Human Immunodeficiency Virus (HIV) dalam darah memungkinkan skrining produk darah dan memudahkan evaluasi diagnostic.<br />
Pada tahun 1985 Food and Drug Administration (FDA) memberi lisensi tentang uji – kadar Human Immunodeficiency Virus (HIV) bagi semua pendonor darah atau plasma. Tes tersebut, yaitu :<br />
1. Tes Enzym – Linked Immunosorbent Assay ( ELISA)<br />
Mengidentifikasi antibody yang secara spesifik ditujukan kepada virus Human Immunodeficiency Virus (HIV). ELISA tidak menegakan diagnosa AIDS tapi hanya menunjukkan bahwa seseorang terinfeksi atau pernah terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV). Orang yang dalam darahnya terdapat antibody Human Immunodeficiency Virus (HIV) disebut seropositif.<br />
2. Western Blot Assay<br />
Mengenali antibody Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan memastikan seropositifitas Human Immunodeficiency Virus (HIV)<br />
3. Indirect Immunoflouresence<br />
Pengganti pemeriksaan western blot untuk memastikan seropositifitas.<br />
4. Radio Immuno Precipitation Assay ( RIPA )<br />
Mendeteksi protein dari pada antibody.<br />
c. Pelacakan Human Immunodeficiency Virus (HIV)<br />
Penentuan langsung ada dan aktivitasnya Human Immunodeficiency Virus (HIV) untuk melacak perjalanan penyakit dan responnya. Protein tersebut disebut protein virus p24, pemerikasaan p24 antigen capture assay sangat spesifik untuk HIV – 1. tapi kadar p24 pada penderita infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) sangat rendah, pasien dengantiter p24 punya kemungkinan lebih lanjut lebih besar dari menjadi AIDS.<br />
Pemeriksaan ini digunakan dengan tes lainnya untuk mengevaluasi efek anti virus. Pemeriksaan kultur Human Immunodeficiency Virus (HIV) atau kultur plasma kuantitatif dan viremia plasma merupakan tes tambahan yang mengukur beban virus ( viral burden )<br />
AIDS muncul setelah benteng pertahanan tubuh yaitu sistem kekebalan alamiah melawan bibit penyakit runtuh oleh virus HIV, dengan runtuhnya/hancurnya sel-sel limfosit T karena kekurangan sel T, maka penderita mudah sekali terserang infeksi dan kanker yang sederhana sekalipun, yang untuk orang normal tidak berarti. Jadi bukan AIDS nya sendiri yang menyebabkan kematian penderita, melainkan infeksi dan kanker yang dideritanya.<br />
HIV biasanya ditularkan melalui hubungan seks dengan orang yang mengidap virus tersebut dan terdapat kontak langsung dengan darah atau produk darah dan cairan tubuh lainnya. Pada wanita virus mungkin masuk melalui luka atau lecet pada mulut rahim/vagina. Begitu pula virus memasuki aliran darah pria jika pada genitalnya ada luka/lecet. Hubungan seks melalui anus berisiko tinggi untuk terinfeksi, namun juga vaginal dan oral. HIV juga dapat ditularkan melalui kontak langsung darah dengan darah, seperti jarum suntik (pecandu obat narkotik suntikan), transfusi darah/produk darah dan ibu hamil ke bayinya saat melahirkan. Tidak ada bukti penularan melalui kontak sehari-hari seperti berjabat tangan, mencium, gels bekas dipakai penderita, handuk atau melalui closet umum, karena virus ini sangat rapuh.<br />
Masa inkubasi/masa laten sangat tergantung pada daya tahan tubuh masing-masing orang, rata-rata 5-10 tahun. Selama masa ini orang tidak memperlihatkan gejala-gejala, walaupun jumlah HIV semakin bertambah dan sel T4 semakin menururn. Semakin rendah jumlah sel T4, semakin rusak sistem kekebalan tubuh.<br />
Pada waktu sistem kekebalan tubuh sudah dalam keadaan parah, seseorang yang mengidap HIV/AIDS akan mulai menampakkan gejala-gejala AIDS.<br />
<br />
Kamis, 31 Juli 2008<br />
askep hiv - aids <br />
ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN HIV-AIDS<br />
<br />
Konsep Dasar<br />
I.Pengertian<br />
AIDS adalah sindroma yang menunjukkan defisiensi imun seluler pada seseorang tanpa adanya penyebab yang diketahui untuk dapat menerangkan tejadinya defisiensi, tersebut seperti keganasan, obat-obat supresi imun, penyakit infeksi yang sudah dikenal dan sebagainya. <br />
<br />
II.Etiologi<br />
Penyebab adalah golongan virus retro yang disebut human immunodeficiency virus (HIV). HIV pertama kali ditemukan pada tahun 1983 sebagai retrovirus dan disebut HIV-1. Pada tahun 1986 di Afrika ditemukan lagi retrovirus baru yang diberi nama HIV-2. HIV-2 dianggap sebagai virus kurang pathogen dibandingkaan dengan HIV-1. Maka untuk memudahkan keduanya disebut HIV.<br />
Transmisi infeksi HIV dan AIDS terdiri dari lima fase yaitu :<br />
1.Periode jendela. Lamanya 4 minggu sampai 6 bulan setelah infeksi. Tidak ada gejala.<br />
2.Fase infeksi HIV primer akut. Lamanya 1-2 minggu dengan gejala flu likes illness.<br />
3.Infeksi asimtomatik. Lamanya 1-15 atau lebih tahun dengan gejala tidak ada.<br />
4.Supresi imun simtomatik. Diatas 3 tahun dengan gejala demam, keringat malam hari, B menurun, diare, neuropati, lemah, rash, limfadenopati, lesi mulut.<br />
5.AIDS. Lamanya bervariasi antara 1-5 tahun dari kondisi AIDS pertama kali ditegakkan. Didapatkan infeksi oportunis berat dan tumor pada berbagai system tubuh, dan manifestasi neurologist.<br />
AIDS dapat menyerang semua golongan umur, termasuk bayi, pria maupun wanita. Yang termasuk kelompok resiko tinggi adalah :<br />
1.Lelaki homoseksual atau biseks. 5. Bayi dari ibu/bapak terinfeksi.<br />
2.Orang yang ketagian obat intravena<br />
3.Partner seks dari penderita AIDS<br />
4.Penerima darah atau produk darah (transfusi).<br />
III.Patofisiologi :<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
IV.Pemeriksaan Diagnostik<br />
1.Tes untuk diagnosa infeksi HIV :<br />
ELISA<br />
Western blot<br />
P24 antigen test<br />
Kultur HIV<br />
2.Tes untuk deteksi gangguan system imun.<br />
Hematokrit.<br />
LED<br />
CD4 limfosit<br />
Rasio CD4/CD limfosit<br />
Serum mikroglobulin B2<br />
Hemoglobulin <br />
<br />
<br />
Asuhan Keperawatan<br />
I.Pengkajian.<br />
3.Riwayat : tes HIV positif, riwayat perilaku beresiko tinggi, menggunakan obat-obat.<br />
4.Penampilan umum : pucat, kelaparan.<br />
5.Gejala subyektif : demam kronik, dengan atau tanpa menggigil, keringat malam hari berulang kali, lemah, lelah, anoreksia, BB menurun, nyeri, sulit tidur.<br />
6.Psikososial : kehilangan pekerjaan dan penghasilan, perubahan pola hidup, ungkapkan perasaan takut, cemas, meringis.<br />
7.Status mental : marah atau pasrah, depresi, ide bunuh diri, apati, withdrawl, hilang interest pada lingkungan sekitar, gangguan prooses piker, hilang memori, gangguan atensi dan konsentrasi, halusinasi dan delusi.<br />
8.HEENT : nyeri periorbital, fotophobia, sakit kepala, edem muka, tinitus, ulser pada bibir atau mulut, mulut kering, suara berubah, disfagia, epsitaksis.<br />
9.Neurologis :gangguan refleks pupil, nystagmus, vertigo, ketidakseimbangan , kaku kuduk, kejang, paraplegia.<br />
10.Muskuloskletal : focal motor deifisit, lemah, tidak mampu melakukan ADL.<br />
11.Kardiovaskuler ; takikardi, sianosis, hipotensi, edem perifer, dizziness.<br />
12.Pernapasan : dyspnea, takipnea, sianosis, SOB, menggunakan otot Bantu pernapasan, batuk produktif atau non produktif.<br />
13.GI : intake makan dan minum menurun, mual, muntah, BB menurun, diare, inkontinensia, perut kram, hepatosplenomegali, kuning.<br />
14.Gu : lesi atau eksudat pada genital,<br />
15.Integument : kering, gatal, rash atau lesi, turgor jelek, petekie positif.<br />
<br />
II.Diagnosa keperawatan<br />
1.Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan imunosupresi, malnutrisi dan pola hidup yang beresiko.<br />
2.Resiko tinggi infeksi (kontak pasien) berhubungan dengan infeksi HIV, adanya infeksi nonopportunisitik yang dapat ditransmisikan.<br />
3.Intolerans aktivitas berhubungan dengan kelemahan, pertukaran oksigen, malnutrisi, kelelahan.<br />
4.Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang kurang, meningkatnya kebutuhan metabolic, dan menurunnya absorbsi zat gizi.<br />
5.Diare berhubungan dengan infeksi GI<br />
6.Tidak efektif koping keluarga berhubungan dengan cemas tentang keadaan yang orang dicintai.<br />
<br />
III.Perencanaan keperawatan.<br />
Diagnosa Keperawatan<br />
Perencanaan Keperawatan<br />
Tujuan dan criteria hasil<br />
Intervensi<br />
Rasional<br />
Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan imunosupresi, malnutrisi dan pola hidup yang beresiko.<br />
<br />
Pasien akan bebas infeksi oportunistik dan komplikasinya dengan kriteria tak ada tanda-tanda infeksi baru, lab tidak ada infeksi oportunis, tanda vital dalam batas normal, tidak ada luka atau eksudat.<br />
1.Monitor tanda-tanda infeksi baru.<br />
2.gunakan teknik aseptik pada setiap tindakan invasif. Cuci tangan sebelum meberikan tindakan.<br />
3.Anjurkan pasien metoda mencegah terpapar terhadap lingkungan yang patogen.<br />
4.Kumpulkan spesimen untuk tes lab sesuai order.<br />
5.Atur pemberian antiinfeksi sesuai order <br />
<br />
Untuk pengobatan dini<br />
Mencegah pasien terpapar oleh kuman patogen yang diperoleh di rumah sakit.<br />
<br />
Mencegah bertambahnya infeksi<br />
<br />
<br />
Meyakinkan diagnosis akurat dan pengobatan<br />
<br />
Mempertahankan kadar darah yang terapeutik <br />
Resiko tinggi infeksi (kontak pasien) berhubungan dengan infeksi HIV, adanya infeksi nonopportunisitik yang dapat ditransmisikan.<br />
<br />
Infeksi HIV tidak ditransmisikan, tim kesehatan memperhatikan universal precautions dengan kriteriaa kontak pasien dan tim kesehatan tidak terpapar HIV, tidak terinfeksi patogen lain seperti TBC.<br />
1.Anjurkan pasien atau orang penting lainnya metode mencegah transmisi HIV dan kuman patogen lainnya.<br />
2.Gunakan darah dan cairan tubuh precaution bial merawat pasien. Gunakan masker bila perlu.<br />
<br />
Pasien dan keluarga mau dan memerlukan informasikan ini<br />
<br />
Mencegah transimisi infeksi HIV ke orang lain<br />
Intolerans aktivitas berhubungan dengan kelemahan, pertukaran oksigen, malnutrisi, kelelahan.<br />
<br />
Pasien berpartisipasi dalam kegiatan, dengan kriteria bebas dyspnea dan takikardi selama aktivitas.<br />
1.Monitor respon fisiologis terhadap aktivitas<br />
2.Berikan bantuan perawatan yang pasien sendiri tidak mampu<br />
3.Jadwalkan perawatan pasien sehingga tidak mengganggu isitirahat.<br />
<br />
Respon bervariasi dari hari ke hari<br />
<br />
Mengurangi kebutuhan energi<br />
<br />
Ekstra istirahat perlu jika karena meningkatkan kebutuhan metabolik<br />
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang kurang, meningkatnya kebutuhan metabolic, dan menurunnya absorbsi zat gizi.<br />
<br />
Pasien mempunyai intake kalori dan protein yang adekuat untuk memenuhi kebutuhan metaboliknya dengan kriteria mual dan muntah dikontrol, pasien makan TKTP, serum albumin dan protein dalam batas n ormal, BB mendekati seperti sebelum sakit.<br />
1.Monitor kemampuan mengunyah dan menelan.<br />
2.Monitor BB, intake dan ouput<br />
3.Atur antiemetik sesuai order<br />
4.Rencanakan diet dengan pasien dan orang penting lainnya.<br />
<br />
Intake menurun dihubungkan dengan nyeri tenggorokan dan mulut<br />
Menentukan data dasar<br />
Mengurangi muntah<br />
Meyakinkan bahwa makanan sesuai dengan keinginan pasien<br />
<br />
Diare berhubungan dengan infeksi GI<br />
<br />
Pasien merasa nyaman dan mengnontrol diare, komplikasi minimal dengan kriteria perut lunak, tidak tegang, feses lunak dan warna normal, kram perut hilang, <br />
1.Kaji konsistensi dan frekuensi feses dan adanya darah.<br />
2.Auskultasi bunyi usus<br />
3.Atur agen antimotilitas dan psilium (Metamucil) sesuai order<br />
4.Berikan ointment A dan D, vaselin atau zinc oside<br />
Mendeteksi adanya darah dalam feses<br />
<br />
Hipermotiliti mumnya dengan diare<br />
Mengurangi motilitas usus, yang pelan, emperburuk perforasi pada intestinal<br />
Untuk menghilangkan distensi<br />
Tidak efektif koping keluarga berhubungan dengan cemas tentang keadaan yang orang dicintai.<br />
<br />
Keluarga atau orang penting lain mempertahankan suport sistem dan adaptasi terhadap perubahan akan kebutuhannya dengan kriteria pasien dan keluarga berinteraksi dengan cara yang konstruktif<br />
1.Kaji koping keluarga terhadap sakit pasein dan perawatannya<br />
2.Biarkan keluarga mengungkapkana perasaan secara verbal<br />
3.Ajarkan kepada keluaraga tentang penyakit dan transmisinya.<br />
<br />
Memulai suatu hubungan dalam bekerja secara konstruktif dengan keluarga.<br />
Mereka tak menyadari bahwa mereka berbicara secara bebas<br />
Menghilangkan kecemasan tentang transmisi melalui kontak sederhana.<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Daftar Pustaka<br />
<br />
Grimes, E.D, Grimes, R.M, and Hamelik, M, 1991, Infectious Diseases, Mosby Year Book, Toronto.<br />
<br />
Christine L. Mudge-Grout, 1992, Immunologic Disorders, Mosby Year Book, St. Louis.<br />
<br />
Rampengan dan Laurentz, 1995, Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak, cetakan kedua, EGC, Jakarta.<br />
<br />
Lab/UPF Ilmu Penyakit Dalam, 1994, Pedoman Diagnosis dan Terapi, RSUD Dr. Soetomo Surabaya.<br />
<br />
Lyke, Merchant Evelyn, 1992, Assesing for Nursing Diagnosis ; A Human Needs Approach,J.B. Lippincott Company, London.<br />
<br />
Phipps, Wilma. et al, 1991, Medical Surgical Nursing : Concepts and Clinical Practice, 4th edition, Mosby Year Book, Toronto<br />
<br />
Doengoes, Marilynn, dkk, 2000, Rencana Asuhan Keperawatan ; Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, edisi 3, alih bahasa : I Made Kariasa dan Ni Made S, EGC, JakartaPuspo Widianotohttp://www.blogger.com/profile/18352577488779133633noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4942725209072240234.post-3065532454460459242010-12-08T12:32:00.001-08:002010-12-08T12:32:55.929-08:00AterosklerosisAterosklerosis (Atherosclerosis)<br />
DEFINISI<br />
Aterosklerosis (Atherosclerosis) merupakan istilah umum untuk beberapa penyakit, dimana dinding arteri menjadi lebih tebal dan kurang lentur. <br />
Penyakit yang paling penting dan paling sering ditemukan adalah aterosklerosis, dimana bahan lemak terkumpul dibawah lapisan sebelah dalam dari dinding arteri. <br />
<br />
Aterosklerosis bisa terjadi pada arteri di otak, jantung, ginjal, organ vital lainnya dan lengan serta tungkai. <br />
Jika aterosklerosis terjadi di dalam arteri yang menuju ke otak (arteri karotid), maka bisa terjadi stroke. Jika terjadi di dalam arteri yang menuju ke jantung (arteri koroner), bisa terjadi serangan jantung. <br />
PENYEBAB<br />
Aterosklerosis bermula ketika sel darah putih yang disebut monosit, pindah dari aliran darah ke dalam dinding arteri dan diubah menjadi sel-sel yang mengumpulkan bahan-bahan lemak. <br />
Pada saatnya, monosit yang terisi lemak ini akan terkumpul, menyebabkan bercak penebalan di lapisan dalam arteri. <br />
<br />
Setiap daerah penebalan (yang disebut plak aterosklerotik atau ateroma) yang terisi dengan bahan lembut seperti keju, mengandung sejumlah bahan lemak, terutama kolesterol, sel-sel otot polos dan sel-sel jaringan ikat. <br />
Ateroma bisa tersebar di dalam arteri sedang dan arteri besar, tetapi biasanya mereka terbentuk di daerah percabangan, mungkin karena turbulensi di daerah ini menyebabkan cedera pada dinding arteri, sehingga disini lebih mudah terbentuk ateroma. <br />
<br />
Arteri yang terkena aterosklerosis akan kehilangan kelenturannya dan karena ateroma terus tumbuh, maka arteri akan menyempit. Lama-lama ateroma mengumpulkan endapan kalsium, sehingga menjadi rapuh dan bisa pecah. <br />
Darah bisa masuk ke dalam ateroma yang pecah, sehingga ateroma menjadi lebih besar dan lebih mempersempit arteri. <br />
Ateroma yang pecah juga bisa menumpahkan kandungan lemaknya dan memicu pembentukan bekuan darah (trombus). Selanjutnya bekuan ini akan mempersempit bahkan menyumbat arteri, atau bekuan akan terlepas dan mengalir bersama aliran darah dan menyebabkan sumbatan di tempat lain (emboli). <br />
<br />
Resiko terjadinya aterosklerosis meningkat pada: <br />
• Tekanan darah tinggi <br />
• Kadar kolesterol tinggi <br />
• Perokok <br />
• Diabetes (kencing manis) <br />
• Kegemukan (obesitas) <br />
• Malas berolah raga <br />
• Usia lanjut. <br />
Pria memiliki resiko lebih tinggi daripada wanita. <br />
<br />
Penderita penyakit keturunan homosistinuria memiliki ateroma yang meluas, terutama pada usia muda. Penyakit ini mengenai banyak arteri tetapi tidak selalu mengenai arteri koroner (arteri yang menuju ke jantung). <br />
Sebaliknya, pada penyakit keturunan hiperkolesterolemia familial, kadar kolesterol yang sangat tinggi menyebabkan terbentuknya ateroma yang lebih banyak di dalam arteri koroner dibandingkan arteri lainnya. <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
GEJALA<br />
Sebelum terjadinya penyempitan arteri atau penyumbatan mendadak, aterosklerosis biasanya tidak menimbulkan gejala. <br />
Gejalanya tergantung dari lokasi terbentuknya, sehingga bisa berupa gejala jantung, otak, tungkai atau tempat lainnya. <br />
<br />
Jika aterosklerosis menyebabkan penyempitan arteri yang sangat berat, maka bagian tubuh yang diperdarahinya tidak akan mendapatkan darah dalam jumlah yang memadai, yang mengangkut oksigen ke jaringan. <br />
Gejala awal dari penyempitan arteri bisa berupa nyeri atau kram yang terjadi pada saat aliran darah tidak dapat mencukupi kebutuhan akan oksigen. Contohnya, selama berolah raga, seseorang dapat merasakan nyeri dada (angina) karena aliran oksigen ke jantung berkurang; atau ketika berjalan, seseorang merasakan kram di tungkainya (klaudikasio interminten) karena aliran oksigen ke tungkai berkurang. <br />
<br />
Yang khas adalah bahwa gejala-gejala tersebut timbul secara perlahan, sejalan dengan terjadinya penyempitan arteri oleh ateroma yang juga berlangsung secara perlahan. Tetapi jika penyumbatan terjadi secara tiba-tiba (misalnya jika sebuah bekuan menyumbat arteri), maka gejalanya akan timbul secara mendadak. <br />
DIAGNOSA<br />
Sebelum terjadinya komplikasi, aterosklerosis mungkin tidak akan terdiagnosis. <br />
Sebelum terjadinya komplikasi, terdengarnya bruit (suara meniup) pada pemeriksaan dengan stetoskop bisa merupakan petunjuk dari aterosklerosis. <br />
Denyut nadi pada daerah yang terkena bisa berkurang. <br />
<br />
Pemeriksaan yang bisa dilakukan untuk mendiagnosis aterosklerosis: <br />
• ABI (ankle-brachial index), dilakukan pengukuran tekanan darah di pergelangan kaki dan lengan <br />
• Pemeriksaan Doppler di daerah yang terkena <br />
• Skening ultrasonik Duplex <br />
• CT scan di daerah yang terkena <br />
• Arteriografi resonansi magnetik <br />
• Arteriografi di daerah yang terkena <br />
• IVUS (intravascular ultrasound). <br />
PENGOBATAN<br />
Bisa diberikan obat-obatan untuk menurunkan kadar lemak dan kolesterol dalam darah (contohnya Kolestiramin, kolestipol, asam nikotinat, gemfibrozil, probukol, lovastatin). <br />
Aspirin, ticlopidine dan clopidogrel atau anti-koagulan bisa diberikan untuk mengurangi resiko terbentuknya bekuan darah. <br />
<br />
Angioplasti balon dilakukan untuk meratakan plak dan meningkatkan aliran darah yang melalui endapan lemak. <br />
Enarterektomi merupakan suatu pembedahan untuk mengangkat endapan. <br />
Pembedahan bypass merupakan prosedur yang sangat invasif, dimana arteri atau vena yang normal dari penderita digunakan untuk membuat jembatan guna menghindari arteri yang tersumbat. <br />
PENCEGAHAN<br />
Untuk membantu mencegah aterosklerosis yang harus dihilangkan adalah faktor-faktor resikonya. <br />
Jadi tergantung kepada faktor resiko yang dimilikinya, seseorang hendaknya: <br />
• Menurunkan kadar kolesterol darah <br />
• Menurunkan tekanan darah <br />
• Berhenti merokok <br />
• Menurunkan berat badan <br />
• Berolah raga secara teratur. <br />
<br />
Pada orang-orang yang sebelumnya telah memiliki resiko tinggi untuk menderita penyakit jantung, merokok sangatlah berbahaya karena: <br />
- merokok bisa mengurangi kadar kolesterol baik (kolesterol HDL) dan meningkatkan kadar kolesterol jahat (kolesterol LDL) <br />
- merokok menyebabkan bertambahnya kadar karbon monoksida di dalam darah, sehingga meningkatkan resiko terjadinya cedera pada lapisan dinding arteri <br />
- merokok akan mempersempit arteri yang sebelumnya telah menyempit karena aterosklerosis, sehingga mengurangi jumlah darah yang sampai ke jaringan <br />
- merokok meningkatkan kecenderungan darah untuk membentuk bekuan, sehingga meningkatkan resiko terjadinya penyakit arteri perifer, penyakit arteri koroner, stroke dan penyumbatan suatu arteri cangkokan setelah pembedahan. <br />
<br />
Resiko seorang perokok untuk menderita penyakit arteri koroner secara langsung berhubungan dengan jumlah rokok yang dihisap setiap harinya. Orang yang berhenti merokok hanya memiliki resiko separuh dari orang yang terus merokok, tanpa menghiraukan berapa lama mereka sudah merokok sebelumnya. <br />
Berhenti merokok juga mengurangi resiko kematian setelah pembedahan bypass arteri koroner atau setelah serangan jantung. Selain itu, berhenti merokok juga mengurangi penyakit dan resiko kematian pada seseorang yang memiliki aterosklerosis pada arteri selain arteri yang menuju ke jantung dan otak.Puspo Widianotohttp://www.blogger.com/profile/18352577488779133633noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4942725209072240234.post-67467923566880642922010-12-08T12:19:00.001-08:002010-12-08T12:19:44.491-08:00ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN DIAREASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN DIARE <br />
<br />
<br />
A. PENGERTIAN.<br />
Menurut Haroen N, S. Suraatmaja dan P.O Asdil (1998), diare adalah defekasi encer lebih dari 3 kali sehari dengan atau tanpa darah atau lendir dalam tinja.<br />
Sedangkan menurut C.L Betz & L.A Sowden (1996) diare merupakan suatu keadaan terjadinya inflamasi mukosa lambung atau usus.<br />
Menurut Suradi & Rita (2001), diare diartikan sebagai suatu keadaan dimana terjadinya kehilangan cairan dan elektrolit secara berlebihan yang terjadi karena frekuensi buang air besar satu kali atau lebih dengan bentuk encer atau cair.<br />
Jadi diare dapat diartikan suatu kondisi, buang air besar yang tidak normal yaitu lebih dari 3 kali sehari dengan konsistensi tinja yang encer dapat disertai atau tanpa disertai darah atau lendir sebagai akibat dari terjadinya proses inflamasi pada lambung atau usus.<br />
<br />
B. PENYEBAB <br />
Menurut Haroen N.S, Suraatmaja dan P.O Asnil (1998), ditinjau dari sudut patofisiologi, penyebab diare akut dapat dibagi dalam dua golongan yaitu:<br />
1. Diare sekresi (secretory diarrhoe), disebabkan oleh:<br />
a) Infeksi virus, kuman-kuman patogen dan apatogen seperti shigella, salmonela, E. Coli, golongan vibrio, B. Cereus, clostridium perfarings, stapylococus aureus, comperastaltik usus halus yang disebabkan bahan-bahan kimia makanan (misalnya keracunan makanan, makanan yang pedas, terlalau asam), gangguan psikis (ketakutan, gugup), gangguan saraf, hawa dingin, alergi dan sebagainya.<br />
b) Defisiensi imum terutama SIGA (secretory imonol bulin A) yang mengakibatkan terjadinya berlipat gandanya bakteri/flata usus dan jamur terutama canalida.<br />
<br />
2. Diare osmotik (osmotik diarrhoea) disebabkan oleh:<br />
a) malabsorpsi makanan: karbohidrat, lemak (LCT), protein, vitamin dan mineral.<br />
b) Kurang kalori protein.<br />
c) Bayi berat badan lahir rendah dan bayi baru lahir.<br />
Sedangkan menurut Ngastiyah (1997), penyebab diare dapat dibagi dalam beberapa faktor yaitu:<br />
1. Faktor infeksi<br />
a) Infeksi enteral<br />
Merupakan penyebab utama diare pada anak, yang meliputi: infeksi bakteri, infeksi virus (enteovirus, polimyelitis, virus echo coxsackie). Adeno virus, rota virus, astrovirus, dll) dan infeksi parasit : cacing (ascaris, trichuris, oxyuris, strongxloides) protozoa (entamoeba histolytica, giardia lamblia, trichomonas homunis) jamur (canida albicous).<br />
b) Infeksi parenteral ialah infeksi diluar alat pencernaan makanan seperti otitis media akut (OMA) tonsilitis/tonsilofaringits, bronkopeneumonia, ensefalitis dan sebagainya. Keadaan ini terutama terdapat pada bayi dan anak berumur dibawah dua (2) tahun.<br />
2. Faktor malaborsi<br />
Malaborsi karbohidrat, lemak dan protein.<br />
3. Faktor makanan<br />
4. Faktor psikologis<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
C. PATOFISIOLOGI<br />
Mekanisme dasar yang menyebabkan diare ialah yang pertama gangguan osmotik, akibat terdapatnya makanan atau zat yang tidak dapat diserap akan menyebabkan tekanan osmotik dalam rongga usus meninggi, sehingga terjadi pergeseran air dan elektrolit kedalam rongga usus, isi rongga usus yang berlebihan ini akan merangsang usus untuk mengeluarkannya sehingga timbul diare.<br />
Kedua akibat rangsangan tertentu (misalnya toksin) pada dinding usus akan terjadi peningkatan sekali air dan elektrolit ke dalam rongga usus dan selanjutnya diare timbul karena terdapat peningkatan isi rongga usus.<br />
Ketiga gangguan motalitas usus, terjadinya hiperperistaltik akan mengakibatkan berkurangnya kesempatan usus untuk menyerap makanan sehingga timbul diare sebaliknya bila peristaltik usus menurun akan mengakibatkan bakteri timbul berlebihan yang selanjutnya dapat menimbulkan diare pula.<br />
Selain itu diare juga dapat terjadi, akibat masuknya mikroorganisme hidup ke dalam usus setelah berhasil melewati rintangan asam lambung, mikroorganisme tersebut berkembang biak, kemudian mengeluarkan toksin dan akibat toksin tersebut terjadi hipersekresi yang selanjutnya akan menimbulkan diare.<br />
Sedangkan akibat dari diare akan terjadi beberapa hal sebagai berikut:<br />
1. Kehilangan air (dehidrasi)<br />
Dehidrasi terjadi karena kehilangan air (output) lebih banyak dari pemasukan (input), merupakan penyebab terjadinya kematian pada diare.<br />
2. Gangguan keseimbangan asam basa (metabik asidosis)<br />
Hal ini terjadi karena kehilangan Na-bicarbonat bersama tinja. Metabolisme lemak tidak sempurna sehingga benda kotor tertimbun dalam tubuh, terjadinya penimbunan asam laktat karena adanya anorexia jaringan. Produk metabolisme yang bersifat asam meningkat karena tidak dapat dikeluarkan oleh ginjal (terjadi oliguria/anuria) dan terjadinya pemindahan ion Na dari cairan ekstraseluler kedalam cairan intraseluler.<br />
3. Hipoglikemia<br />
Hipoglikemia terjadi pada 2-3% anak yang menderita diare, lebih sering pada anak yang sebelumnya telah menderita KKP. Hal ini terjadi karena adanya gangguan penyimpanan/penyediaan glikogen dalam hati dan adanya gangguan absorbsi glukosa.Gejala hipoglikemia akan muncul jika kadar glukosa darah menurun hingga 40 mg% pada bayi dan 50% pada anak-anak.<br />
<br />
4. Gangguan gizi<br />
Terjadinya penurunan berat badan dalam waktu singkat, hal ini disebabkan oleh:<br />
- Makanan sering dihentikan oleh orang tua karena takut diare atau muntah yang bertambah hebat.<br />
- Walaupun susu diteruskan, sering diberikan dengan pengeluaran dan susu yang encer ini diberikan terlalu lama.<br />
- Makanan yang diberikan sering tidak dapat dicerna dan diabsorbsi dengan baik karena adanya hiperperistaltik.<br />
5. Gangguan sirkulasi<br />
Sebagai akibat diare dapat terjadi renjatan (shock) hipovolemik, akibatnya perfusi jaringan berkurang dan terjadi hipoksia, asidosis bertambah berat, dapat mengakibatkan perdarahan otak, kesadaran menurun dan bila tidak segera diatasi klien akan meninggal.<br />
<br />
D. MANIFESTASI KLINIS DIARE<br />
1. Mula-mula anak/bayi cengeng gelisah, suhu tubuh mungkin meningkat, nafsu makan berkurang.<br />
2. Sering buang air besar dengan konsistensi tinja cair atau encer, kadang disertai wial dan wiata.<br />
3. Warna tinja berubah menjadi kehijau-hijauan karena bercampur empedu.<br />
4. Anus dan sekitarnya lecet karena seringnya difekasi dan tinja menjadi lebih asam akibat banyaknya asam laktat.<br />
5. Terdapat tanda dan gejala dehidrasi, turgor kulit jelas (elistitas kulit menurun), ubun-ubun dan mata cekung membran mukosa kering dan disertai penurunan berat badan. <br />
6. Perubahan tanda-tanda vital, nadi dan respirasi cepat tekan darah turun, denyut jantung cepat, pasien sangat lemas, kesadaran menurun (apatis, samnolen, sopora komatus) sebagai akibat hipovokanik.<br />
7. Diuresis berkurang (oliguria sampai anuria).<br />
8. Bila terjadi asidosis metabolik klien akan tampak pucat dan pernafasan cepat dan dalam. (Kusmaul).<br />
<br />
D. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK<br />
1. Pemeriksaan tinja<br />
a) Makroskopis dan mikroskopis<br />
b) PH dan kadar gula dalam tinja<br />
c) Bila perlu diadakan uji bakteri <br />
2. Pemeriksaan gangguan keseimbangan asam basa dalam darah, dengan menentukan PH dan cadangan alkali dan analisa gas darah.<br />
3. Pemeriksaan kadar ureum dan kreatinin untuk mengetahui faal ginjal.<br />
4. Pemeriksaan elektrolit terutama kadar Na, K, Kalsium dan Posfat.<br />
<br />
E. KOMPLIKASI<br />
1. Dehidrasi (ringan, sedang, berat, hipotonik, isotonik atau hipertonik).<br />
2. Renjatan hipovolemik.<br />
3. Hipokalemia (dengan gejala mekorismus, hiptoni otot, lemah, bradikardi, perubahan pada elektro kardiagram).<br />
4. Hipoglikemia.<br />
5. Introleransi laktosa sekunder, sebagai akibat defisiensi enzim laktase karena kerusakan vili mukosa, usus halus.<br />
6. Kejang terutama pada dehidrasi hipertonik.<br />
7. Malnutrisi energi, protein, karena selain diare dan muntah, penderita juga mengalami kelaparan.<br />
F. DERAJAT DEHIDRASI<br />
Menurut banyaknya cairan yang hilang, derajat dehidrasi dapat dibagi berdasarkan:<br />
a. Kehilangan berat badan<br />
1) Tidak ada dehidrasi, bila terjadi penurunan berat badan 2,5%.<br />
2) Dehidrasi ringan bila terjadi penurunan berat badan 2,5-5%.<br />
3) Dehidrasi berat bila terjadi penurunan berat badan 5-10%<br />
b. Skor Mavrice King<br />
Bagian tubuh<br />
Yang diperiksa Nilai untuk gejala yang ditemukan<br />
0 1 2<br />
Keadaan umum<br />
<br />
Kekenyalan kulit<br />
Mata<br />
Ubun-ubun besar<br />
Mulut<br />
Denyut nadi/mata Sehat<br />
<br />
Normal<br />
Normal<br />
Normal<br />
Normal<br />
Kuat <120 Gelisah, cengeng
Apatis, ngantuk
Sedikit kurang
Sedikit cekung
Sedikit cekung
Kering
Sedang (120-140) Mengigau, koma, atau syok
Sangat kurang
Sangat cekung
Sangat cekung
Kering & sianosis
Lemas >40<br />
<br />
Keterangan<br />
- Jika mendapat nilai 0-2 dehidrasi ringan<br />
- Jika mendapat nilai 3-6 dehidrasi sedang<br />
- Jika mendapat nilai 7-12 dehidrasi berat<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
c. Gejala klinis<br />
Gejala klinis Gejala klinis<br />
Ringan Sedang Berat <br />
Keadaan umum<br />
Kesadaran<br />
Rasa haus<br />
Sirkulasi<br />
Nadi<br />
Respirasi<br />
Pernapasan<br />
Kulit <br />
Uub <br />
Baik (CM)<br />
+<br />
<br />
N (120)<br />
<br />
Biasa<br />
<br />
Agak cekung<br />
Agak cekung<br />
Biasa<br />
Normal<br />
Normal <br />
Gelisah<br />
++<br />
<br />
Cepat<br />
<br />
Agak cepat<br />
<br />
Cekung<br />
Cekung<br />
Agak kurang<br />
Oliguri<br />
Agak kering <br />
Apatis-koma<br />
+++<br />
<br />
Cepat sekali<br />
<br />
Kusz maull<br />
<br />
Cekung sekali<br />
Cekung sekali<br />
Kurang sekali<br />
Anuri<br />
Kering/asidosis<br />
<br />
G. KEBUTUHAN CAIRAN ANAK<br />
Tubuh dalam keadaan normal terdiri dari 60 % air dan 40 % zat padat seperti protein, lemak dan mineral. Pada anak pemasukan dan pengeluaran harus seimbang, bila terganmggu harus dilakukan koreksi mungkin dengan cairan parentral, secara matematis keseimbangan cairan pada anak dapat di gambarkan sebagai berikut :<br />
<br />
Umur Berat Badan Total/24 jam Kebutuhan Cairan/Kg BB/24 jam<br />
3 hari<br />
10 hari<br />
3 bulan<br />
6bulan<br />
9 bulan<br />
1 tahun<br />
2 tahun<br />
4 tahun<br />
6 tahun<br />
10 tahun<br />
14 tahun<br />
18 tahun 3.0<br />
3.2<br />
5.4<br />
7.3<br />
8.6<br />
9.5<br />
11.8<br />
16.2<br />
20.0<br />
28.7<br />
45.0<br />
54.0 250-300<br />
400-500<br />
750-850<br />
950-1100<br />
1100-1250<br />
1150-1300<br />
1350-1500<br />
1600-1800<br />
1800-2000<br />
2000-2500<br />
2000-2700<br />
2200-2700 80-100<br />
125-150<br />
140-160<br />
130-155<br />
125-165<br />
120-135<br />
115-125<br />
100-1100<br />
90-100<br />
70-85<br />
50-60<br />
40-50<br />
<br />
Whaley and Wong (1997), Haroen N.S, Suraatmaja dan P.O Asnil 1998), Suharyono, Aswitha, Halimun (1998) dan Bagian Ilmu Kesehatan anak FK UI (1988), menyatakan bahwa jumlah cairan yang hilang menurut derajat dehidrasi pada anak di bawah 2 tahun adalah sebagai berikut :<br />
Derajat Dehidrasi PWL NWL CWL Jumlah<br />
Ringan<br />
Sedang<br />
Berat 50<br />
75<br />
125 100<br />
100<br />
100 25<br />
25<br />
25 175<br />
200<br />
250<br />
<br />
Keterangan :<br />
PWL : Previous Water loss (ml/kg BB)<br />
NWL : Normal Water losses (ml/kg BB)<br />
CWL : Concomitant Water losses (ml/kg BB)<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
H. PATHWAYS<br />
Faktor infeksi Faktor malabsorbsi Gangguan peristaltik<br />
<br />
Endotoksin Tekanan osmotik ↑ Hiperperistaltik Hipoperistaltik <br />
merusak mukosa<br />
usus Pergeseran cairan Makanan tidak Pertumbuhan bakteri<br />
dan elektrolit ke sempat diserap<br />
lumen usus Endotoksin berlebih<br />
<br />
Hipersekresi cairan<br />
dan elektrolit<br />
Isi lumen usus ↑<br />
<br />
Rangsangan pengeluaran <br />
<br />
Hiperperistaltik<br />
<br />
Diare<br />
<br />
Gangguan keseimbangan cairan Gangguan keseimbangan elektrolit <br />
<br />
Kurang volume cairan (dehidrasi) Hiponatremia<br />
Hipokalemia<br />
Pusing, lemah, letih, sinkope, anoreksia, Penurunan klorida serum<br />
mual, muntah, haus, oliguri, turgor kulit <br />
kurang, mukosa mulut kering, mata dan Hipotensi postural, kulit dingin, ubun-ubun cekung, peningkatan suhu tremor <br />
tubuh, penurunan berat badan kejang, peka rangsang, denyut jantung cepat dan lemah<br />
(Horne & Swearingen, 2001; Smeltzer & Bare, 2002<br />
<br />
<br />
I. PENTALAKSANAAN<br />
1. Medis<br />
Dasar pengobatan diare adalah:<br />
a. Pemberian cairan, jenis cairan, cara memberikan cairan, jumlah pemberiannya.<br />
1) Cairan per oral<br />
Pada klien dengan dehidrasi ringan dan sedang diberikan peroral berupa cairan yang bersifat NaCl dan NaHCO3 dan glukosa. Untuk diare akut dan kolera pada anak diatas 6 bulan kadar Natrium 90 mEg/l. Pada anak dibawah umur 6 bulan dengan dehidrasi ringan-sedang kadar natrium 50-60 mEg/l. Formula lengkap disebut oralit, sedangkan larutan gula garam dan tajin disebut formula yang tidak lengkap karena banyak mengandung NaCl dan sukrosa.<br />
2) Cairan parentral<br />
Diberikan pada klien yang mengalami dehidrasi berat, dengan rincian sebagai berikut:<br />
- Untuk anak umur 1 bl-2 tahun berat badan 3-10 kg<br />
• 1 jam pertama : 40 ml/kgBB/menit= 3 tts/kgBB/mnt (infus set berukuran 1 ml=15 tts atau 13 tts/kgBB/menit (set infus 1 ml=20 tetes).<br />
• 7 jam berikutnya : 12 ml/kgBB/menit= 3 tts/kgBB/mnt (infusset berukuran 1 ml=15 tts atau 4 tts/kgBB/menit (set infus 1 ml=20 tetes).<br />
• 16 jam berikutnya : 125 ml/kgBB/ oralit<br />
- Untuk anak lebih dari 2-5 tahun dengan berat badan 10-15 kg<br />
• 1 jam pertama : 30 ml/kgBB/jam atau 8 tts/kgBB/mnt (1 ml=15 tts atau 10 tts/kgBB/menit (1 ml=20 tetes).<br />
- Untuk anak lebih dari 5-10 tahun dengan berat badan 15-25 kg<br />
• 1 jam pertama : 20 ml/kgBB/jam atau 5 tts/kgBB/mnt (1 ml=15 tts atau 7 tts/kgBB/menit (1 ml=20 tetes).<br />
• 7 jam berikut : 10 ml/kgBB/jam atau 2,5 tts/kgBB/mnt (1 ml=15 tts atau 3 tts/kgBB/menit (1 ml=20 tetes).<br />
• 16 jam berikut : 105 ml/kgBB oralit per oral.<br />
- Untuk bayi baru lahir dengan berat badan 2-3 kg<br />
• Kebutuhan cairan: 125 ml + 100 ml + 25 ml = 250 ml/kg/BB/24 jam, jenis cairan 4:1 (4 bagian glukosa 5% + 1 bagian NaHCO3 1½ %.<br />
Kecepatan : 4 jam pertama : 25 ml/kgBB/jam atau 6 tts/kgBB/menit (1 ml = 15 tts) 8 tts/kg/BB/mt (1mt=20 tts).<br />
• Untuk bayi berat badan lahir rendah<br />
Kebutuhan cairan: 250 ml/kg/BB/24 jam, jenis cairan 4:1 (4 bagian glukosa 10% + 1 bagian NaHCO3 1½ %).<br />
b. Pengobatan dietetik<br />
Untuk anak dibawah 1 tahun dan anak diatas 1 tahun dengan berat badan kurang dari 7 kg, jenis makanan:<br />
- Susu (ASI, susu formula yang mengandung laktosa rendah dan lemak tak jenuh<br />
- Makanan setengah padat (bubur atau makanan padat (nasi tim)<br />
- Susu khusus yang disesuaikan dengan kelainan yang ditemukan misalnya susu yang tidak mengandung laktosa dan asam lemak yang berantai sedang atau tak jenuh.<br />
c. Obat-obatan<br />
Prinsip pengobatan menggantikan cairan yang hilang dengan cairan yang mengandung elektrolit dan glukosa atau karbohidrat lain.<br />
2. Keperawatan<br />
Masalah klien diare yang perlu diperhatikan ialah resiko terjadinya gangguan sirkulasi darah, kebutuhan nutrisi, resiko komplikasi, gangguan rasa aman dan nyaman, kurangnya pengetahuan orang tua mengenai proses penyakit.<br />
Mengingat diare sebagian besar menular, maka perlu dilakukan penataan lingkungan sehingga tidak terjadi penularan pada klien lain.<br />
a. Data fokus<br />
1) Hidrasi<br />
- Turgor kulit<br />
- Membran mukosa<br />
- Asupan dan haluaran<br />
2) Abdomen <br />
- Nyeri<br />
- Kekauan<br />
- Bising usus<br />
- Muntah-jumlah, frekuensi dan karakteristik<br />
- Feses-jumlah, frekuensi, dan karakteristik<br />
- Kram<br />
- Tenesmus<br />
b. Diagnosa keperawatan <br />
- Resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan ketidakseimbangan antara intake dan out put.<br />
- Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan kontaminasi usus dengan mikroorganisme.<br />
- Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan iritasi yang disebabkan oleh peningkatan frekuensi BAB.<br />
- Cemas berhubungan dengan perpisahan dengan orang tua, tidak mengenal lingkungan, prosedur yang dilaksanakan.<br />
- Kecemasan keluarga berhubungan dengan krisis situasi atau kurangnya pengetahuan.<br />
c. Intervensi<br />
1) Tingkatkan dan pantau keseimbangan cairan dan elektrolit<br />
- Pantau cairan IV<br />
- Kaji asupan dan keluaran<br />
- Kaji status hidrasi<br />
- Pantau berat badan harian<br />
- Pantau kemampuan anak untuk rehidrasi <br />
- Melalui mulut<br />
2) Cegah iritabilitas saluran gastro intestinal lebih lanjut<br />
- Kaji kemampuan anak untuk mengkonsumsi melalui mulut (misalnya: pertama diberi cairan rehidrasi oral, kemudian meningkat ke makanan biasa yang mudah dicerna seperti: pisang, nasi, roti atau asi.<br />
- Hindari memberikan susu produk.<br />
- Konsultasikan dengan ahli gizi tentang pemilihan makanan.<br />
3) Cegah iritasi dan kerusakan kulit<br />
- Ganti popok dengan sering, kaji kondisi kulit setiap saat.<br />
- Basuh perineum dengan sabun ringan dan air dan paparkan terhadap udara.<br />
- Berikan salep pelumas pada rektum dan perineum (feses yang bersifat asam akan mengiritasi kulit).<br />
4) Ikuti tindakan pencegahan umum atau enterik untuk mencegah penularan infeksi (merujuk pada kebijakan dan prosedur institusi).<br />
5) Penuhi kebutuhan perkembangan anak selama hospitalisasi.<br />
- Sediakan mainan sesuai usia.<br />
- Masukan rutinitas di rumah selama hospitalisasi.<br />
- Dorong pengungkapan perasaan dengan cara-cara yang sesuai usia.<br />
6) Berikan dukungan emosional keluarga.<br />
- Dorong untuk mengekspresikan kekhawatirannya.<br />
- Rujuk layanan sosial bila perlu.<br />
- Beri kenyamanan fisik dan psikologis.<br />
7) Rencana pemulangan.<br />
- Ajarkan orang tua dan anak tentang higiene personal dan lingkungan.<br />
- Kuatkan informasi tentang diet.<br />
- Beri informasi tentang tanda-tanda dehidrasi pada orang tua.<br />
- Ajarkan orang tua tentang perjanjian pemeriksaan ulang.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
<br />
1. Betz Cecily L, Sowden Linda A. 2002. Buku Saku Keperawatan<br />
Pediatik, Jakarta, EGC<br />
2. Sachasin Rosa M. 1996. Prinsip Keperawatan Pediatik. Alih bahasa : <br />
Manulang R.F. Jakarta, EGC<br />
4. Arjatmo T. 2001. Keadaan Gawat yang mengancam jiwa, Jakarta gaya baruPuspo Widianotohttp://www.blogger.com/profile/18352577488779133633noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4942725209072240234.post-69247384172614907932010-12-08T12:17:00.001-08:002010-12-08T12:17:35.929-08:00DIABETES MELLITUSDIABETES MELLITUS<br />
<br />
A. Pengertian<br />
Diabetes mellitus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia. (Brunner dan Suddarth, 2002).<br />
Diabetes Melllitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar gula (glukosa) darah akibat kekurangan insulin baik absolut maupun relatif (Arjatmo, 2002).<br />
<br />
B. Klasifikasi<br />
Klasifikasi diabetes mellitus sebagai berikut :<br />
1. Tipe I : Diabetes mellitus tergantung insulin (IDDM)<br />
2. Tipe II : Diabetes mellitus tidak tergantung insulin (NIDDM)<br />
3. Diabetes mellitus yang berhubungan dengan keadaan atau sindrom lainnya<br />
4. Diabetes mellitus gestasional (GDM)<br />
<br />
C. Etiologi<br />
1. Diabetes tipe I:<br />
a. Faktor genetik<br />
Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe I itu sendiri; tetapi mewarisi suatu predisposisi atau kecenderungan genetik ke arah terjadinya DM tipe I. Kecenderungan genetik ini ditemukan pada individu yang memiliki tipe antigen HLA.<br />
b. Faktor-faktor imunologi<br />
Adanya respons otoimun yang merupakan respons abnormal dimana antibodi terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya seolah-olah sebagai jaringan asing. Yaitu otoantibodi terhadap sel-sel pulau Langerhans dan insulin endogen.<br />
c. Faktor lingkungan<br />
Virus atau toksin tertentu dapat memicu proses otoimun yang menimbulkan destruksi selbeta.<br />
2. Diabetes Tipe II<br />
Mekanisme yang tepat yang menyebabkan resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin pada diabetes tipe II masih belum diketahui. Faktor genetik memegang peranan dalam proses terjadinya resistensi insulin.<br />
Faktor-faktor resiko :<br />
a. Usia (resistensi insulin cenderung meningkat pada usia di atas 65 th)<br />
b. Obesitas<br />
c. Riwayat keluarga<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
D. Patofisiologi/Pathways<br />
<br />
Defisiensi Insulin<br />
<br />
glukagon↑ penurunan pemakaian <br />
glukosa oleh sel<br />
<br />
glukoneogenesis hiperglikemia<br />
<br />
lemak protein glycosuria<br />
<br />
ketogenesis BUN↑ Osmotic Diuresis<br />
<br />
ketonemia Nitrogen urine ↑ Dehidrasi<br />
<br />
↓ pH Hemokonsentrasi<br />
<br />
Asidosis Trombosis<br />
<br />
Aterosklerosis<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
E. Tanda dan Gejala<br />
Keluhan umum pasien DM seperti poliuria, polidipsia, polifagia pada DM umumnya tidak ada. Sebaliknya yang sering mengganggu pasien adalah keluhan akibat komplikasi degeneratif kronik pada pembuluh darah dan saraf. Pada DM lansia terdapat perubahan patofisiologi akibat proses menua, sehingga gambaran klinisnya bervariasi dari kasus tanpa gejala sampai kasus dengan komplikasi yang luas. Keluhan yang sering muncul adalah adanya gangguan penglihatan karena katarak, rasa kesemutan pada tungkai serta kelemahan otot (neuropati perifer) dan luka pada tungkai yang sukar sembuh dengan pengobatan lazim.<br />
Menurut Supartondo, gejala-gejala akibat DM pada usia lanjut yang sering ditemukan adalah :<br />
1. Katarak <br />
2. Glaukoma<br />
3. Retinopati<br />
4. Gatal seluruh badan<br />
5. Pruritus Vulvae<br />
6. Infeksi bakteri kulit<br />
7. Infeksi jamur di kulit<br />
8. Dermatopati<br />
9. Neuropati perifer<br />
10. Neuropati viseral<br />
11. Amiotropi<br />
12. Ulkus Neurotropik<br />
13. Penyakit ginjal<br />
14. Penyakit pembuluh darah perifer<br />
15. Penyakit koroner<br />
16. Penyakit pembuluh darah otak<br />
17. Hipertensi <br />
Osmotik diuresis akibat glukosuria tertunda disebabkan ambang ginjal yang tinggi, dan dapat muncul keluhan nokturia disertai gangguan tidur, atau bahkan inkontinensia urin. Perasaan haus pada pasien DM lansia kurang dirasakan, akibatnya mereka tidak bereaksi adekuat terhadap dehidrasi. Karena itu tidak terjadi polidipsia atau baru terjadi pada stadium lanjut.<br />
Penyakit yang mula-mula ringan dan sedang saja yang biasa terdapat pada pasien DM usia lanjut dapat berubah tiba-tiba, apabila pasien mengalami infeksi akut. Defisiensi insulin yang tadinya bersifat relatif sekarang menjadi absolut dan timbul keadaan ketoasidosis dengan gejala khas hiperventilasi dan dehidrasi, kesadaran menurun dengan hiperglikemia, dehidrasi dan ketonemia. Gejala yang biasa terjadi pada hipoglikemia seperti rasa lapar, menguap dan berkeringat banyak umumnya tidak ada pada DM usia lanjut. Biasanya tampak bermanifestasi sebagai sakit kepala dan kebingungan mendadak.<br />
Pada usia lanjut reaksi vegetatif dapat menghilang. Sedangkan gejala kebingungan dan koma yang merupakan gangguan metabolisme serebral tampak lebih jelas.<br />
F. Pemeriksaan Penunjang<br />
1. Glukosa darah sewaktu<br />
2. Kadar glukosa darah puasa<br />
3. Tes toleransi glukosa<br />
Kadar darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring diagnosis DM (mg/dl)<br />
Bukan DM Belum pasti DM DM<br />
Kadar glukosa darah sewaktu <br />
- Plasma vena<br />
- Darah kapiler<br />
Kadar glukosa darah puasa<br />
- Plasma vena<br />
- Darah kapiler <br />
<br />
< 100
<80
<110
<90
100-200
80-200
110-120
90-110
>200<br />
>200<br />
<br />
<br />
>126<br />
>110<br />
Kriteria diagnostik WHO untuk diabetes mellitus pada sedikitnya 2 kali pemeriksaan :<br />
1. Glukosa plasma sewaktu >200 mg/dl (11,1 mmol/L)<br />
2. Glukosa plasma puasa >140 mg/dl (7,8 mmol/L)<br />
3. Glukosa plasma dari sampel yang diambil 2 jam kemudian sesudah mengkonsumsi 75 gr karbohidrat (2 jam post prandial (pp) > 200 mg/dl<br />
<br />
G. Penatalaksanaan<br />
Tujuan utama terapi diabetes mellitus adalah mencoba menormalkan aktivitas insulin dan kadar glukosa darah dalam upaya untuk mengurangi komplikasi vaskuler serta neuropati. Tujuan terapeutik pada setiap tipe diabetes adalah mencapai kadar glukosa darah normal.<br />
Ada 5 komponen dalam penatalaksanaan diabetes :<br />
1. Diet<br />
2. Latihan<br />
3. Pemantauan<br />
4. Terapi (jika diperlukan)<br />
5. Pendidikan<br />
<br />
H. Pengkajian<br />
Riwayat Kesehatan Keluarga<br />
Adakah keluarga yang menderita penyakit seperti klien ?<br />
Riwayat Kesehatan Pasien dan Pengobatan Sebelumnya<br />
Berapa lama klien menderita DM, bagaimana penanganannya, mendapat terapi insulin jenis apa, bagaimana cara minum obatnya apakah teratur atau tidak, apa saja yang dilakukan klien untuk menanggulangi penyakitnya.<br />
Aktivitas/ Istirahat :<br />
Letih, Lemah, Sulit Bergerak / berjalan, kram otot, tonus otot menurun.<br />
<br />
Sirkulasi<br />
Adakah riwayat hipertensi,AMI, klaudikasi, kebas, kesemutan pada ekstremitas, ulkus pada kaki yang penyembuhannya lama, takikardi, perubahan tekanan darah<br />
Integritas Ego<br />
Stress, ansietas<br />
Eliminasi<br />
Perubahan pola berkemih ( poliuria, nokturia, anuria ), diare<br />
Makanan / Cairan<br />
Anoreksia, mual muntah, tidak mengikuti diet, penurunan berat badan, haus, penggunaan diuretik.<br />
Neurosensori<br />
Pusing, sakit kepala, kesemutan, kebas kelemahan pada otot, parestesia,gangguan penglihatan.<br />
Nyeri / Kenyamanan<br />
Abdomen tegang, nyeri (sedang / berat)<br />
Pernapasan<br />
Batuk dengan/tanpa sputum purulen (tergangung adanya infeksi / tidak)<br />
Keamanan<br />
Kulit kering, gatal, ulkus kulit.<br />
<br />
I. Masalah Keperawatan<br />
1. Resiko tinggi gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan<br />
2. Kekurangan volume cairan <br />
3. Gangguan integritas kulit<br />
4. Resiko terjadi injury<br />
<br />
J. Intervensi<br />
1. Resiko tinggi gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan berhubungan dengan penurunan masukan oral, anoreksia, mual, peningkatan metabolisme protein, lemak.<br />
Tujuan : kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi<br />
Kriteria Hasil :<br />
Pasien dapat mencerna jumlah kalori atau nutrien yang tepat<br />
Berat badan stabil atau penambahan ke arah rentang biasanya<br />
Intervensi :<br />
Timbang berat badan setiap hari atau sesuai dengan indikasi.<br />
Tentukan program diet dan pola makan pasien dan bandingkan dengan makanan yang dapat dihabiskan pasien.<br />
Auskultasi bising usus, catat adanya nyeri abdomen / perut kembung, mual, muntahan makanan yang belum sempat dicerna, pertahankan keadaan puasa sesuai dengan indikasi.<br />
Berikan makanan cair yang mengandung zat makanan (nutrien) dan elektrolit dengan segera jika pasien sudah dapat mentoleransinya melalui oral.<br />
Libatkan keluarga pasien pada pencernaan makan ini sesuai dengan indikasi.<br />
Observasi tanda-tanda hipoglikemia seperti perubahan tingkat kesadaran, kulit lembab/dingin, denyut nadi cepat, lapar, peka rangsang, cemas, sakit kepala.<br />
Kolaborasi melakukan pemeriksaan gula darah.<br />
Kolaborasi pemberian pengobatan insulin.<br />
Kolaborasi dengan ahli diet.<br />
<br />
2. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan diuresis osmotik.<br />
Tujuan : kebutuhan cairan atau hidrasi pasien terpenuhi<br />
Kriteria Hasil :<br />
Pasien menunjukkan hidrasi yang adekuat dibuktikan oleh tanda vital stabil, nadi perifer dapat diraba, turgor kulit dan pengisian kapiler baik, haluaran urin tepat secara individu dan kadar elektrolit dalam batas normal.<br />
<br />
Intervensi :<br />
Pantau tanda-tanda vital, catat adanya perubahan TD ortostatik<br />
Pantau pola nafas seperti adanya pernafasan kusmaul<br />
Kaji frekuensi dan kualitas pernafasan, penggunaan otot bantu nafas<br />
Kaji nadi perifer, pengisian kapiler, turgor kulit dan membran mukosa<br />
Pantau masukan dan pengeluaran<br />
Pertahankan untuk memberikan cairan paling sedikit 2500 ml/hari dalam batas yang dapat ditoleransi jantung<br />
Catat hal-hal seperti mual, muntah dan distensi lambung.<br />
Observasi adanya kelelahan yang meningkat, edema, peningkatan BB, nadi tidak teratur<br />
Kolaborasi : berikan terapi cairan normal salin dengan atau tanpa dextrosa, pantau pemeriksaan laboratorium (Ht, BUN, Na, K)<br />
<br />
3. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan perubahan status metabolik (neuropati perifer).<br />
Tujuan : gangguan integritas kulit dapat berkurang atau menunjukkan penyembuhan.<br />
Kriteria Hasil :<br />
Kondisi luka menunjukkan adanya perbaikan jaringan dan tidak terinfeksi<br />
Intervensi :<br />
Kaji luka, adanya epitelisasi, perubahan warna, edema, dan discharge, frekuensi ganti balut.<br />
Kaji tanda vital<br />
Kaji adanya nyeri<br />
Lakukan perawatan luka<br />
Kolaborasi pemberian insulin dan medikasi.<br />
Kolaborasi pemberian antibiotik sesuai indikasi.<br />
<br />
<br />
<br />
4. Resiko terjadi injury berhubungan dengan penurunan fungsi penglihatan<br />
Tujuan : pasien tidak mengalami injury<br />
Kriteria Hasil : pasien dapat memenuhi kebutuhannya tanpa mengalami injury<br />
Intervensi :<br />
Hindarkan lantai yang licin.<br />
Gunakan bed yang rendah.<br />
Orientasikan klien dengan ruangan.<br />
Bantu klien dalam melakukan aktivitas sehari-hari<br />
Bantu pasien dalam ambulasi atau perubahan posisi<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
<br />
Luecknote, Annette Geisler, Pengkajian Gerontologi alih bahasa Aniek Maryunani, Jakarta:EGC, 1997.<br />
<br />
Doenges, Marilyn E, Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien edisi 3 alih bahasa I Made Kariasa, Ni Made Sumarwati, Jakarta : EGC, 1999.<br />
<br />
Carpenito, Lynda Juall, Buku Saku Diagnosa Keperawatan edisi 6 alih bahasa YasminAsih, Jakarta : EGC, 1997.<br />
<br />
Smeltzer, Suzanne C, Brenda G bare, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth Edisi 8 Vol 2 alih bahasa H. Y. Kuncara, Andry Hartono, Monica Ester, Yasmin asih, Jakarta : EGC, 2002.<br />
<br />
Ikram, Ainal, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam : Diabetes Mellitus Pada Usia Lanjut jilid I Edisi ketiga, Jakarta : FKUI, 1996.<br />
<br />
Arjatmo Tjokronegoro. Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu.Cet 2. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 2002Puspo Widianotohttp://www.blogger.com/profile/18352577488779133633noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4942725209072240234.post-9000333622416138052010-12-08T12:16:00.001-08:002010-12-08T12:16:38.663-08:00ASKEP PADA PASIEN DENGAN GLUKOMAASKEP PADA PASIEN DENGAN GLUKOMA<br />
<br />
A. DEFINISI<br />
Glaukoma adalah suatu penyakit yang memberikan gambaran klinik berupa peninggian tekanan bola mata, penggaungan papil saraf optik dengan defek lapang pandangan mata.(Sidarta Ilyas,2000).<br />
Galukoma adalah sekelompok kelainan mata yang ditandai dengan peningkatan tekanan intraokuler.( Long Barbara, 1996)<br />
<br />
B. ETIOLOGI <br />
Penyakit yang ditandai dengan peninggian tekanan intraokuler ini disebabkan oleh : <br />
- Bertambahnya produksi cairan mata oleh badan ciliary <br />
- Berkurangnya pengeluaran cairan mata di daerah sudut bilik mata atau di celah pupil <br />
<br />
C. KLASIFIKASI<br />
1. Glaukoma primer <br />
- Glaukoma sudut terbuka<br />
Merupakan sebagian besar dari glaukoma ( 90-95% ) , yang meliputi kedua mata. Timbulnya kejadian dan kelainan berkembang secara lambat. Disebut sudut terbuka karena humor aqueousmempunyai pintu terbuka ke jaringan trabekular. Pengaliran dihambat oleh perubahan degeneratif jaringan rabekular, saluran schleem, dan saluran yg berdekatan. Perubahan saraf optik juga dapat terjadi. Gejala awal biasanya tidak ada, kelainan diagnose dengan peningkatan TIO dan sudut ruang anterior normal. Peningkatan tekanan dapat dihubungkan dengan nyeri mata yang timbul. <br />
- Glaukoma sudut tertutup(sudut sempit)<br />
Disebut sudut tertutup karena ruang anterior secara anatomis menyempit sehingga iris terdorong ke depan, menempel ke jaringan trabekular dan menghambat humor aqueous mengalir ke saluran schlemm. Pergerakan iris ke depan dapat karena peningkatan tekanan vitreus, penambahan cairan di ruang posterior atau lensa yang mengeras karena usia tua. Gejala yang timbul dari penutupan yang tiba- tiba dan meningkatnya TIO, dapat berupa nyeri mata yang berat, penglihatan yang kabur dan terlihat hal. Penempelan iris menyebabkan dilatasi pupil, bila tidak segera ditangani akan terjadi kebutaan dan nyeri yang hebat. <br />
2. Glaukoma sekunder <br />
Dapat terjadi dari peradangan mata , perubahan pembuluh darah dan trauma . Dapat mirip dengan sudut terbuka atau tertutup tergantung pada penyebab.<br />
- Perubahan lensa <br />
- Kelainan uvea<br />
- Trauma<br />
- bedah<br />
3. Glaukoma kongenital<br />
- Primer atau infantil<br />
- Menyertai kelainan kongenital lainnya <br />
4. Glaukoma absolut<br />
Merupakan stadium akhir glaukoma ( sempit/ terbuka) dimana sudah terjadi kebutaan total akibat tekanan bola mata memberikan gangguan fungsi lanjut .Pada glaukoma absolut kornea terlihat keruh, bilik mata dangkal, papil atrofi dengan eksvasi glaukomatosa, mata keras seperti batu dan dengan rasa sakit.sering mata dengan buta ini mengakibatkan penyumbatan pembuluh darah sehingga menimbulkan penyulit berupa neovaskulisasi pada iris, keadaan ini memberikan rasa sakit sekali akibat timbulnya glaukoma hemoragik. <br />
Pengobatan glaukoma absolut dapat dengan memberikan sinar beta pada badan siliar, alkohol retrobulber atau melakukan pengangkatan bola mata karena mata telah tidak berfungsi dan memberikan rasa sakit.<br />
<br />
Berdasarkan lamanya :<br />
1. GLAUKOMA AKUT<br />
a. Definisi<br />
Glaukoma akut adalah penyakit mata yang disebabkan oleh tekanan intraokuler yang meningkat mendadak sangat tinggi.<br />
b. Etiologi<br />
Dapat terjadi primer, yaitu timbul pada mata yang memiliki bakat bawaan berupa sudut bilik mata depan yang sempit pada kedua mata, atau secara sekunder sebagai akibat penyakit mata lain. Yang paling banyak dijumpai adalah bentuk primer, menyerang pasien usia 40 tahun atau lebih.<br />
<br />
c. Faktor Predisposisi<br />
Pada bentuk primer, faktor predisposisinya berupa pemakaian obat-obatan midriatik, berdiam lama di tempat gelap, dan gangguan emosional. Bentuk sekunder sering disebabkan hifema, luksasi/subluksasi lensa, katarak intumesen atau katarak hipermatur, uveitis dengan suklusio/oklusio pupil dan iris bombe, atau pasca pembedahan intraokuler.<br />
d. Manifestasi klinik<br />
1). Mata terasa sangat sakit. Rasa sakit ini mengenai sekitar mata dan daerah belakang kepala .<br />
2). Akibat rasa sakit yang berat terdapat gejala gastrointestinal berupa mual dan muntah , kadang-kadang dapat mengaburkan gejala glaukoma akut.<br />
3). Tajam penglihatan sangat menurun.<br />
4). Terdapat halo atau pelangi di sekitar lampu yang dilihat.<br />
5). Konjungtiva bulbi kemotik atau edema dengan injeksi siliar.<br />
6). Edema kornea berat sehingga kornea terlihat keruh.<br />
7). Bilik mata depan sangat dangkal dengan efek tyndal yang positif, akibat timbulnya reaksi radang uvea.<br />
8). Pupil lebar dengan reaksi terhadap sinar yang lambat.<br />
9). Pemeriksaan funduskopi sukar dilakukan karena terdapat kekeruhan media penglihatan.<br />
10). Tekanan bola mata sangat tinggi.<br />
11). Tekanan bola mata antara dua serangan dapat sangat normal.<br />
e. Pemeriksaan Penunjang<br />
Pengukuran dengan tonometri Schiotz menunjukkan peningkatan tekanan.<br />
Perimetri, Gonioskopi, dan Tonografi dilakukan setelah edema kornea menghilang.<br />
f. Penatalaksanaan<br />
Penderita dirawat dan dipersiapkan untuk operasi. Dievaluasi tekanan intraokuler (TIO) dan keadaan mata. Bila TIO tetap tidak turun, lakukan operasi segera. Sebelumnya berikan infus manitol 20% 300-500 ml, 60 tetes/menit. Jenis operasi, iridektomi atau filtrasi, ditentukan berdasarkan hasil pemeriksaab gonoskopi setelah pengobatan medikamentosa.<br />
<br />
<br />
<br />
2. GLAUKOMA KRONIK<br />
a. Definisi<br />
Glaukoma kronik adalah penyakit mata dengan gejala peningkatan tekanan bola mata sehingga terjadi kerusakan anatomi dan fungsi mata yang permanen.<br />
b. Etiologi<br />
Keturunan dalam keluarga, diabetes melitus, arteriosklerosis, pemakaian kortikosteroid jangka panjang, miopia tinggi dan progresif.<br />
c. Manifestasi klinik<br />
Gejala-gejala terjadi akibat peningkatan tekanan bola mata. Penyakit berkembang secara lambat namun pasti. Penampilan bola mata seperti normal dan sebagian tidak mempunyai keluhan pada stadium dini. Pada stadium lanjut keluhannya berupa pasien sering menabrak karena pandangan gelap, lebih kabur, lapang pandang sempit, hingga kebutaan permanen.<br />
d. Pemeriksaan Penunjang<br />
Pemeriksaan tekanan bola mata dengan palpasi dan tonometri menunjukkan peningkatan. Nilai dianggap abnormal 21-25 mmHg dan dianggap patologik diatas 25 mmHg.<br />
Pada funduskopi ditemukan cekungan papil menjadi lebih lebar dan dalam, dinding cekungan bergaung, warna memucat, dan terdapat perdarahan papil. Pemeriksaan lapang pandang menunjukkan lapang pandang menyempit, depresi bagian nasal, tangga Ronne, atau skotoma busur.<br />
e. Penatalaksanaan<br />
Pasien diminta datang teratur 6 bulan sekali, dinilai tekanan bola mata dan lapang pandang. Bila lapang pandang semakin memburuk,meskipun hasil pengukuran tekanan bola mata dalam batas normal, terapi ditingkatkan. Dianjurkan berolahraga dan minum harus sedikit-sedikit.<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
D. PATHWAY GLAUKOMA<br />
<br />
Usia > 40 th<br />
DM<br />
Kortikosteroid jangka panjang<br />
Miopia<br />
Trauma mata<br />
<br />
<br />
<br />
Obstruksi jaringan peningkatan tekanan <br />
Trabekuler Vitreus<br />
<br />
<br />
<br />
Hambatan pengaliran pergerakan iris kedepan<br />
Cairan humor aqueous<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
TIO meningkat Glaukoma TIO Meningkat<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Gangguan saraf optik tindakan operasi<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Perubahan penglihatan <br />
Perifer<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Kebutaan<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
E. ASUHAN KEPERAWATAN<br />
1). Pengkajian<br />
a) Aktivitas / Istirahat : <br />
Perubahan aktivitas biasanya / hobi sehubungan dengan gangguan penglihatan.<br />
b) Makanan / Cairan :<br />
Mual, muntah (glaukoma akut)<br />
<br />
<br />
c) Neurosensori :<br />
Gangguan penglihatan (kabur/tidak jelas), sinar terang menyebabkan silau dengan kehilangan bertahap penglihatan perifer, kesulitan memfokuskan kerja dengan dekat/merasa di ruang gelap (katarak).<br />
Penglihatan berawan/kabur, tampak lingkaran cahaya/pelangi sekitar sinar, kehilangan penglihatan perifer, fotofobia(glaukoma akut).<br />
Perubahan kacamata/pengobatan tidak memperbaiki penglihatan.<br />
Tanda :<br />
Papil menyempit dan merah/mata keras dengan kornea berawan.<br />
Peningkatan air mata.<br />
d) Nyeri / Kenyamanan :<br />
Ketidaknyamanan ringan/mata berair (glaukoma kronis)<br />
Nyeri tiba-tiba/berat menetap atau tekanan pada dan sekitar mata, sakit kepala (glaukoma akut).<br />
e) Penyuluhan / Pembelajaran<br />
Riwayat keluarga glaukoma, DM, gangguan sistem vaskuler.<br />
Riwayat stres, alergi, gangguan vasomotor (contoh: peningkatan tekanan vena), ketidakseimbangan endokrin.<br />
Terpajan pada radiasi, steroid/toksisitas fenotiazin.<br />
2). Pemeriksaan Diagnostik<br />
(1) Kartu mata Snellen/mesin Telebinokular (tes ketajaman penglihatan dan sentral penglihatan) : Mungkin terganggu dengan kerusakan kornea, lensa, aquous atau vitreus humor, kesalahan refraksi, atau penyakit syaraf atau penglihatan ke retina atau jalan optik.<br />
(2) Lapang penglihatan : Penurunan mungkin disebabkan CSV, massa tumor pada hipofisis/otak, karotis atau patologis arteri serebral atau glaukoma.<br />
(3) Pengukuran tonografi : Mengkaji intraokuler (TIO) (normal 12-25 mmHg)<br />
(4) Pengukuran gonioskopi :Membantu membedakan sudut terbuka dari sudut tertutup glaukoma.<br />
(5) Tes Provokatif :digunakan dalam menentukan tipe glaukoma jika TIO normal atau hanya meningkat ringan.<br />
(6) Pemeriksaan oftalmoskopi:Mengkaji struktur internal okuler, mencatat atrofi lempeng optik, papiledema, perdarahan retina, dan mikroaneurisma. <br />
(7) Darah lengkap, LED :Menunjukkan anemia sistemik/infeksi.<br />
(8) EKG, kolesterol serum, dan pemeriksaan lipid: Memastikan aterosklerosisi,PAK.<br />
(9) Tes Toleransi Glukosa :menentukan adanya DM.<br />
<br />
F. Diagnosa Keperawatan Dan Intervensi<br />
a. Nyeri b/d peningkatan tekanan intra okuler (TIO) yang ditandai dengan mual dan muntah.<br />
Tujuan : Nyeri hilang atau berkurang<br />
Kriteria hasil :<br />
- pasien mendemonstrasikan pengetahuan akan penilaian pengontrolan nyeri <br />
- pasien mengatakan nyeri berkurang/hilang<br />
- ekspresi wajah rileks<br />
Intervensi :<br />
- kaji tipe intensitas dan lokasi nyeri <br />
- kaji tingkatan skala nyeri untuk menentukan dosis analgesik<br />
- anjurkan istirahat ditempat tidur dalam ruangan yang tenang<br />
- atur sikap fowler 300 atau dalam posisi nyaman.<br />
- Hindari mual, muntah karena ini akan meningkatkan TIO<br />
- Alihkan perhatian pada hal-hal yang menyenangkan<br />
- Berikan analgesik sesuai anjuran<br />
b. Gangguan persepsi sensori : penglihatan b.d gangguan penerimaan;gangguan status organ ditandai dengan kehilangan lapang pandang progresif.<br />
Tujuan : Penggunaan penglihatan yang optimal<br />
Kriteria Hasil:<br />
- Pasien akan berpartisipasi dalam program pengobatan<br />
- Pasien akan mempertahankan lapang ketajaman penglihatan tanpa kehilangan lebih lanjut.<br />
Intervensi :<br />
- Pastikan derajat/tipe kehilangan penglihatan<br />
- Dorong mengekspresikan perasaan tentang kehilangan / kemungkinan kehilangan penglihatan<br />
- Tunjukkan pemberian tetes mata, contoh menghitung tetesan, menikuti jadwal, tidak salah dosis<br />
- Lakukan tindakan untuk membantu pasien menanganiketerbatasan penglihatan, contoh, kurangi kekacauan,atur perabot, ingatkan memutar kepala ke subjek yang terlihat; perbaiki sinar suram dan masalah penglihatan malam.<br />
- Kolaborasi obat sesuai dengan indikasi<br />
c. Ansitas b. d faktor fisilogis, perubahan status kesehatan, adanya nyeri, kemungkinan/kenyataan kehilangan penglihatan ditandai dengan ketakutan, ragu-ragu, menyatakan masalah tentang perubahan kejadian hidup.<br />
Tujuan : Cemas hilang atau berkurang<br />
Kriteria Hasil:<br />
- Pasien tampak rileks dan melaporkan ansitas menurun sampai tingkat dapat diatasi.<br />
- Pasien menunjukkan ketrampilan pemecahan masalah<br />
- Pasien menggunakan sumber secara efektif<br />
Intervensi : <br />
- Kaji tingkat ansitas, derajat pengalaman nyeri/timbul nya gejala tiba-tiba dan pengetahuan kondisi saat ini.<br />
- Berikan informasi yang akurat dan jujur. Diskusikan kemungkinan bahwa pengawasan dan pengobatan mencegah kehilangan penglihatan tambahan.<br />
- Dorong pasien untuk mengakui masalah dan mengekspresikan perasaan.<br />
- Identifikasi sumber/orang yang menolong.<br />
<br />
d. Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) tentang kondisi, prognosis, dan pengobatan b.d kurang terpajan/tak mengenal sumber, kurang mengingat, salah interpretasi, ditandai dengan ;pertanyaan, pernyataan salah persepsi, tak akurat mengikuti instruksi, terjadi komplikasi yang dapat dicegah.<br />
Tujuan : Klien mengetahui tentang kondisi,prognosis dan pengobatannya.<br />
Kriteria Hasil:<br />
- pasien menyatakan pemahaman kondisi, prognosis, dan pengobatan.<br />
- Mengidentifikasi hubungan antar gejala/tanda dengan proses penyakit<br />
- Melakukan prosedur dengan benar dan menjelaskan alasan tindakan.<br />
Intervensi : <br />
- Diskusikan perlunya menggunakan identifikasi, <br />
- Tunjukkan tehnik yang benar pemberian tetes mata.<br />
- Izinkan pasien mengulang tindakan.<br />
- Kaji pentingnya mempertahankan jadwal obat, contoh tetes mata. Diskusikan obat yang harus dihindari, contoh midriatik, kelebihan pemakaian steroid topikal.<br />
- Identifikasi efek samping/reaksi merugikan dari pengobatan (penurunan nafsu makan, mual/muntah, kelemahan, <br />
jantung tak teratur dll.<br />
- Dorong pasien membuat perubahan yang perlu untuk pola hidup<br />
- Dorong menghindari aktivitas,seperti mengangkat berat/men dorong, menggunakan baju ketat dan sempit.<br />
- Diskusikan pertimbangan diet, cairan adekuat dan makanan berserat.<br />
- Tekankan pemeriksaan rutin.<br />
- Anjurkan anggota keluarga memeriksa secara teratur tanda glaukoma.<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
<br />
1. Junadi P. dkk, Kapita Selekta Kedokteran, Media Aesculapius, FK-UI, 1982<br />
<br />
2. Sidarta Ilyas, Ilmu Penyakit Mata, FKUI, 2000.<br />
<br />
3. Long C Barbara. Medical surgical Nursing. 1992<br />
<br />
4. Doungoes, marilyn E, Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk Perencanaan Dan pendokumentasian perawatan pasien. Ed 3, EGC, Jakarta, 2000<br />
<br />
5. Susan Martin Tucker, Standar Perawatan Pasien : Proses Keperawatan, Diagnosisi dan Evaluasi. Ed 5 Vol3 EGC. Jakarta 1998<br />
<br />
6. Brunner & Suddart. Keperawatan Medical Bedah EGC. Jakarta 2002Puspo Widianotohttp://www.blogger.com/profile/18352577488779133633noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4942725209072240234.post-18894621248056026572010-12-08T12:14:00.001-08:002010-12-08T12:14:10.489-08:00ElektrokardiogramElektrokardiogram<br />
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas<br />
Langsung ke: navigasi, cari<br />
<br />
<br />
Cambridge Simpliscribe, instrumen EKG terkenal pada tahun 1950-an dan 1960-an. Teknologi saluran kosong.<br />
Elektrokardiogram (EKG) adalah grafik yang dibuat oleh sebuah elektrokardiograf, yang merekam aktivitas kelistrikan jantung dalam waktu tertentu. Namanya terdiri atas sejumlah bagian yang berbeda: elektro, karena berkaitan dengan elektronika, kardio, kata Yunani untuk jantung, gram, sebuah akar Yunani yang berarti "menulis". Analisis sejumlah gelombang dan vektor normal depolarisasi dan repolarisasi menghasilkan informasi diagnostik yang penting.<br />
Merupakan standar emas untuk diagnosis aritmia jantung[1] <br />
EKG memandu tingkatan terapi dan risiko untuk pasien yang dicurigai ada infark otot jantung akut [2] <br />
EKG membantu menemukan gangguan elektrolit (mis. hiperkalemia dan hipokalemia)[3] <br />
EKG memungkinkan penemuan abnormalitas konduksi (mis. blok cabang berkas kanan dan kiri)[4] <br />
EKG digunakan sebagai alat tapis penyakit jantung iskemik selama uji stres jantung[5] <br />
EKG kadang-kadang berguna untuk mendeteksi penyakit bukan jantung (mis. emboli paru atau hipotermia)[3] <br />
Elektrokardiogram tidak menilai kontraktilitas jantung secara langsung. Namun, EKG dapat memberikan indikasi menyeluruh atas naik-turunnya suatu kontraktilitas.[6]<br />
Daftar isi<br />
[sembunyikan]<br />
1 Sejarah <br />
2 Kertas perekam EKG <br />
3 Seleksi saring <br />
4 Sadapan <br />
4.1 Sadapan ekstremitas <br />
4.2 Sadapan ekstremitas tambahan <br />
4.3 Sadapan prekordial <br />
4.4 Sadapan dasar <br />
5 Gelombang dan interval <br />
5.1 Analisis irama <br />
5.2 Gelombang P <br />
5.3 Interval PR <br />
5.4 Kompleks QRS <br />
5.5 Segmen ST <br />
5.6 Gelombang T <br />
5.7 Interval QT <br />
5.8 Gelombang U <br />
6 Kumpulan sadapan klinis <br />
7 Sumbu <br />
8 Lihat pula <br />
9 Rujukan <br />
10 Pranala luar <br />
<br />
[sunting] Sejarah<br />
Alexander Muirhead menghubungkan kabel ke pergelangan tangan pasien yang sakit untuk memperoleh rekaman detak jantung pasien selama kuliah untuk DSc-nya (dalam listrik) pada tahun 1872 di St. Bartholomew's Hospital.[7] Aktivitas ini direkam secara langsung dan divisualisasikan menggunakan elektrometer kapiler Lippmann oleh seorang fisiolog Britania bernama John Burdon Sanderson.[8]<br />
Orang pertama yang mengadakan pendekatan sistematis pada jantung dari sudut pandang listrik adalah Augustus Waller, yang bekerja di St. Mary's Hospital di Paddington, London.[9] Mesin elektrokardiografnya terdiri atas elektrometer kapiler Lippmann yang dipasang ke sebuah proyektor. Jejak detak jantung diproyeksikan ke piringan foto yang dipasang ke sebuah kereta api mainan. Hal ini memungkinkan detak jantung untuk direkam dalam waktu yang sebenarnya. Pada tahun 1911 ia masih melihat karyanya masih jarang diterapkan secara klinis.<br />
Gebrakan bermula saat seorang dokter Belanda kelahiran Kota Semarang, Hindia Belanda (kini Indonesia) bernama Willem Einthoven, yang bekerja di Leiden, Belanda, menggunakan galvanometer senar yang ditemukannya pada tahun 1901, yang lebih sensitif daripada elektrometer kapiler yang digunakan Waller.[10]<br />
Einthoven menuliskan huruf P, Q, R, S dan T ke sejumlah defleksi, dan menjelaskan sifat-sifat elektrokardiografi sejumlah gangguan kardiovaskuler. Pada tahun 1924, ia dianugerahi Penghargaan Nobel dalam Fisiologi atau Kedokteran untuk penemuannya.[11]<br />
Meski prinsip dasar masa itu masih digunakan sekarang, sudah banyak kemajuan dalam elektrokardiografi selama bertahun-tahun. Sebagai contoh, peralatannya telah berkembang dari alat laboratorium yang susah dipakai ke sistem elektronik padat yang sering termasuk interpretasi elektrokardiogram yang dikomputerisasikan.[12]<br />
[sunting] Kertas perekam EKG<br />
<br />
<br />
Kertas perekam EKG<br />
Sebuah elektrokardiograf khusus berjalan di atas kertas dengan kecepatan 25 mm/s, meskipun kecepatan yang di atas daripada itu sering digunakan. Setiap kotak kecil kertas EKG berukuran 1 mm². Dengan kecepatan 25 mm/s, 1 kotak kecil kertas EKG sama dengan 0,04 s (40 ms). 5 kotak kecil menyusun 1 kotak besar, yang sama dengan 0,20 s (200 ms). Karena itu, ada 5 kotak besar per menit. 12 sadapan EKG berkualitas diagnostik dikalibrasikan sebesar 10 mm/mV, jadi 1 mm sama dengan 0,1 mV. Sinyal "kalibrasi" harus dimasukkan dalam tiap rekaman. Sinyal standar 1 mV harus menggerakkan jarum 1 cm secara vertikal, yakni 2 kotak besar di kertas EKG.<br />
[sunting] Seleksi saring<br />
Monitor EKG modern memiliki banyak penyaring untuk pemrosesan sinyal. Yang paling umum adalah mode monitor dan mode diagnostik. Dalam mode monitor, penyaring berfrekuensi rendah (juga disebut penyaring bernilai tinggi karena sinyal di atas ambang batas bisa lewat) diatur baik pada 0,5 Hz maupun 1 Hz dan penyaring berfrekuensi tinggi (juga disebut penyaring bernilai rendah karena sinyal di bawah ambang batas bisa lewat) diatur pada 40 Hz. Hal ini membatasi EKG untuk pemonitoran irama jantung rutin. Penyaring bernilai tinggi membantu mengurangi garis dasar yang menyimpang dan penyaring bernilai rendah membantu mengurangi bising saluran listrik 50 atau 60 Hz (frekuensi jaringan saluran listrik berbeda antara 50 dan 60 Hz di sejumlah negara). Dalam mode diagnostik, penyaring bernilai tinggi dipasang pada 0,05 Hz, yang memungkinkan segmen ST yang akurat direkam. Penyaring bernilai rendah diatur pada 40, 100, atau 150 Hz. Sebagai akibatnya, tampilan EKG mode monitor banyak tersaring daripada mode diagnostik, karena bandpassnya lebih sempit.[13]<br />
[sunting] Sadapan<br />
<br />
<br />
Grafik yang menunjukkan hubungan antara elektrode positif, muka gelombang depolarisasi (atau rerata vektor listrik), dan kompleks yang ditampilkan di EKG.<br />
Kata sadapan memiliki 2 arti pada elektrokardiografi: bisa merujuk ke kabel yang menghubungkan sebuah elektrode ke elektrokardiograf, atau (yang lebih umum) ke gabungan elektrode yang membentuk garis khayalan pada badan di mana sinyal listrik diukur. Lalu, istilah benda sadap longgar menggunakan arti lama, sedangkan istilah 12 sadapan EKG menggunakan arti yang baru. Nyatanya, sebuah elektrokardiograf 12 sadapan biasanya hanya menggunakan 10 kabel/elektroda. Definisi terakhir sadapan inilah yang digunakan di sini.<br />
Sebuah elektrokardiogram diperoleh dengan menggunakan potensial listrik antara sejumlah titik tubuh menggunakan penguat instrumentasi biomedis. Sebuah sadapan mencatat sinyal listrik jantung dari gabungan khusus elektrode rekam yang itempatkan di titik-titik tertentu tubuh pasien.<br />
Saat bergerak ke arah elektrode positif, muka gelombang depolarisasi (atau rerata vektor listrik) menciptakan defleksi positif di EKG di sadapan yang berhubungan. <br />
Saat bergerak dari elektrode positif, muka gelombang depolarisasi menciptakan defleksi negatif pada EKG di sadapan yang berhubungan. <br />
Saat bergerak tegak lurus ke elektrode positif, muka gelombang depolarisasi (atau rerata vektor listrik) menciptakan kompleks equifasik (atau isoelektrik) di EKG, yang akan bernilai positif saat muka gelombang depolarisasi (atau rerata vektor listrik) mendekati (A), dan kemudian menjadi negatif saat melintas dekat (B). <br />
Ada 2 jenis sadapan—unipolar dan bipolar. EKG lama memiliki elektrode tak berbeda di tengah segitiga Einthoven (yang bisa diserupakan dengan ‘netral’ stop kontak dinding) di potensial nol. Arah sadapan-sadapan ini berasal dari “tengah” jantung yang mengarah ke luar secara radial dan termasuk sadapan (dada) prekordial dan sadapan ekstremitas—VL, VR, & VF. Sebaliknya, EKG baru memiliki kedua elektrode itu di beberapa potensial dan arah elektrode yang berhubungan berasal dari elektrode di potensial yang lebih rendah ke tinggi, mis., di sadapan ekstremitas I, arahnya dari kiri ke kanan, yang termasuk sadapan ekstremitas --I, II, dan III.<br />
Catat bahwa skema warna untuk sadapan berbeda antarnegara.<br />
[sunting] Sadapan ekstremitas<br />
<br />
<br />
Sadapan I<br />
<br />
<br />
Sadapan II<br />
Sadapan I, II dan III disebut sadapan ekstremitas karena pernah pokoq elektrokardiogafi benar-benar harus menempatkan tangan dan kaki mereka di ember air asin untuk mendapatkan sinyal dari galvanometer senar Einthoven. EKG seperti itu membentuk dasar yang kini dikenal sebagai segitiga Einthoven.[2] Akhirnya, elektrode ditemukan sehingga dapat ditempatkan secara langsung di kulit pasien. Meskipun ember air asin sebentar saja diperlukannya, elektrode-elektrode itu masih ditempatkan di lengan dan kaki pasien untuk mengira-ngirakan sinyal yang diperoleh dari ember air asin itu. Elektrode-elektrode itu masih menjadi 3 sadapan pertama EKG 12 sadapan modern.<br />
Sadapan I adalah dipol dengan elektrode negatif (putih) di lengan kanan dan elektrode positif (hitam) di lengan kiri. <br />
Sadapan II adalah dipol dengan elektrode negatif (putih) di lengan kanan dan elektrode positif (merah) di kaki kiri. <br />
Sadapan III adalah dipol dengan elektrode negatif (hitam) di lengan kiri dan elektrode positif (merah) di kaki kiri. <br />
[sunting] Sadapan ekstremitas tambahan<br />
Sadapan aVR, aVL, dan aVF merupakan sadapan ekstremitas tambahan, yang diperoleh dari elektrode yang sama sebagai sadapan I, II, dan III. Namun, ketiga sadapan itu memandang jantung dari sudut (atau vektor) yang berbeda karena elektrode negatif untuk sadapan itu merupakan modifikasi terminal sentral Wilson, yang diperoleh dengan menambahkan sadapan I, II, dan III bersama dan memasangnya ke terminal negatif mesin EKG. Hal ini membidik elektrode negatif dan memungkinkan elektrode positif untuk menjadi "elektrode penjelajah" atau sadapan unipolar. Hal ini mungkin karena Hukum Einthoven menyatakan bahwa I + (-II) + III = 0. Persamaan itu juga bisa ditulis I + III = II. Ditulis dengan cara ini (daripada I + II + III = 0) karena Einthoven membalik polaritas sadapan II di segitiga Einthoven, mungkin karena ia suka melihat kompleks QRS tegak lurus. Terminal sentral Wilson meratakan jalan untuk perkembangan sadapan ekstremitas tambahan aVR, aVL, aVF dan sadapan prekordial V1, V2, V3, V4, V5, dan V6.<br />
Sadapan aVR atau "vektor tambahan kanan" memiliki elektrode positif (putih) di lengan kanan. Elektrode negatif merupakan gabungan elektrode lengan kiri (hitam) dan elektrode kaki kiri (merah), yang "menambah" kekuatan sinyal elektrode positif di lengan kanan. <br />
Sadapan aVL atau "vektor tambahan kiri" mempunyai elektrode positif (hitam) di lengan kiri. Elektrode negatif adalah gabungan elektrode lengan kanan (putih) dan elektrode kaki kiri (merah), yang "menambah" kekuatan sinyal elektrode positif di lengan kiri. <br />
Sadapan aVF atau "vektor tambahan kaki" mempunyai elektrode positif (merah) di kaki kiri. Elektrode negatif adalah gabungan elektrode lengan kanan (putih) dan elektrode lengan kiri (hitam), yang "menambah" sinyal elektrode positif di kaki kiri. <br />
Sadapan ekstremitas tambahan aVR, aVL, dan aVF diperkuat dengan cara ini karena sinyal itu terlalu kecil untuk berguna karena elektrode negatifnya adalah terminal sentral Wilson. Bersama dengan sadapan I, II, dan III, sadapan ekstremitas tambahan aVR, aVL, dan aVF membentuk dasar sistem rujukan heksaksial, yang digunakan untuk menghitung sumbu kelistrikan jantung di bidang frontal.<br />
[sunting] Sadapan prekordial<br />
<br />
<br />
Penempatan sadapan prekordial yang benar.<br />
Sadapan prekordial V1, V2, V3, V4, V5, dan V6 ditempatkan secara langsung di dada. Karena terletak dekat jantung, 6 sadapan itu tak memerlukan augmentasi. Terminal sentral Wilson digunakan untuk elektrode negatif, dan sadapan-sadapan tersebut dianggap unipolar. Sadapan prekordial memandang aktivitas jantung di bidang horizontal. Sumbu kelistrikan jantung di bidang horizontal disebut sebagai sumbu Z.<br />
Sadapan V1, V2, dan V3 disebut sebagai sadapan prekordial kanan sedangkan V4, V5, dan V6 disebut sebagai sadapan prekordial kiri.<br />
Kompleks QRS negatif di sadapan V1 dan positif di sadapan V6. Kompleks QRS harus menunjukkan peralihan bertahap dari negatif ke positif antara sadapan V2 dan V4. Sadapan ekuifasik itu disebut sebagai sadapan transisi. Saat terjadi lebih awal daripada sadapan V3, peralihan ini disebut sebagai peralihan awal. Saat terjadi setelah sadapan V3, peralihan ini disebut sebagai peralihan akhir. Harus ada pertambahan bertahap pada amplitudo gelombang R antara sadapan V1 dan V4. Ini dikenal sebagai progresi gelombang R. Progresi gelombang R yang kecil bukanlah penemuan yang spesifik, karena dapat disebabkan oleh sejumlah abnormalitas konduksi, infark otot jantung, kardiomiopati, dan keadaan patologis lainnya.<br />
Sadapan V1 ditempatkan di ruang intercostal IV di kanan sternum. <br />
Sadapan V2 ditempatkan di ruang intercostal IV di kiri sternum. <br />
Sadapan V3 ditempatkan di antara sadapan V2 dan V4. <br />
Sadapan V4 ditempatkan di ruang intercostal V di linea (sekalipun detak apeks berpindah). <br />
Sadapan V5 ditempatkan secara mendatar dengan V4 di linea axillaris anterior. <br />
Sadapan V6 ditempatkan secara mendatar dengan V4 dan V5 di linea midaxillaris. <br />
[sunting] Sadapan dasar<br />
Sebuah elektrode tambahan (biasanya hijau) terdapat di EKG 4 dan 12 sadapan modern, yang disebut sebagai sadapan dasar yang menurut kesepakatan ditempatkan di kaki kiri, meski secara teoretis dapat ditempatkan di manapun pada tubuh. Dengan EKG 3 sadapan, saat 1 dipol dipandang, sisanya menjadi sadapan dasar bila tiada.<br />
[sunting] Gelombang dan interval<br />
<br />
<br />
Gambaran skematik EKG normal<br />
Sebuah EKG yang khas melacak detak jantung normal (atau siklus jantung) terdiri atas 1 gelombang P, 1 kompleks QRS dan 1 gelombang T. Sebuah gelombang U kecil normalnya terlihat pada 50-75% di EKG. Voltase garis dasar elektrokardiogram dikenal sebagai garis isoelektrik. Khasnya, garis isoelektrik diukur sebagai porsi pelacakan menyusul gelombang T dan mendahului gelombang P berikutnya.<br />
[sunting] Analisis irama<br />
Ada beberapa aturan dasar yang dapat diikuti untuk mengenali irama jantung pasien. Bagaimana denyutannya? Teratur atau tidak? Adakah gelombang P? Adakah kompleks QRS? Adakah perbandingan 1:1 antara gelombang P dan kompleks QRS? Konstankah interval PR?<br />
[sunting] Gelombang P<br />
Selama depolarisasi atrium normal, vektor listrik utama diarahkan dari nodus SA ke nodus AV, dan menyebar dari atrium kanan ke atrium kiri. Vektor ini berubah ke gelombang P di EKG, yang tegak pada sadapan II, III, dan aVF (karena aktivitas kelistrikan umum sedang menuju elektrode positif di sadapan-sadapan itu), dan membalik di sadapan aVR (karena vektor ini sedang berlalu dari elektrode positif untuk sadapan itu). Sebuah gelombang P harus tegak di sadapan II dan aVF dan terbalik di sadapan aVR untuk menandakan irama jantung sebagai Irama Sinus.<br />
Hubungan antara gelombang P dan kompleks QRS membantu membedakan sejumlah aritmia jantung. <br />
Bentuk dan durasi gelombang P dapat menandakan pembesaran atrium. <br />
[sunting] Interval PR<br />
Interval PR diukur dari awal gelombang P ke awal kompleks QRS, yang biasanya panjangnya 120-200 ms. Pada pencatatan EKG, ini berhubungan dengan 3-5 kotak kecil.<br />
Interval PR lebih dari 200 ms dapat menandakan blok jantung tingkat pertama. <br />
Interval PR yang pendek dapat menandakan sindrom pra-eksitasi melalui jalur tambahan yang menimbulkan pengaktifan awal ventrikel, seperti yang terlihat di Sindrom Wolff-Parkinson-White. <br />
Interval PR yang bervariasi dapat menandakan jenis lain blok jantung. <br />
Depresi segmen PR dapat menandakan lesi atrium atau perikarditis. <br />
Morfologi gelombang P yang bervariasi pada sadapan EKG tunggal dapat menandakan irama pacemaker ektopik seperti pacemaker yang menyimpang maupun takikardi atrium multifokus <br />
[sunting] Kompleks QRS<br />
<br />
<br />
Sejumlah kompleks QRS beserta tatanamanya.<br />
Lihat juga: Sistem konduksi listrik jantung <br />
Kompleks QRS adalah struktur EKG yang berhubungan dengan deplarisasi ventrikel. Karena ventrikel mengandung lebih banyak massa otot daripada atrium, kompleks QRS lebih besar daripada gelombang P. Di samping itu, karena sistem His/Purkinje mengkoordinasikan depolarisasi ventrikel, kompleks QRS cenderung memandang "tegak" daripada membundar karena pertambahan kecepatan konduksi. Kompleks QRS yang normal berdurasi 0,06-0.10 s (60-100 ms) yang ditunjukkan dengan 3 kotak kecil atau kurang, namun setiap ketidaknormalan konduksi bisa lebih panjang, dan menyebabkan perluasan kompleks QRS.<br />
Tak setiap kompleks QRS memuat gelombang Q, gelombang R, dan gelombang S. Menurut aturan, setiap kombinasi gelombang-gelombang itu dapat disebut sebagai kompleks QRS. Namun, penafsiran sesungguhnya pada EKG yang sulit memerlukan penamaan yang pasti pada sejumlah gelombang. Beberapa penulis menggunakan huruf kecil dan besar, bergantung pada ukuran relatif setiap gelombang. Sebagai contoh, sebuah kompleks Rs akan menunjukkan defleksi positif, sedangkan kompleks rS akan menunjukkan defleksi negatif. Jika kedua kompleks itu dinamai RS, takkan mungkin untuk menilai perbedaan ini tanpa melihat EKG yang sesungguhnya.<br />
Durasi, amplitudo, dan morfologi kompleks QRS berguna untuk mendiagnosis aritmia jantung, abnormalitas konduksi, hipertrofi ventrikel, infark otot jantung, gangguan elektrolit, dan keadaan sakit lainnya. <br />
Gelombang Q bisa normal (fisiologis) atau patologis. Bila ada, gelombang Q yang normal menggambarkan depolarisasi septum interventriculare. Atas alasan ini, ini dapat disebut sebagai gelombang Q septum dan dapat dinilai di sadapan lateral I, aVL, V5 dan V6. <br />
Gelombang Q lebih besar daripada 1/3 tinggi gelombang R, berdurasi lebih besar daripada 0,04 s (40 ms), atau di sadapan prekordial kanan dianggap tidak normal, dan mungkin menggambarkan infark miokardium. <br />
<br />
<br />
Animasi gelombang EKG yang normal.<br />
[sunting] Segmen ST<br />
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Infark otot jantung<br />
Segmen ST menghubungkan kompleks QRS dan gelombang T serta berdurasi 0,08-0,12 s (80-120 ms). Segmen ini bermula di titik J (persimpangan antara kompleks QRS dan segmen ST) dan berakhir di awal gelombang T. Namun, karena biasanya sulit menentukan dengan pasti di mana segmen ST berakhir dan gelombang T berawal, hubungan antara segmen ST dan gelombang T harus ditentukan bersama. Durasi segmen ST yang khas biasanya sekitar 0,08 s (80 ms), yang pada dasarnya setara dengan tingkatan segmen PR dan TP.<br />
Segmen ST normal sedikit cekung ke atas. <br />
Segmen ST yang datar, sedikit landai, atau menurun dapat menandakan iskemia koroner. <br />
Elevasi segmen ST bisa menandakan infark otot jantung. Elevasi lebih dari 1 mm dan lebih panjang dari 80 ms menyusul titik J. Tingkat ukuran ini bisa positif palsu sekitar 15-20% (yang sedikit lebih tinggi pada wanita daripada pria) dan negatif palsu sebesar 20-30%.[14] <br />
[sunting] Gelombang T<br />
Gelombang T menggambarkan repolarisasi (atau kembalinya) ventrikel. Interval dari awal kompleks QRS ke puncak gelombang T disebut sebagai periode refraksi absolut. Separuh terakhir gelombang T disebut sebagai periode refraksi relatif (atau peride vulnerabel).<br />
Pada sebagian besar sadapan, gelombang T positif. Namun, gelombang T negatif normal di sadapan aVR. Sadapan V1 bisa memiliki gelombang T yang positif, negatif, atau bifase. Di samping itu, tidak umum untuk mendapatkan gelombang T negatif terisolasi di sadapan III, aVL, atau aVF.<br />
Gelombang T terbalik (atau negatif) bisa menjadi iskemia koroner, sindrom Wellens, hipertrofi ventrikel kiri, atau gangguan SSP. <br />
Gelombang T yang tinggi atau "bertenda" bisa menandakan hiperkalemia. Gelombang T yang datar dapat menandakan iskemia koroner atau hipokalemia. <br />
Penemuan elektrokardiografi awal atas infark otot jantung akut terkadang gelombang T hiperakut, yang dapat dibedakan dari hiperkalemia oleh dasar yang luas dan sedikit asimetri. <br />
Saat terjadi abnormalitas konduksi (mis., blok cabang berkas, irama bolak-balik), gelombang T harus didefleksikan berlawanan dengan defleksi terminal kompleks QRS, yang dikenal sebagai kejanggalan gelombang T yang tepat. <br />
[sunting] Interval QT<br />
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Interval QT<br />
Interval QT diukur dari awal kompleks QRS ke akhir gelombang T. Interval QT yang normal biasanya sekitar 0,40 s. Interval QT di samping yang terkoreksi penting dalam diagnosis sindrom QT panjang dan sindrom QT pendek. Interval QT beragam berdasarkan pada denyut jantung, dan sejumlah faktor koreksi telah dikembangkan untuk mengoreksi interval QT untuk denyut jantung.<br />
Cara yang paling umum digunakan untuk mengoreksi interval QT untuk denyut pernah dirumuskan oleh Bazett dan diterbitkan pada tahun 1920.[15] Rumus Bazett adalah , di mana QTc merupakan interval QT yang dikoreksi untuk denyut, dan RR adalah interval dari bermulanya satu kompleks QRS ke bermulanya kompleks QRS berikutnya, diukur dalam detik. Namun, rumus ini cenderung tidak akurat, dan terjadi kelebihan koreksi di denyut jantung tinggi dan kurang dari koreksi di denyut jantung rendah.<br />
[sunting] Gelombang U<br />
Gelombang U tak selalu terlihat. Gelombang ini khasnya kecil, dan menurut definisi, mengikuti gelombang T. Gelombang U diperkirakan menggambarkan repolarisasi otot papillaris atau serabut Purkinje. Gelombang U yang menonjol sering terlihat di hipokalemia, namun bisa ada di hiperkalsemia, tirotoksikosis, atau pemajanan terhadap digitalis, epinefrin, dan antiaritmia Kelas 1A dan 3, begitupun di sindrom QT panjang bawaan dan di keadaan pendarahan intrakranial. Sebuah gelombang U yang terbalik dapat menggambarkan iskemia otot jantung atau kelebihan muatan volume di ventrikel kiri.[16]<br />
[sunting] Kumpulan sadapan klinis<br />
<br />
<br />
Diagram yang menunjukkan sadapan-sadapan yang berdampingan dengan warna yang sama<br />
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Infark otot jantung<br />
Jumlah sadapan EKG ada 12, masing-masing merekam aktivitas kelistrikan jantung dari sudut yang berbeda, yang juga berkaitan dengan area-area anatomis yang berbeda dengan tujuan mengidentifikasi iskemia korner akut atau lesi. 2 sadapan yang melihat ke area anatomis yang sama di jantung dikatakan bersebelahan (lihat tabel berkode warna).<br />
Sadapan inferior (sadapan II, III dan aVF) memandang aktivitas listrik dari tempat yang menguntungkan di dinding inferior (atau diafragmatik) ventrikel kiri. <br />
Sadapan lateral (I, aVL, V5 dan V6) melihat aktivitas kelistrikan dari titik yang menguntungkan di dinding lateral ventrikel kiri. Karena elektrode positif untuk sadapan I dan aVL terletak di bahu kiri, sadapan I dan aVL terkadang disebut sebagai sadapan lateral atas. Karena ada di dada pasien, elektode positif untuk sadapan V5 dan V6 disebut sebagai sadapan lateral bawah. <br />
Sadapan septum, V1 and V2 memandang aktivitas kelistrikan dari titik yang menguntungkan di dinding septum anatomi kiri, yang sering dikelmpkkan bersama dengan sadapan anterior. <br />
Sadapan anterior, V3 dan V4 melihat aktivitas kelistrikan dari tempat yang menguntungkan di anterior ventrikel kiri. <br />
Di samping itu, setiap 2 sadapan prekordial yang berdampingan satu sama lain dianggap bersebelahan. Sebagai contoh, meski V4 itu sadapan anterior dan V5 lateral, 2 sadapan itu bersebelahan karena berdekatan satu sama lain. <br />
Sadapan aVR tak menampakkan pandangan khusus atas ventrikel kiri. Sebagai gantinya, sadapan ini melihat bagian dalam dinding endokardium dari sudut pandangnya di bahu kanan. <br />
[sunting] Sumbu<br />
<br />
<br />
Diagram yang menunjukkan bagaimana polaritas kompleks QRS di sadapan I, II, dan III dapat digunakan untuk memperkirakan sumbu listrik jantung dalam bidang frontal.<br />
Sumbu kelistrikan jantung merujuk ke arah umum muka gelombang depolarisasi jantung (atau rerata vektor listrik) di bidang frontal. Biasanya berorientasi di arah bahu kanan ke kaki kiri, yang berhubungan dengan kuadran inferior kiri sistem rujukan heksaksial, meski -30o hingga +90o dianggap normal.<br />
Deviasi sumbu kiri (-30o hingga -90o) dapat menandakan blok fasciculus anterior kiri atau gelombang Q dari infark otot jantung inferior. <br />
Deviasi sumbu kanan (+90o hingga +180o) dapat menandakan blok fasciculus posterior kiri, gelombang Q dari infark otot jantung lateral atas, atau pola nada ventrikel kanan. <br />
Dalam keadaan blok cabang berkas kanan, deviasi kanan atau kiri dapat menandakan blok bifasciculus. <br />
[sunting] Lihat pula<br />
ACLS <br />
Balistokardiograf <br />
Blok cabang berkas <br />
Siklus jantung <br />
Sistem konduksi kelistrikan jantung <br />
Teknisi elektrokardiogram <br />
Elektroensefalografi <br />
Elektrogastrogram <br />
Elektroretinografi <br />
Monitor denyut jantung <br />
Monitor Holter <br />
Defleksi intrinsikoid <br />
Infark otot jantung <br />
[sunting] Rujukan<br />
1. ^ Braunwald E. (Editor), Heart Disease: A Textbook of Cardiovascular Medicine, Fifth Edition, p. 108, Philadelphia, W.B. Saunders Co., 1997. ISBN 0-7216-5666-8. <br />
2. ^ "2005 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care - Part 8: Stabilization of the Patient With Acute Coronary Syndromes." Circulation 2005; 112: IV-89 - IV-110. <br />
3. ^ a b "The clinical value of the ECG in noncardiac conditions." Chest 2004; 125(4): 1561-76. PMID 15078775 <br />
4. ^ Braunwald E. (Editor), Heart DiseasePuspo Widianotohttp://www.blogger.com/profile/18352577488779133633noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4942725209072240234.post-81964730129666361132010-12-08T12:04:00.001-08:002010-12-08T12:04:52.177-08:00KATARAKKATARAK <br />
<br />
<br />
<br />
Katarak adalah proses kekeruhan lensa mata karena terganggunya metabolisme lensa. Katarak dapat menimbulkan kebutaan, tetapi kebutaan oleh katarak dapat ditanggulangi. Prevalensi kebutaan katarak di Indonesia sebesar 1,47% pada tahun 1994, dan yang terbesar karena katarak senilis/ ketuaan.<br />
Pembagian Katarak<br />
• Katarak Seilis / Ketuaan, yaitu katarak yang timbul setelah umur 40 tahun, proses pasti belum diketahui, diduga karena ketuaan/ degenaasi.<br />
• Katarak Kongenital, yaitu katarak yang timbul sejak dalam kandungan atau timbul setelah dilahirkan, umumnya disebabkan karena adanya infeksi, dan kelainan metabolisme pada saat pembentukan janin. Katarak Kongenital yang sering timbul karena infeksi saat ibu mengandung, terutama pada kehamilan 3 bulan pertama. Penyakit yang dapat menyebabkan katarak: Toksoplasmosis, dan Rubella/ German measle<br />
• Katarak Traumatika, yaitu katarak yang dapat menyerang semua umur, biasanya karena pasca trauma baik tajam maupun tumpul pada mata terutama mengenai lensa.<br />
• Katarak Komplikata, adalah katarak yang timbul pasca infeksi mata.<br />
Penanganan Katarak<br />
Kebutaan katarak dapat diatasi dengan operasi yaitu pengambilan lensa keruh. Ada beberapa tekinik operasi yang dilakukan di Rumah Sakit Yap, yaitu:<br />
Operasi dengan irisan luas dengan jahitan konvensional dan dengan irisan kecil tanpa jahitan lensa dikeluarkan dengan alat Phaceomulsifikasi (small incision surgy).<br />
Pemilihan teknik operasi ini tergantung keras/ lunaknya lensa. Setelah lensa katarak diambil, penderita hanya dapat menhitung jari pada jarak 1 meter, kecuali penderita diganti lensanya.<br />
Penggantian lensa ada dua cara yaitu:<br />
• Penderita setelah dioperasi diberi kacamata atau lensa kontak positif ±10 dioptri.<br />
• Penderita dipasang lensa tanam bersamaan waktu dilakukan operasi, keuntungannya adalah penderita setelah operasi penderita langsung dapat melihat jelas, tidak perlu memakai kacamata sangat tebal, lapang pandang penderita tetap luas dan distorsi sinar dapat dihilangkan. <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
KORNEA DAN INFEKSI MATA LUAR <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
KORNEA<br />
Kornea adalah selaput bening yang letaknya dibagian terdepan bola mata dan bersifat tembus pandang. Cahaya dapat masuk dan mencapai sel-sel penerima cahaya didalam bola mata. Bagian luar kornea dilapisi air mata, sedang bagian dalamnya terdapat cairan akuos.<br />
Kegunaan Kornea<br />
• Kornea mempunyai kemempuan membiaskan cahaya yang paling kuat dibanding dengan sistem optik retraktif lainnya.<br />
• Kubah kornea akan membiaskan sinar kelubang pupil didepan lensa. Kubah kornea yang semakin cembung akan memiliki daya bias yang kuat.<br />
• Peran kornea sangat penting dalam menghantarkan cahaya masuk kedalam mata untuk menghasilkan penglihatan yang tajam, maka kornea memerlukan kejernihan, kehalusan dan kelengkungan yang tertentu.<br />
Faktor yang menyebabkan kejernihan kornea<br />
• Tidak mengandung zat tanduk, pembuluh darah, struktur dan susunan jaringan relatif homogen dan teratur.<br />
• Permukaan kornea dikelilingi oleh cairan, agar mampu menahan cairan dan untuk mempertahankan kadar cairan pada tingkat tertentu maka dibagian depan kornea terdapat epitel dan dibagian belakang dilapisi endotel, yang berfungsi memompa cairan keluar kornea apabila berlebihan.<br />
<br />
<br />
Mengapa kornea keruh?<br />
Terganggunya faktor yang menyebabkan kejernihan tersebut, seperti tersebut diatas terganggu dapat menimbulkan kekeruhan kornea. Menurunnya tingkat kejernihan atau kekeruhan dapat bersifat sementara atau menetap atau selemanya.<br />
Kekeruhan kornea dapat disebabkan karena kornea terluka, misalnya: karena trauma, infeksi oleh bakteri, jamur atau virus, atau terjadi reaksi penolakan tubuh atau autoimun, atau akibat kelainan bawaan yaitu terdapat penumpukan material abnormal, kerusakan endotel akibat kenaikan tekanan bola mata, bahkan komplikasi tindakan bedah.<br />
Penurunan kejernihan kornea dapat menimbulkan gangguan penglihatan, mulai dari rasa silau sampai terjadi penurunan ketajaman penglihatan sampai kebutaan.<br />
Sebagian penderita yang terganggu penglihatannya atau kebutaan akibat kerusakan kornea masih dapat dipulihkan kembali penglihatannya dengan tindakan pencangkokan (transplantasi) kornea, dalam istilah kedokteran disebut KERATOPLASTI.<br />
Transplantasi Kornea<br />
Pencangkokan kornea dilakukan dengan cara mengangkat kornea penderita yang keruh dan menggantinya dengan kornea donor yang masih jernih.<br />
Tindakan ini dibedakan menjadi:<br />
Pencangkokan Kornea Lameler, hanya sebagian dilapisi kornea yang diganti oleh kornea donor. Tindakan ini dilakukan apabila lapisan endotel penderita masih dapat menjalankan fungsi pompanya dengan baik.<br />
Pencangkokan Kornea Tembus, dilakukan apabila seluruh lapisan kornea penderita diangkat dan digantikan dengan kornea donor.<br />
Tujuan dan Indikasi dilakukan pencangkokan kornea dibagi menjadi:<br />
• Indikasi Optik<br />
Bertujuan untuk memulihkan kemampuan penglihatan penderita secara optimal. Biasanya dilakukan pada kerusakan kornea yang minimal dan tanpa ada penyulit tindakan.<br />
• Indikasi Terapeutik<br />
Dilakukan untuk menghilangkan keadaan patologik dijaringan kornea yang diperkirakan dapat merusak bola mata secara keseluruhan, misalnya karena infeksi bakteri atau jamur.<br />
• Indikasi Tektonik<br />
Dilakukan untuk memperbaiki struktur jaringan kornea yang mengalami penipisan dan kerusakan yang mengancam keutuhan bola mata. Keadaan ini sering disebabkan oleh infeksi maupun trauma.<br />
• Indikasi Kosmetik<br />
Tindakan ini dilakukan hanya untuk memulihkan kejernihan kornea, karena kemampuan penglihatan tidak dapat dipulihkan karena sistem saraf penglihatan terganggu.<br />
Syarat calon donor:<br />
• Kornea calon donor jernih.<br />
• Usia tidak terlalu tua.<br />
• Tidak menderita penyakit : Hepatitis, HIV, Tumor mata, Septikhemia, Sipilis, Glaukoma, Leukimia, serta tumor-tumor yang meyebar seperti: kanker payudara dan kamker leher rahim.<br />
• Mata harus diambil kurang dari 6 jam setelah meninggal dunia.<br />
• Kornea donor harus digunakan dalam waktu kurang dari 24 jam.<br />
Syarat calon resipien:<br />
• Letak kerusakan kornea dibagian tengah.<br />
• Tidak ada bentukan pembuluh darah.<br />
• Relatif dalam keadaan tenang.<br />
• Jaringan kornea yang keruh bebas dari perlekatan dengan jaringan lain didalam bola mata.<br />
• Tekanan bola mata normal.<br />
• Kondisi airmata dan selaput lendir (konjungtiva) relatif normal.<br />
Tingkat Keberhasilan<br />
Tingkat keberhasilan tindakan teransplantasi kornea tergantung banyak faktor antara lain:<br />
• Keadaan kornea calon donor<br />
• Kondisi mata calon resipien<br />
• Penyulit operasi<br />
• Penyulit paska bedah<br />
• Reaksi penolakan Kornea donor<br />
• Status RetraktifPuspo Widianotohttp://www.blogger.com/profile/18352577488779133633noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4942725209072240234.post-4129639295913017372010-12-08T12:02:00.001-08:002010-12-08T12:02:44.784-08:00NyeriNyeri<br />
DEFINISI<br />
Nyeri merupakan perasaan tidak menyenangkan yang merupakan pertanda bahwa tubuh telah mengalami kerusakan atau terancam oleh suatu cedera. <br />
<br />
Nyeri berawal dari reseptor nyeri yang tersebar di seluruh tubuh. <br />
Reseptor nyeri ini menyampaikan pesan sebagai impuls listrik di sepanjang saraf yang menuju ke medula spinalis dan kemudian diteruskan ke otak. <br />
<br />
Kadang ketika sampai di medula spinalis, sinyal ini menyebabkan terjadinya respon refleks; jika hal ini terjadi, maka sinyal segera dikirim kembali di sepanjang saraf motorik ke sumber nyeri dan menyebabkan terjadinya kontraksi otot. <br />
Contoh dari respon refleks adalah reaksi segera menarik tangan ketika menyentuh sesuatu yang sangat panas. <br />
<br />
Sinyal nyeri juga sampai ke otak. <br />
Seseorang akan akan merasakan nyeri hanya jika otak mengolah sinyal ini dan mengartikannya sebagai nyeri. <br />
<br />
Reseptor nyeri dan jalur sarafnya berbeda pada setiap bagian tubuh. <br />
Karena itu, sensasi nyeri bervariasi berdasarkan jenis dan lokasi dari cedera yang terjadi. <br />
Reseptor nyeri di kuklit sangat banyak dan mampu meneruskan informasi secara akurat. Sedangkan sinyal nyeri dari usus sangat terbatas dan tidak akurat. Otak tidak dapat menentukan sumber yang tepat dari nyeri di usus, lokasi nyeri sulit ditentukan dan cenderung dirasakan di daerah yang lebih luas. <br />
<br />
Nyeri yang dirasakan di beberapa daerah tubuh tidak secara pasti mewakili lokasi kelainannya, karena nyeri bisa berpindah ke daerah lain (referred pain). <br />
Referred pain terjadi karena sinyal dari beberapa daerah di tubuh seringkali masuk ke dalam jalur saraf yang sama ke medula spinalis dan otak. <br />
Misalnya nyeri karena serangan jantung bisa dirasakan di leher, rahang, lengan atau perut dan nyeri karena serangan kandung kemih bisa dirasakan di bahu. <br />
<br />
Setiap orang memiliki tingkat toleransi yang berbeda terhadap nyeri. <br />
Seseorang bisa merasakan nyeri yang hebat karena tergores atau mengalami memar, sedangkan yang lainnya hanya sedikit mengeluh meskipun mengalami kecelakaan berat atau tertusuk pisau. <br />
Kemampuan untuk mengatasi nyeri tergantung kepada suasana hati, kepribadian dan lingkungan. <br />
<br />
<br />
PENILAIAN NYERI <br />
<br />
Nyeri dapat bersifat tajam atau tumpul, terus menerus atau hilang-timbul, berdenyut-denyut atau menetap, di satu tempat atau di beberapa tempat. <br />
Beberapa jenis nyeri sulit dilukiskan dengan kata-kata. <br />
Intensitasnya bervariasi mulai dari yang ringan sampai yang tak tertahankan. <br />
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang dapat membuktikan keberadaan atau parahnya nyeri. <br />
<br />
Berbagai penyakit kronis (misalnya kanker, artritis atau penyakit sel sabit) dan penyakit akut (misalnya luka, luka bakar, robekan otot, patah tulang, terkilir, radang usus buntu, batu ginjal atau serangan jantung) menyebabkan nyeri. <br />
Kelainan psikis (misalnya depresi dan kecemasan) juga menyebabkan nyeri, yang disebut nyeri psikogenik. <br />
<br />
Nyeri akut adalah nyeri yang dimulai secara tiba-tiba dan biasanya tidak berlangsung lama. <br />
Jika nyerinya hebat, bisa menyebabkan denyut jantung yang cepat, laju pernafasan meningkat, tekanan darah meninggi, berkeringat dan pupil melebar. <br />
<br />
Nyeri kronis adalah nyeri yang berlangsung selama beberapa minggu atau bulan; istilah ini biasanya digunakan jika: <br />
- nyeri menetap selama lebih dari 1 bulan <br />
- nyeri sering kambuhan dan sampai berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun <br />
- nyeri berhubungan dengan penyakit menahun (misalnya kanker). <br />
Nyeri kronis biasanya tidak mempengaruhi denyut jantung, laju pernafasan, tekanan darah maupun pupil; tetapi bisa menyebabkan gangguan tidur, mengurangi nafsu makan dan menyebabkan sembelit, penurunan berat badan, berkurangnya gairah seksual dan depresi. <br />
<br />
<br />
JENIS NYERI <br />
<br />
Nyeri Neuropatik. <br />
<br />
Nyeri neuropatik disebabkan oleh suatu kelainan di sepanjang suatu jalur saraf. <br />
Suatu kelainan akan mengganggu sinyal saraf, yang kemudian akan diartikan secara salah oleh otak. <br />
<br />
Nyeri neuropatik bisa menyebabkan suatu sakit dalam atau rasa terbakar dan rasa lainnya (misalnya hipersensitivitas terhadap sentuhan). <br />
<br />
Infeksi (misalnya herpes zoster) bisa menyebabkan peradangan pada saraf sehingga terjadi neuralgia post-herpetik. <br />
Neuralgia post-herpetik merupakan rasa terbakar yang menahun dan terus menerus dirasakan di daerah yang terinfeksi oleh virus. <br />
<br />
Distrofi refleks simpatis merupakan jenis nyeri neuropatik dimana nyeri disertai oleh pembengkakan dan berkeringat atau oleh perubahan pada aliran darah lokal atau perubahan di dalam jaringan (misalnya atrofi atau osteoporosis). <br />
Kekakuan (kontraktur) sendi menyebabkan sendi tidak dapat ditekuk atau diluruskan secara sempurna. <br />
<br />
Kausalgia merupakan nyeri yang terjadi setelah suatu cedera atau penyakit pada saraf utama. <br />
Kausalgia menyebabkan nyeri terbakar yang hebat disertai dengan pembengkakan, berkeringat, perubahan aliran darah dan efek lainnya. <br />
<br />
Distrofi refleks simpatis maupun kausalgia diobati dengan cara menghambat saraf secara khusus (penghambatan saraf simpatis). <br />
<br />
Salah satu contoh dari nyeri neuropatik adalah phantom limb pain, dimana seseorang yang lengan atau tungkainya telah diamputasi merasakan nyeri pada lengan atau tungkai yang sudah tidak ada. <br />
Nyeri bukan berasal dari sesuatu di dalam anggota gerak, tetapi berasal dari saraf diatas anggota gerak yang telah diamputasi. Otak salah mengartikan sinyal saraf ini, yaitu berasal dari anggota gerak yang sudah tidak ada. <br />
<br />
Nyeri Setelah Pembedahan. <br />
<br />
Hampir setiap orang merasakan nyeri setelah menjalani pembedahan. <br />
Nyerinya bisa menetap dan hilang-timbul, semakin memburuk jika penderita bergerak, batuk, tertawa atau menarik nafas dalam atau ketika perban pembungkus luka diganti. <br />
<br />
Setelah pembedahan biasanya diberikan obat pereda nyeri opioid (narkotik). Obat ini paling efektif jika diminum beberapa jam sebelum nyeri semakin hebat. <br />
Jika nyeri semakin memburuk, penderita harus melakukan aktivitas atau perban luka operasi akan diganti, maka dosisnya bisa ditingkatkan atau ditambah dengan obat lainnya. <br />
<br />
Opiod menimbulkan efek samping berupa mual, ngantuk dan linglung. <br />
Bila nyeri berkurang, sebaiknya dosis diturunkan dan diganti dengan obat pereda nyeri non-opioid (misalnya asetaminofen). <br />
<br />
Nyeri Karena Kanker. <br />
<br />
Terjadinya nyeri karena kanker bisa melalui beberapa cara. <br />
Tumor tumbuh ke dalam tulang, saraf dan organ lainnya dan menyebabkan rasa tidak nyaman atau nyeri hebat yang tak tertahankan. <br />
Beberapa pengobatan kanker (misalnya pembedahan dan terapi penyinaran) juga bisa menyebabkan nyeri. <br />
<br />
Cara terbaik untuk menghilangkan nyeri karena kanker adalah mengobati kankernya. <br />
Nyeri akan berkurang jika tumor diangkat melalui pembedahan atau diperkecil ukurannya melalui penyinaran. Tetapi biasanya diperlukan pereda nyeri yang lain. <br />
<br />
Biasanya diberikan obat non-opioid seperti asetaminofen atau obat anti peradangan non-steroid. <br />
Jika obat tersebut tidak berhasil mengatasi nyeri, bisa diberikan pereda nyeri opioid. <br />
<br />
Opioid diberikan dalam sediaan per-oral (ditelan). Jika penderita tidak dapat mentolerir obat per-oral, maka opioid diberikan melalui jalan lain (misalnya melalui kulit atau vena). <br />
Suntikan diberikan setiap beberapa jam atau obat dimasukkan melalui selang infus yang terpasang. <br />
<br />
Lama-lama penderita akan memerlukan dosis opioid yang lebih tinggi karena kanker tumbuh lebih besar atau karena terjadi toleransi. <br />
Penderita tidak perlu takut bahwa obat ini tidak manjur lagi atau menjadi ketagihan. <br />
Jika kanker telah berhasil diatasi, sebagian besar penderita mampu menghentikan pemakaian opioid tanpa kesulitan yang berarti. Jika kanker tidak dapat diobati, sangat penting untuk membebaskan pasien dari rasa nyeri. <br />
<br />
Nyeri Yang Berhubungan Dengan Kelainan Psikis <br />
<br />
Nyeri biasanya disebabkan oleh penyakit, sehingga dokter akan mencari penyebab yang bisa diobati. <br />
Beberapa penderita memiliki nyeri yang menetap tanpa adanya penyakit yang bisa menimbulkan nyeri. <br />
<br />
Proses-proses psikis seringkali menimbulkan keluhan nyeri. <br />
Nyeri yang dirasakan terutama berasal dari penyebab psikogenik atau disebabkan oleh suatu kelainan fisik, yang bertambah hebat selama penderita mengalami stres psikis. <br />
<br />
Sebagian besar manifestasi nyeri akibat masalah psikis adalah berupa sakit kepala, nyeri punggung bagian bawah, nyeri wajah, nyeri perut atau nyeri panggul. <br />
<br />
Nyeri psikogenik kadang perlu ditangani oleh seorang ahli jiwa, dengan menitikberatkan pengobatan pada rehabilitasi dan terapi psikis. <br />
Bisa juga diberikan obat-obatan untuk meredakan nyeri. <br />
<br />
<br />
Jenis Nyeri Yang Lainnya <br />
<br />
Beberapa penyakit, seperti AIDS, dapat menyebabkan nyeri sehebat nyeri karena kanker. <br />
Pengobatan terhadap nyeri yang berhubungan dengan penyakit ini serupa dengan pengobatan untuk kanker. <br />
<br />
Artritis, baik karena osteoartritis maupun karena penyakit tertentu (misalnya artritis rematoid) merupakan penyakit yang paling sering menyebabkan nyeri. <br />
Untuk mengatasinya bisa diberikan obat-obatan atau melakukan latihan-latihan tertentu. <br />
<br />
Suatu nyeri dikatakan idiopatik jika penyebabnya tidak diketahui, dan tidak ditemukan bukti-bukti adanya penyakit atau masalah psikis. <br />
<br />
<br />
PENGOBATAN NYERI <br />
<br />
Beberapa jenis analgetik (obat pereda nyeri) bisa membantu mengurangi nyeri. <br />
Obat ini digolongkan ke dalam 3 kelompok: <br />
• Analgetik opioid (narkotik) <br />
• Analgetik non-opioid <br />
• Analgetik ajuvan. <br />
Analgetik opioid merupakan pereda nyeri yang paling kuat dan sangat efektif untuk mengatasi nyeri yang hebat. <br />
<br />
Analgetik Opioid <br />
<br />
Secara kimia analgetik opioid berhubungan dengan morfin. <br />
Morfin merupakan bahan alami yang disarikan dari opium, walaupun ada yang berasal dari tumbuhan lain dan sebagian lainnya dibuat di laboratorium. <br />
<br />
Analgetik opioid sangat efektif dalam mengurangi rasa nyeri namun mempunyai beberapa efek samping. <br />
Semakin lama pemakai obat ini akan membutuhkan dosis yang lebih tinggi. Selain itu sebelum pemakaian jangka panjang dihentikan, dosisnya harus dikurangi secara bertahap, untuk mengurangi gejala-gejala putus obat. <br />
<br />
Berbagai kelebihan dan kekurang dari analgetik opiod: <br />
1. Morfin, merupakan prototipe dari obat ini, yang tersedia dalam bentuk suntikan, per-oral (ditelan) dan per-oral lepas lambat. <br />
Sediaan lepas lambat memungkinkan penderita terbebas dari rasa nyeri selama 8-12 jam dan banyak digunakan untuk mengobati nyeri menahun. <br />
2. Analgetik opioid seringkali menyebabkan sembelit, terutama pada usia lanjut. <br />
Pencahar (biasanya pencahar perangsang, contohnya senna atau fenolftalein) bisa membantu mencegah atau mengatasi sembelit. <br />
3. Opioid dosis tinggi sering menyebabkan ngantuk. <br />
Untuk mengatasinya bisa diberikan obat-obat perangsang (misalnya metilfenidat). <br />
4. Analgetik opioid bisa memperberat mual yang dirasakan oleh penderita. <br />
Untuk mengatasinya diberikan obat anti muntah, baik dalam bentuk per-oral, supositoria maupun suntikan (misalnya metoklopramid, hikroksizin dan proklorperazin). <br />
5. Opioid dosis tinggi bisa menyebabkan reaksi yang serius, seperti melambatnya laju pernafasan dan bahkan koma. <br />
Efek ini bisa dilawan oleh nalokson, suatu penawar yang diberikan secara intravena. <br />
<br />
Analgetik Opioid <br />
Obat Masa efektif Keterangan<br />
Morfin Suntikan intravena/intramuskuler:2-3 jam <br />
Per-oral:3-4 jam <br />
Sediaan lepas lambat:8-12jam Mula kerjanya cepat <br />
Sediaan per-oral sangat efektif untuk mengatasi nyeri karena kanker<br />
Kodein Per-oral:3-4 jam Kurang kuat dibandingkan dengan morfin <br />
Kadang diberikan bersamaan dengan aspirin atau asetaminofen<br />
<br />
Meperidin Suntikan intravena/intramuskuler:sekitar 3 jam <br />
Per-oral:tidak terlalu efektif Bisa menyebabkan epilepsi, tremor dan kejang otot<br />
Metadon Per-oral:4-6 jam, kadang lebih lama Juga digunakan untuk mengobati gejala putus obat karena heroin<br />
Proksifen Per-oral:3-4 jam Biasanya diberikan bersamaan dengan aspirin atau asetaminofen, untuk mengatasi nyeri ringan<br />
Levorfanol Suntikan intravena atau intramuskuler:4 jam <br />
Per-oral:sekitar 4 jam Sediaan per-oral sangat ampuh <br />
Bisa digunakan sebagai pengganti morfin<br />
Hidromorfon Suntikan intravena/intramuskuler:2-4 jam <br />
Per-oral:2-4 jam <br />
Suppositoria per-rektum:4 jam Mula kerjanya cepat <br />
Bisa digunakan sebagai pengganti morfin <br />
Efektif untuk mengatasi nyeri karena kanker<br />
Oksimorfon Suntikan intravena/intramuskuler:3-4 jam <br />
Suppositoria per-rektum:4 jam Mula kerjanya cepat<br />
Oksikodon Per-oral:3-4 jam Biasanya diberikan bersama aspirin atau asetaminofen<br />
<br />
Pentazosin Per-oral:sampai 4 jam Bisa menghambat kerja analgetik opioid lainnya <br />
Kekuatannya hampir sama dengan kodein <br />
Bisa menyebabkan linglung & kecemasan, terutama pada usia lanjut<br />
<br />
<br />
Analgetik Non-opioid <br />
<br />
Semua analgetik non-opiod (kecuali asetaminofen) merupakan obat anti peradangan non-steroid (NSAID, nonsteroidal anti-inflammatory drug). <br />
Obat-obat ini bekerja melalui 2 cara: <br />
1. Mempengaruhi sistem prostaglandin, yaitu suatu sistem yang bertanggungjawab terhadap timbulnya rasa nyeri. <br />
2. Mengurangi peradangan, pembengkakan dan iritasi yang seringkali terjadi di sekitar luka dan memperburuk rasa nyeri.<br />
Aspirin merupakan prototipe dari NSAID, yang telah digunakan selama lebih dari 100 tahun. <br />
Pertama kali disarikan dari kulit kayu pohon Willow. <br />
Tersedia dalam bentuk per-oral (ditelan) dengan masa efektif selama 4-6 jam. <br />
Efek sampingnya adalah iritasi lambung, yang bisa menyebabkan terjadinya ulkus peptikum. Karena mempengaruhi kemampuan darah untuk membeku, maka aspirin juga menyebabkan kecenderungan terjadinya perdarahan di seluruh tubuh. Pada dosis yang sangat tinggi, aspirin bisa menyebabkan gangguan pernafasan. Salah satu pertanda dari overdosis aspirin adalah teling berdenging (tinitus). <br />
<br />
Mula kerja dan masa efektif dari berbagai NSAID berbeda-beda, dan respon setiap orang terhadadap NSAID juga berbeda-beda. <br />
Semua NSAID bisa mengiritasi lambung dan menyebabkan ulkus peptikum, tetapi tidak seberat aspirin. <br />
Mengkonsumsi NSAID bersamaan dengan makanan dan antasid bisa membantu mencegah iritasi lambung. <br />
Obat misoprostol bisa membantu mencegah iritasi lambung dan ulkus peptikum; tetapi obat ini bisa menyebabkan diare. <br />
<br />
Asetaminofen berbeda dari aspirin dan NSAID. <br />
Obat ini bekerja pada sistem prostaglandin tetapi dengan mekanisme yang berbeda. <br />
Asetaminofen tidak mempengaruhi kemampuan pembekuan darah dan tidak menyebabkan ulkus peptikum maupun perdarahan. <br />
Tersedia dalam bentuk per-oral atau supositoria, dengan masa efektif selama 4-6 jam. <br />
Dosis yang sangat tinggi bisa menyebabkan efek samping yang sangat serius, seperti kerusakan hati. <br />
<br />
Analgetik Ajuvan <br />
<br />
Analgetik ajuvan adalah obat-obatan yang biasanya diberikan bukan karena nyeri, tetapi pada keadaan tertentu bisa meredakan nyeri. <br />
Contohnya, beberapa anti-depresi juga merupakan analgetik non-spesifik dan digunakan untuk mengobati berbagai jenis nyeri menahun, termasuk nyeri punggung bagian bawah, sakit kepala dan nyeri neuropatik. <br />
Obat-obat anti kejang (misalnya karbamazepin) dan obat bius lokal per-oral (misalnya meksiletin) digunakan untuk mengobai nyeri neuropatik. <br />
<br />
Anestesi Lokal & Topikall <br />
<br />
Anestesi (obat bius) lokal bisa digunakan langung pada atau di sekitar daerah yang luka untuk membantu mengurangi nyeri. <br />
Jika nyeri menahun disebabkan oleh adanya cedera pada satu saraf, maka bisa disuntikkan bahan kimia secara langsung ke dalam saraf untuk menghilangkan nyeri sementara. <br />
<br />
Anestesi topikal (misalnya lotion atau salep yang mengandung lidokain) bisa digunakan untuk mengendalikan nyeri pada keadaan tertentu. <br />
<br />
Krim yang mengandung kapsaisin (bahan yang terkandung dalam merica) kadang bisa membantu mengurangi nyeri karena herpes zoster, osteoartritis dan keadaan lainnya. <br />
<br />
Pengobatan Nyeri Tanpa Obat <br />
<br />
Selain obat-obatan, pengobatan lainnya juga bisa membantu mengurangi nyeri. <br />
Mengobati penyakit yang mendasarinya, bisa menghilangkan atau mengurangi nyeri yang terjadi. Misalnya memasang gips pada patah tulang atau memberikan antibiotik untuk infeksi sendi, bisa mengurangi nyeri. <br />
<br />
Tindakan yang bisa membantu mengurangi nyeri adalah: <br />
1. Kompres dingin dan hangat <br />
2. Ultrasonik bisa memberikan pemanasan dalamd an mengurangi nyeri karena otot yang robek atau rusak dan peradangan pada ligamen <br />
3. TENS (transcutaneous electrical nerve stimulation) merupakan arus listrik ringan yang diberikan pada permukaan kulit <br />
4. Akupuntur, memasukkan jarum kecil ke bagian tubuh tertentu. <br />
Mekanismenya masih belum jelas dan beberapa ahli masih meragukan efektivitasnya. <br />
5. Biofeedback dan teknik kognitif lainnya (misalnya hipnotis atau distraksi) bisa membantu mengurangi nyeri dengan merubah perhatian penderitanya. <br />
Teknik ini melatih penderita untuk mengendalikan nyeri atau mengurangi dampaknya. <br />
6. Dukungan psikis merupakan faktor yang tidak boleh disepelekan. <br />
Sebaiknya diperhatikan tanda-tanda adanya depresi dan kecemasan, yang mungkin akan memerlukan penanganan ahli jiwa.Puspo Widianotohttp://www.blogger.com/profile/18352577488779133633noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4942725209072240234.post-76307193358565161202010-12-08T12:00:00.000-08:002010-12-08T12:00:06.678-08:00Proses Penyembuhan LukaProses Penyembuhan Luka<br />
May 13, 2008 <br />
<br />
A. Deskripsi<br />
Penyembuhan luka merupakan suatu proses yang kompleks karena berbagai kegiatan bio-seluler, bio-kimia terjadi berkisanambungan. Penggabungan respons vaskuler, aktivitas seluler dan terbentuknya bahan kimia sebagai substansi mediator di daerah luka merupakan komponen yang saling terkait pada proses penyembuhan luka. Besarnya perbedaan mengenai penelitian dasar mekanisme penyembuhan luka dan aplikasi klinik saat ini telah dapat diperkecil dengan pemahaman dan penelitian yang berhubungan dengan proses penyembuhan luka dan pemakaian bahan pengobatan yang telah berhasil memberikan kesembuhan.<br />
<br />
Luka adalah rusaknya kesatuan/komponen jaringan, dimana secara spesifik terdapat substansi jaringan yang rusak atau hilang. Berdasarkan kedalaman dan luasnya, luka dapat dibagi menjadi:<br />
1. Luka superfisial; terbatas pada lapisan dermis.<br />
2. Luka “partial thickness”; hilangnya jaringan kulit pada lapisan epidermis dan lapisan bagian atas dermis.<br />
3. Luka “full thickness”; jaringan kulit yang hilang pada lapisan epidermis, dermis, dan fasia, tidak mengenai otot.<br />
4. Luka mengenai otot, tendon dan tulang.<br />
<br />
Terminologi luka yang dihubungkan dengan waktu penyembuhan dapat dibagi menjadi:<br />
1. Luka akut; luka dengan masa penyembuhan sesuai dengan konsep penyembuhan yang telah disepakati.<br />
2. Luka kornis; luka yang mengalami kegagalan dalam proses penyembuhan, dapat karena faktor eksogen atau endogen.<br />
<br />
Setiap kejadian luka, mekanisme tubuh akan mengupayakan mengembalikan komponen-komponen jaringan yang rusak tersebut dengan membentuk struktur baru dan fungsional sama dengan keadaan sebelumnya. Proses penyembuhan tidak hanya terbatas pada proses regenerasi yang bersifat lokal, tetapi juga sangat dipengaruhi oleh faktor endogen (seperti: umur, nutrisi, imunologi, pemakaian obat-obatan, kondisi metabolik).<br />
<br />
Pada dasarnya proses penyembuhan ditandai dengan terjadinya proses pemecahan atau katabolik dan proses pembentukan atau anabolik. Dari penelitian diketahui bahwa proses anabolik telah dimulai sesaat setelah terjadi perlukaan dan akan terus berlanjut pada keadaan dimana dominasi proses katabolisme selesai.<br />
<br />
Setiap proses penyembuhan luka akan terjadi melalui 3 tahapan yang dinamis, saling terkait dan berkesinambungan serta tergantung pada tipe/jenis dan derajat luka. Sehubungan dengan adanya perubahan morfologik, tahapan penyembuhan luka terdiri dari:<br />
1. Fase inflamasi. Eksudasi; menghentikan perdahan dan mempersiapkan tempat luka menjadi bersih dari benda asing atau kuman sebelum dimulai proses penyembuhan. <br />
2. Fase proliferasi/granulasi; pembentukan jaringan granulasi untuk menutup defek atau cedera pada jaringan yang luka. <br />
3. Fase maturasi/deferensiasi; memoles jaringan penyembuhan yang telah terbentuk menjadi lebih matang dan fungsional. <br />
<br />
B. Tahap-Tahap Penyembuhan Luka<br />
1. Fase Inflamasi<br />
Fase inflamasi adalah adanya respons vaskuler dan seluler yang terjadi akibat perlukaan yang terjadi pada jaringan lunak. Tujuan yang hendak dicapai adalah menghentikan perdarahan dan membersihkan area luka dari benda asing, sel-sel mati dan bakteri untuk mempersiapkan dimulainya proses penyembuhan. Pada awal fase ini, kerusakan pembuluh darah akan menyebabkan keluarnya platelet yang berfungsi hemostasis. Platelet akan menutupi vaskuler yang terbuka (clot) dan juga mengeluarkan substansi “vasokonstriksi” yang mengakibatkan pembuluh darah kapiler vasokonstriksi, selanjutnya terjadi penempelan endotel yang yang akan menutup pembuluh darah.<br />
<br />
Periode ini hanya berlangsung 5-10 menit, dan setelah itu akan terjadi vasodilatasi kapiler stimulasi saraf sensoris (local sensoris nerve ending), local reflex action, dan adanya substansi vasodilator: histamin, serotonin dan sitokins. Histamin kecuali menyebabkan vasodilatasi juga mengakibatkan meningkatnya permeabilitas vena, sehingga cairan plasma darah keluar dari pembuluh darah dan masuk ke daerah luka dan secara klinis terjadi edema jaringan dan keadaan lokal lingkungan tersebut asidosis.<br />
<br />
Eksudasi ini jugamengakibatkan migrasi sel lekosit (terutama netrofil) ke ekstra vaskuler. Fungsi netrofil adalah melakukan fagositosis benda asing dan bakteri di daerah luka selama 3 hari dan kemudian akan digantikan oleh sel makrofag yang berperan lebih besar jika dibanding dengan netrofil pada proses penyembuhan luka. Fungsi makrofag disamping fagositosis adalah:<br />
a. Sintesa kolagen<br />
b. Pembentukan jaringan granulasi bersama-sama dengan fibroblas<br />
c. Memproduksi growth factor yang berperan pada re-epitelisasi<br />
d. Pembentukan pembuluh kapiler baru atau angiogenesis<br />
<br />
Dengan berhasilnya dicapai luka yang bersih, tidak terdapat infeksi atau kuman serta terbentuknya makrofag dan fibroblas, keadaan ini dapat dipakai sebagai pedoman/parameter bahwa fase inflamasi ditandai dengan adanya: eritema, hangat pada kulit, edema dan rasa sakit yang berlangsung sampai hari ke-3 atau hari ke-4.<br />
2. Fase Proliferasi<br />
Proses kegiatan seluler yang penting pada fase ini adalah memperbaiki dan menyembuhkan luka dan ditandai dengan proliferasi sel. Peran fibroblas sangat besar pada proses perbaikan, yaitu bertanggung jawab pada persiapan menghasilkan produk struktur protein yang akan digunakan selama proses rekonstruksi jaringan.<br />
<br />
Pada jaringan lunak yang normal (tanpa perlukaan), pemaparan sel fibroblas sangat jarang dan biasanya bersembunyi di matriks jaringan penunjang. Sesudah terjaid luka, fibroblas akan aktif bergerak dari jaringan sekitar luka ke dalam daerah luka, kemudian akan berkembang (proliferasi) serta mengeluarkan beberapa substansi (kolagen, elastin, hyaluronic acid, fibronectin dan profeoglycans) yang berperan dalam membangun (rekonstruksi) jaringan baru. <br />
<br />
Fungsi kolagen yang lebih spesifik adalah membnetuk cikal bakal jaringan baru (connective tissue matrix) dan dengan dikeluarkannnya subtrat oleh fibroblast, memberikan tanda bahwa makrofag, pembuluh darah baru dan juga fibroblas sebagai satu kesatuan unit dapat memasuki kawasan luka.<br />
Sejumlah sel dan pembuluh darah baru yang tertanam di dalam jaringan baru tersebut disebut sebagai jaringan granulasi, sedangkan proses proliferasi fibroblas dengan aktifitas sintetiknya disebut fibroblasia. Respons yang dilakukan fibroblas terhadap proses fibroplasia adalah:<br />
a. Proliferasi<br />
b. Migrasi<br />
c. Deposit jaringan matriks<br />
d. Kontraksi luka<br />
<br />
Angiogenesis suatu proses pembentukan pembuluh kapiler baru didalam luka, mempunyai arti penting pada tahap proleferaswi proses penyembuhan luka. Kegagalan vaskuler akibat penyakit (diabetes), pengobatan (radiasi) atau obat (preparat steroid) mengakibatkan lambatnya proses sembuh karena terbentuknya ulkus yang kronis. Jaringan vaskuler yang melakukan invasi kedalam luka merupakan suatu respons untuk memberikan oksigen dan nutrisi yang cukup di daerah luka karena biasanya pada daerah luka terdapat keadaan hipoksik dan turunnya tekanan oksigen. Pada fase ini fibroplasia dan angiogenesis merupakan proses terintegrasi dan dipengaruhi oleh substansi yang dikeluarkan oleh platelet dan makrofag (grwth factors).<br />
<br />
Proses selanjutnya adalah epitelisasi, dimana fibroblas mengeluarkan “keratinocyte growth factor (KGF) yang berperan dalam stimulasi mitosis sel epidermal. Keratinisasi akan dimulai dari pinggir luka dan akhirnya membentuk barrier yang menutupi permukaan luka. Dengan sintesa kolagen oleh fibroblas, pembentukan lapisan dermis ini akan disempurnakan kualitasnya dengan mengatur keseimbangan jaringan granulasi dan dermis. Untuk membantu jaringan baru tersebut menutup luka, fibroblas akan merubah strukturnya menjadi myofibroblast yang mempunyai kapasitas melakukan kontraksi pada jaringan. Fungsi kontraksi akan lebih menonjol pada luka dengan defek luas dibandingkan dengan defek luka minimal.<br />
Fase proliferasi akan berakhir jika epitel dermis dan lapisan kolagen telah terbentuk, terlihat proses kontraksi dan akan dipercepat oleh berbagai growth factor yang dibentuk oleh makrofag dan platelet.<br />
<br />
3. Fase Maturasi<br />
Fase ini dimulai pada minggu ke-3 setelah perlukaan dan berakhir sampai kurang lebih 12 bulan. . Tujuan dari fase maturasi adalah menyempurnakan terbentuknya jaringan baru menjadi jaringan penyembuhan yang kuat dan bermutu. Fibroblas sudah mulai meninggalkan jaringan garunalasi, warna kemerahan dari jaringan mulai berkurang karena pembuluh mulai regresi dan serat fibrin dari kolagen bertambah banyak untuk memperkuat jaringan parut. Kekuatan dari ajringan parut akan mencapai puncaknya pada minggu ke-10 setelah perlukaan. Sintesa kolagen yang telah dimulai sejak fase proliferasi akan dilanjutkan pada fase maturasi. Kecuali pembentukan kolagen juga akan terjadi pemecahan kolagen oleh enzim kolagenase. Kolagen muda ( gelatinous collagen) yang terbentuk pada fase proliferasi akan berubah menjadi kolagen yang lebih matang, yaitu lebih kuat dan struktur yang lebih baik (proses re-modelling).<br />
Untuk mencapai penyembuhan yang optimal diperlukan keseimbangan antara kolagen yang diproduksi dengan yang dipecahkan. Kolagen yang berlebihan akan terjadi penebalan jaringan parut atau hypertrophic scar, sebaliknya produksi yang berkurang akan menurunkan kekuatan jaringan parut dan luka akan selalu terbuka.<br />
Luka dikatakan sembuh jika terjadi kontinuitas lapisan kulit dan kekuatan ajringan kulit mampu atau tidak mengganggu untuk melakukan aktivitas yang normal. Meskipun proses penyembuhan luka sama bagi setiap penderita, namun outcome atau hasil yang dicapai sangat tergantung dari kondisi biologik masing-masing individu, lokasi serta luasnya luka. Penderita muda dan sehat akan mencapai proses yang cepat dibandingkan dengan kurang gizi, disertai dengan penyakit sistemik (diabetes melitus).<br />
<br />
C. Konsep Baru<br />
Studi tentang lingkungan yang optimal dan berperan dalam proses penyembuhan luka telah dimulai 30 tahun yang lalu oleh Winter. Penelitian dasar klinik mengenai perawatan luka berbasis suasana lembab (moist) telah memberikan pandangan yang berbeda diantara para pakar. Saat ini perawatan luka tertutup untuk dapat tercapai keadaan yang lembab telah dapat diterima secara universal sebagai standar baku untuk berbagai tipe luka. Alasan yang rasional teori perawatan luka dalam suasana lembab adalah:<br />
1. Fibrinolisis<br />
Fibrin yang terbentuk pada luka kronis dapat dengan cepat dihilangkan (fibrinolitik) oleh netrofil dans el endotel dalam suasana lembab.<br />
<br />
2. Angiogenesis<br />
Keadaan hipoksi pada perawatan tertutup akan lebih merangsang lebih cepat angiogenesis dan mutu pembuluh kapiler. Angiogenesis akan bertambah dengan terbentuknya heparin dan tumor necrosis factor-alpha ( TNF-alpha).<br />
3. Kejadian infeksi<br />
Lebih rendah dibandingkan dnegan perawatan kering (2,6% vs 7,1 %)<br />
4. Pembentukan growth factor<br />
Yang berperan pada proses penyembuhan dipercepat pada suasana lembab. Epidemi grwoth factor/EGF, fibroblast growth factor/FGF dan Interleukin 1/Inter-1 adalah substansi yang dikeluarkan oleh makrofag yang berperan pada angiogenesis dan pembentukan stratum korneum. Platelet-derived growth factor/PDGF dan transforming growth factor-beta/TGF-beta yang dibentuk oleh platelet berfungsi pada proliferasi fibroblas.<br />
5. Percepatan pembentukan sel aktif<br />
Invasi netrofil yang diikuti oleh makrofag, monosit, dan limfosit ke daerah luka berfungsi lebih dini.<br />
<br />
D. Kesimpulan<br />
1. Tenaga kesehatan diharapkan memahami konsep penyembuhan luka serta aplikasi perawatan luka yang dihubungkan dengan jenis luka serta bahan yang diperlukan.<br />
2. Perawatan luka dengan suasana lembab (occlusive dressing) perlu dikembangkan implementasinya di klinik dalam meningkatkan angka kesembuhan secara kuantitatif maupun kualitatif.<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Proses Penyembuhan Jaringan Lunak:<br />
Menurut Dandy (1993) yang dikutip oleh Hanssenkam (1999), bahwa pada dasarnya penyembuhan pada cidera jaringan lunak ada 3 tahap yaitu injury, inflamation, dan repair.<br />
a.Injury <br />
Pada tahap ini, jaringan lunak yang disayat pada proses operasi menyebabkan luka dan perdarahan serta kematian beberapa jaringan tersebut.Pada ruang incisi akan terjadi perdarahan yang kemudian akan diikuti penggumpalan .Setelah itu tubuh akan mengeluarkan leukosit untuk fagositosis jaringan yang mati.baca selengkapnya…<br />
b.Inflamation<br />
Pada tahap ini karena terjadi kerusakan pada jaringan lunak akan menstimulus pengeluaran zat-zat kimiawi dari dalam tubuh yang membuat nyeri seperti histamin dan bradykinin.Pada masa ini juga terdapat tanda-tanda peradangan seperti bengkak, nyeri, teraba panas,dan kemerah-merahan, dan kehilangan fungsi.Bengkak terjadi karena peimbunan exudat dibawah kulit.Teraba panas dan kemeraah-merahan terjadi karena perubahan vaskulerberupa vasodilatasi pembuluh darah, sehingga darah banyak terkonsentrasi pada luka tersebut,(Lachmann,1988).<br />
c. Repair<br />
Pada tahap ini penyembuhan terjadi dengan mengganti jaringan yang rusak atau hilang dengan jaringan subtitusi (jaringan pengganti).Jaringan subtitusi yang mengganti jaringan asal yang rusak atau hilang adalah jaringan kolagen (collagen),sehingga akan timbul fibrosis yang akhirnya akan berwujud serbagai jaringan parut (cicatrix).Pada fraktur yang terjadi akan segera diikuti proses penyambungan yang dibedakan menjadi 5 fase, yaitu :<br />
a. Fase Hematoma<br />
Pada saat terjadi fraktur pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma disekitar dan di dalam fraktur.Tulang pada permukaan fraktur, yang tidak mendapat persediaan darah akan mati.<br />
b. Fase Proliferasi<br />
Setelah fraktur terdapat reaksi radang akut yang disertai proliferasi sel dibawah periosteum dan di dalam saluran medula akan tertembus.Sel-sel ini merupakan awal dari osteoblast, yang akan melepaskan substansi interseluler. Jaringan seluler mengelilingi masing-masing fragmen yang akan menghubungkan tempat fraktur. Hematoma membeku perlahan-lahan diabsorbsi dan kapiler baru yang halus berkembang kedalam daerah itu.<br />
c. Fase pembentukan kalus<br />
Jaringan seluler berubah menjadi osteoblast dan osteoklast. Osteoblast melepaskan matrik interseluler dan polisakarida yang akan menjadi garam kalsium dan mengendap disitu sehingga terjadi jarinagan kalus. Tulang yang dirangkai (woven bone) muncul pada kalus. Tulang yang mati di bersihkan.<br />
d. Fase konsolidasi Aktivitas osteoklast berlanjut, tulang yag dirangkai digantikan oleh tulang lamelar dan fraktur dipersatukan secara kuat.<br />
e. Fase remodelling Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang padat. Tulang yang baru berbentuk sehingga mirip dengan struktur normal.Puspo Widianotohttp://www.blogger.com/profile/18352577488779133633noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4942725209072240234.post-74581625600475560272010-12-08T11:55:00.001-08:002010-12-08T11:55:44.491-08:00Water Seal DrainageWater Seal Drainage<br />
Diarsipkan di bawah: Contekan — rofiqahmad @ 1:31 pm <br />
<br />
Water Seal Drainage (WSD) adalah Suatu sistem drainage yang menggunakan water seal untuk mengalirkan udara atau cairan dari cavum pleura ( rongga pleura)<br />
TUJUANNYA :<br />
• Mengalirkan / drainage udara atau cairan dari rongga pleura untuk mempertahankan tekanan negatif rongga tersebut<br />
• Dalam keadaan normal rongga pleura memiliki tekanan negatif dan hanya terisi sedikit cairan pleura / lubrican.<br />
Perubahan Tekanan Rongga Pleura<br />
Tekanan Istirahat Inspirasi Ekspirasi<br />
Atmosfir 760 760 760<br />
Intrapulmoner 760 757 763<br />
Intrapleural 756 750 756<br />
INDIKASI PEMASANGAN WSD :<br />
• Hemotoraks, efusi pleura<br />
• Pneumotoraks ( > 25 % )<br />
• Profilaksis pada pasien trauma dada yang akan dirujuk<br />
• Flail chest yang membutuhkan pemasangan ventilator<br />
KONTRA INDIKASI PEMASANGAN :<br />
• Infeksi pada tempat pemasangan<br />
• Gangguan pembekuan darah yang tidak terkontrol.<br />
CARA PEMASANGAN WSD<br />
1. Tentukan tempat pemasangan, biasanya pada sela iga ke IV dan V, di linea aksillaris anterior dan media.<br />
2. Lakukan analgesia / anestesia pada tempat yang telah ditentukan.<br />
3. Buat insisi kulit dan sub kutis searah dengan pinggir iga, perdalam sampai muskulus interkostalis.<br />
4. Masukkan Kelly klemp melalui pleura parietalis kemudian dilebarkan. Masukkan jari melalui lubang tersebut untuk memastikan sudah sampai rongga pleura / menyentuh paru.<br />
5. Masukkan selang ( chest tube ) melalui lubang yang telah dibuat dengan menggunakan Kelly forceps<br />
6. Selang ( Chest tube ) yang telah terpasang, difiksasi dengan jahitan ke dinding dada<br />
7. Selang ( chest tube ) disambung ke WSD yang telah disiapkan.<br />
8. Foto X- rays dada untuk menilai posisi selang yang telah dimasukkan.<br />
ADA BEBERAPA MACAM WSD :<br />
1. WSD dengan satu botol<br />
• Merupakan sistem drainage yang sangat sederhana<br />
• Botol berfungsi selain sebagai water seal juga berfungsi sebagai botol penampung.<br />
• Drainage berdasarkan adanya grafitasi.<br />
• Umumnya digunakan pada pneumotoraks<br />
2. WSD dengan dua botol<br />
• Botol pertama sebagai penampung / drainase<br />
• Botol kedua sebagai water seal<br />
• Keuntungannya adalah water seal tetap pada satu level.<br />
• Dapat dihubungkan sengan suction control<br />
3. WSD dengan 3 botol<br />
• Botol pertama sebagai penampung / drainase<br />
• Botol kedua sebagai water seal<br />
• Botol ke tiga sebagai suction kontrol, tekanan dikontrol dengan manometerPuspo Widianotohttp://www.blogger.com/profile/18352577488779133633noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4942725209072240234.post-88451744461198043652010-12-08T11:54:00.000-08:002010-12-08T11:54:28.837-08:00FRAKTUR CRURISASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN FRAKTUR CRURIS<br />
<br />
I. PENGERTIAN<br />
<br />
Fraktur cruris adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya, terjadi pada tulang tibia dan fibula. Fraktur terjadi jika tulang dikenao stress yang lebih besar dari yang dapat diabsorbsinya. (Brunner & Suddart, 2000)<br />
<br />
II. JENIS FRAKTUR<br />
a. Fraktur komplet : patah pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya mengalami pergeseran.<br />
b. Fraktur tidak komplet: patah hanya pada sebagian dari garis tengah tulang<br />
c. Fraktur tertutup: fraktur tapi tidak menyebabkan robeknya kulit<br />
d. Fraktur terbuka: fraktur dengan luka pada kulit atau membran mukosa sampai ke patahan tulang.<br />
e. Greenstick: fraktur dimana salah satu sisi tulang patah,sedang sisi lainnya membengkak.<br />
f. Transversal: fraktur sepanjang garis tengah tulang<br />
g. Kominutif: fraktur dengan tulang pecah menjadi beberapa frakmen<br />
h. Depresi: fraktur dengan fragmen patahan terdorong ke dalam<br />
i. Kompresi: Fraktur dimana tulang mengalami kompresi (terjadi pada tulang belakang)<br />
j. Patologik: fraktur yang terjadi pada daerah tulang oleh ligamen atau tendo pada daerah perlekatannnya.<br />
<br />
III. ETIOLOGI<br />
a. Trauma<br />
b. Gerakan pintir mendadak<br />
c. Kontraksi otot ekstem<br />
d. Keadaan patologis : osteoporosis, neoplasma<br />
<br />
IV. PATYWAYS<br />
<br />
Trauma langsung trauma tidak langsung kondisi patologis<br />
<br />
<br />
FRAKTUR<br />
<br />
Diskontinuitas tulang pergeseran frakmen tulang <br />
<br />
Perub jaringan sekitar kerusakan frakmen tulang<br />
<br />
Pergeseran frag Tlg laserasi kulit: spasme otot tek. Ssm tlg > tinggi dr kapiler<br />
<br />
putus vena/arteri peningk tek kapiler reaksi stres klien<br />
deformitas<br />
perdarahan pelepasan histamin melepaskan katekolamin<br />
gg. fungsi <br />
protein plasma hilang memobilisai asam lemak<br />
kehilangan volume cairan<br />
edema bergab dg trombosit<br />
<br />
emboli<br />
penekn pem. drh<br />
menyumbat pemb drh<br />
penurunan perfusi jar<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
V. MANIFESTASI KLINIS<br />
a. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya samapi fragmen tulang diimobilisasi, hematoma, dan edema<br />
b. Deformitas karena adanya pergeseran fragmen tulang yang patah<br />
c. Terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur<br />
d. Krepitasi akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya<br />
e. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit<br />
<br />
VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG<br />
a. Pemeriksaan foto radiologi dari fraktur : menentukan lokasi, luasnya<br />
b. Pemeriksaan jumlah darah lengkap<br />
c. Arteriografi : dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai<br />
d. Kreatinin : trauma otot meningkatkanbeban kreatinin untuk klirens ginjal<br />
VII. PENATALAKSANAAN<br />
<br />
a. Reduksi fraktur terbuka atau tertutup : tindakan manipulasi fragmen-fragmen tulang yang patah sedapat mungkin untuk kembali seperti letak semula.<br />
b. Imobilisasi fraktur<br />
Dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna<br />
c. Mempertahankan dan mengembalikan fungsi<br />
Reduksi dan imobilisasi harus dipertahankan sesuai kebutuhan<br />
Pemberian analgetik untuk mengerangi nyeri<br />
Status neurovaskuler (misal: peredarandarah, nyeri, perabaan gerakan) dipantau<br />
Latihan isometrik dan setting otot diusahakan untuk meminimalakan atrofi disuse dan meningkatkan peredaran darah<br />
<br />
VIII. KOMPLIKASI<br />
a. Malunion : tulang patah telahsembuh dalam posisi yang tidak seharusnya.<br />
b. Delayed union : proses penyembuhan yang terus berjlan tetapi dengan kecepatan yang lebih lambat dari keadaan normal.<br />
c. Non union : tulang yang tidak menyambung kembali<br />
<br />
IX. PENGKAJIAN <br />
1. Pengkajian primer<br />
- Airway<br />
Adanya sumbatan/obstruksi jalan napas oleh adanya penumpukan sekret akibat kelemahan reflek batuk<br />
- Breathing<br />
Kelemahan menelan/ batuk/ melindungi jalan napas, timbulnya pernapasan yang sulit dan / atau tak teratur, suara nafas terdengar ronchi /aspirasi<br />
- Circulation<br />
TD dapat normal atau meningkat , hipotensi terjadi pada tahap lanjut, takikardi, bunyi jantung normal pada tahap dini, disritmia, kulit dan membran mukosa pucat, dingin, sianosis pada tahap lanjut<br />
2. Pengkajian sekunder<br />
a.Aktivitas/istirahat<br />
kehilangan fungsi pada bagian yangterkena<br />
Keterbatasan mobilitas<br />
b. Sirkulasi<br />
Hipertensi ( kadang terlihat sebagai respon nyeri/ansietas)<br />
Hipotensi ( respon terhadap kehilangan darah)<br />
Tachikardi<br />
Penurunan nadi pada bagiian distal yang cidera<br />
Cailary refil melambat<br />
Pucat pada bagian yang terkena<br />
Masa hematoma pada sisi cedera<br />
c. Neurosensori<br />
Kesemutan<br />
Deformitas, krepitasi, pemendekan<br />
kelemahan<br />
d. Kenyamanan<br />
nyeri tiba-tiba saat cidera<br />
spasme/ kram otot<br />
e. Keamanan<br />
laserasi kulit<br />
perdarahan<br />
perubahan warna<br />
pembengkakan lokal<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
X. DIAGNOSA KEPERAWATAN DAN INTERVENSI <br />
a. Kerusakan mobilitas fisik b.d cedera jaringan sekitasr fraktur, kerusakan rangka neuromuskuler<br />
Tujuan : kerusakn mobilitas fisik dapat berkurang setelah dilakukan tindakan keperaawatan<br />
Kriteria hasil:<br />
Meningkatkan mobilitas pada tingkat paling tinggi yang mungkin<br />
Mempertahankan posisi fungsinal<br />
Meningkaatkan kekuatan /fungsi yang sakit<br />
Menunjukkan tehnik mampu melakukan aktivitas<br />
Intervensi:<br />
a. Pertahankan tirah baring dalam posisi yang diprogramkan<br />
b. Tinggikan ekstrimutas yang sakit<br />
c. Instruksikan klien/bantu dalam latian rentanng gerak pada ekstrimitas yang sakit dan tak sakit<br />
d. Beri penyangga pada ekstrimit yang sakit diatas dandibawah fraktur ketika bergerak<br />
e. Jelaskan pandangan dan keterbatasan dalam aktivitas<br />
f. Berikan dorongan ada pasien untuk melakukan AKS dalam lngkup keterbatasan dan beri bantuan sesuai kebutuhan’Awasi teanan daraaah, nadi dengan melakukan aktivitas<br />
g. Ubah psisi secara periodik<br />
h. Kolabirasi fisioterai/okuasi terapi<br />
b.Nyeri b.d spasme tot , pergeseran fragmen tulang<br />
Tujuan ; nyeri berkurang setelah dilakukan tindakan perawatan<br />
Kriteria hasil:<br />
Klien menyatajkan nyei berkurang<br />
Tampak rileks, mampu berpartisipasi dalam aktivitas/tidur/istirahat dengan tepat<br />
Tekanan darahnormal<br />
Tidak ada eningkatan nadi dan RR<br />
Intervensi:<br />
a. Kaji ulang lokasi, intensitas dan tpe nyeri<br />
b. Pertahankan imobilisasi bagian yang sakit dengan tirah baring<br />
c. Berikan lingkungan yang tenang dan berikan dorongan untuk melakukan aktivitas hiburan<br />
d. Ganti posisi dengan bantuan bila ditoleransi<br />
e. Jelaskanprosedu sebelum memulai<br />
f. Akukan danawasi latihan rentang gerak pasif/aktif<br />
g. Drong menggunakan tehnik manajemen stress, contoh : relasksasi, latihan nafas dalam, imajinasi visualisasi, sentuhan<br />
h. Observasi tanda-tanda vital<br />
i. Kolaborasi : pemberian analgetik<br />
<br />
C. Kerusakan integritas jaringan b.d fraktur terbuka , bedah perbaikan<br />
Tujuan: kerusakan integritas jaringan dapat diatasi setelah tindakan perawatan<br />
Kriteria hasil:<br />
Penyembuhan luka sesuai waktu<br />
Tidak ada laserasi, integritas kulit baik<br />
<br />
Intervensi:<br />
a. Kaji ulang integritas luka dan observasi terhadap tanda infeksi atau drainae<br />
b. Monitor suhu tubuh<br />
c. Lakukan perawatan kulit, dengan sering pada patah tulang yang menonjol<br />
d. Lakukan alihposisi dengan sering, pertahankan kesejajaran tubuh<br />
e. Pertahankan sprei tempat tidur tetap kering dan bebas kerutan<br />
f. Masage kulit ssekitar akhir gips dengan alkohol<br />
g. Gunakan tenaat tidur busa atau kasur udara sesuai indikasi<br />
h. Kolaborasi emberian antibiotik.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
<br />
<br />
<br />
1. Tucker,Susan Martin (1993). Standar Perawatan Pasien, Edisi V, Vol 3. Jakarta. EGC<br />
2. Donges Marilynn, E. (1993). Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3, Jakarta. EGC<br />
3. Smeltzer Suzanne, C (1997). Buku Ajar Medikal Bedah, Brunner & Suddart. Edisi 8. Vol 3. Jakarta. EGC<br />
4. Price Sylvia, A (1994), Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jilid 2 . Edisi 4. Jakarta. EGCPuspo Widianotohttp://www.blogger.com/profile/18352577488779133633noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4942725209072240234.post-6499511264806411402010-12-08T11:48:00.000-08:002010-12-08T11:52:18.086-08:00FRAKTUR FEMUR DAN FRAKTUR RADIUS DISTALFraktur<br />
FRAKTUR<br />
A. Pengertian<br />
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya. (smeltzer S.C & Bare B.G,2001) Fraktur adalah setiap retak atau patah pada tulang yang utuh.( reeves C.J,Roux G & Lockhart R,2001 ) Fraktur atau patah tulang adalah masalah yang akhir-akhir ini sangat banyak menyita perhatian masyarakat, pada arus mudik dan arus balik hari raya idulfitri tahun ini banyak terjadi kecelakaan lalu lintas yang sangat banyak yang sebagian korbannya mengalami fraktur. Banyak pula kejadian alam yang tidak terduga yang banyak menyebabkan fraktur. Sering kali untuk penanganan fraktur ini tidak tepat mungkin dikarenakan kurangnya informasi yang tersedia contohnya ada seorang yang mengalami fraktur, tetapi karena kurangnya informasi untuk menanganinya Ia pergi ke dukun pijat, mungkin karena gejalanya mirip dengan orang yang terkilir.<br />
B. Prevalensi<br />
Fraktur lebih sering terjadi pada orang laki laki daripada perempuan dengan umur dibawah 45 tahun dan sering berhubungan dengan olahraga, pekerjaan atau kecelakaan. Sedangkan pada Usila prevalensi cenderung lebih banyak terjadi pada wanita berhubungan dengan adanya osteoporosis yang terkait dengan perubahan hormon.<br />
C. Jenis fraktur<br />
1. Complete fraktur ( fraktur komplet ), patah pada seluruh garis tengah tulang,luas dan melintang. Biasanya disertai dengan perpindahan posisi tulang.<br />
2. Closed frakture ( simple fracture ), tidak menyebabkan robeknya kulit, integritas kulit masih utuh.<br />
3. Open fracture ( compound frakture / komplikata/ kompleks), merupakan fraktur dengan luka pada kulit ( integritas kulit rusak dan ujung tulang menonjol sampai menembus kulit) atau membran mukosa sampai ke patahan tulang.<br />
<br />
Fraktur terbuka digradasi menjadi :<br />
Grade I : luka bersih, kuarang dari 1 cm panjangnya<br />
Grade II : luka lebih luas tanpa kerusakan jaringan lunak yang ekstensif<br />
Grade III : sangat terkontaminasi, dan mengalami kerusakan jaringan lunak ekstensif.<br />
4. Greenstick, fraktur dimana salah satu sisi tulang patah sedang sisi lainnya membengkok.<br />
5. Transversal, fraktur sepanjang garis tengah tulang<br />
6. Oblik, fraktur membentuk sudut dengan garis tengah tulang<br />
7. Spiral, fraktur memuntir seputar batang tulang<br />
8. Komunitif, fraktur dengan tulang pecah menjadi beberapa fragmen<br />
9. Depresi, fraktur dengan frakmen patahan terdorong kedalam ( sering terjadi pada tulang tengkorak dan wajah )<br />
10. Kompresi, fraktur dimana tulang mengalami kompresi ( terjadi pada tulang belakang )<br />
11. Patologik, fraktur yang terjadi pada daerah tulang berpenyakit ( kista tulang, paget, metastasis tulang, tumor )<br />
12. Avulsi, tertariknya fragmen tulang oleh ligamen atau tendo pada prlekatannya.<br />
13. Epifisial, fraktur melalui epifisis<br />
14. Impaksi, fraktur dimana fragmen tulang terdorong ke fragmen tulang lainnya.<br />
Manifestasi klinis<br />
Nyeri terus menerus, hilangnya fungsi, deformitas, pemendekan ekstremitas, krepitus, pembengkakan lokal dan perubahan warna.<br />
Pemeriksaan<br />
Tanda dan gejala kemudian setelah bagian yang retak di imobilisasi, perawat perlu mnilai pain ( rasa sakit ), paloor ( kepucatan/perubahan warna), paralisis ( kelumpuhan/ketidakmampuan untuk bergerak ), parasthesia ( kesemutan ), dan pulselessnes ( tidak ada denyut )<br />
Rotgen sinar X Pemeriksaan CBC jika terdapat perdarahan untuk menilai banyaknya darah yang hilang.<br />
Penatalaksanaan Segera setelah cidera perlu untuk me- imobilisasi bagian yang cidera apabila klien akan dipindhkan perlu disangga bagian bawah dan atas tubuh yang mengalami cidera tersebut untuk mencegah terjadinya rotasi atau angulasi.<br />
Prinsip penanganan fraktur meliputi : Reduksi Reduksi fraktur berarti mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya dan rotasi anatomis Reduksi tertutup, mengembalikan fragmen tulang ke posisinya ( ujung ujungnya saling berhubungan ) dengan manipulasi dan traksi manual. Alat yang digunakan biasanya traksi, bidai dan alat yang lainnya. Reduksi terbuka, dengan pendekatan bedah. Alat fiksasi interna dalam bentuk pin, kaawat, sekrup, plat, paku. Iimobilisasi Imobilisasi dapat dilakukan dengan metode eksterna dan interna Mempertahankan dan mengembalikan fungsi Status neurovaskuler selalu dipantau meliputi peredaran darah, nyeri, perabaan, gerakan. Perkiraan waktu imobilisasi yang dibutuhkan untuk penyatuan fraktur Lamanya ( minggu )<br />
a. Falang ( jari )<br />
b. Metakarpal<br />
c. Karpal<br />
d. Skafoid<br />
e. Radius dan ulna<br />
f. Humerus<br />
Suprakondiler<br />
Batang<br />
Proksimal ( impaksi )<br />
Proksimal ( dengan pergeseran )<br />
g. Klavikula<br />
h. Vertebra<br />
i. Pelvis<br />
j. Femur<br />
Intrakapsuler<br />
Intratrohanterik<br />
Batang<br />
Suprakondiler<br />
k. Tibia<br />
Proksimal<br />
Batang<br />
Maleolus<br />
l. Kalkaneus<br />
m. Metatarsal<br />
n. falang ( jari kaki ) 3-5<br />
<br />
Traksi Oscilasi Shoulder<br />
Traksi osilasi Sendi Bahu<br />
a) Definisi Traksi osilasi<br />
Traksi merupakan salah satu komponen arthrokinematik dari sendi glenohumeral. Traksi adalah gerak satu permukaan sendi tegak lurus terhadap permukaan sendi pasangannya kearah menjauh, dalam hal ini traksi sendi glenohumeral adalah traksi kearah lateral serong keventro cranial. Pada saat traksi terjadi pelepasan abnormal crosslink pada sendi dan terjadi pengurangan viskositas cairan sendi glenohumeral. Gerakan aktif pada lingkup gerak sendi mempunyai efek antara lain untuk memelihara elastisitas dan kontraksi otot, memberikan efek sensasi balik dari kontraksi otot, memberikan stimulus pada ulang dan sendi, meningkatkan sirkulasi darah, melepaskan perlekatan intraseluler kapsuloligamenter sendi glenohumeral. <br />
Menurut Maitland, oscilasi adalah bentuk gerakan pasif pada sendi dengan amplitude yang kecil atau besar yang diaplikasikan pada semua ROM yang ada dan dapat dilakukan ketika permukaan sendi dalam keadaan distraksi dan kompresi.<br />
Efek-efek dari traksi shoulder adalah sebagai berikut :<br />
1) Efek fisik<br />
Pemberian traksi shoulder dapat merangsang aktivitas biologis didalam sendi melalui gerakan cairan sinovial. Gerakan cairan sinovial dapat meningkatkan proses pertukaran nutrisi kepermukaan kartilago sendi dan fibrokartilago, sehingga cairan sinovial meningkat.<br />
2) Efek neurologis<br />
Traksi dapat merangsang receptor sendi yaitu mekanoseptor yang dapat menginhibisi pengiriman stimulus nociceptif pada medulla spinalis melalui modulasi level spinal.<br />
3) Efek stretching<br />
Traksi dapat meregang atau mengulur kapsul ligament tanpa nyeri melalui pelepasan abnormal cross link antara serabut-serabut kolagen sehingga terjadi perbaikan lingkup gerak sendi sampai mencapai tahap fungsional dari sendi dan dapat memelihara ekstensibilitas dan kekuatan tegangan dari sendi dan jaringan periartikular. <br />
4) Efek arthrokinematik<br />
Traksi dapat meregangkan dan mengarahkan gerak fisiologis. <br />
5) Efek mekanik<br />
Distraksi dengan amplitude kecil pada sendi akan menyebabkan terjadinya pergerakan cairan sinovium yang akan membawa nutrisi pada bagian yang bersifat avaskular dari kartilago sendi dan fibrokartilago, menurunkan nyeri dan efek degenerasi statis saat nyeri dan tidak dapat melakukan gerakan dalam lingkup gerak sendi tertentu.<br />
b) Prinsip Teknik Traksi Shoulder<br />
Mekanisme teknik pelaksanaan antar lain:<br />
1) Posisi tangan<br />
Tangan yang akan melakukan mobilisasi hendaknya ditempatkan sedekat mungkin dengan permukaan sendi. Tangan yang berfungsi sebagi stabilisator menahan gerakan tangan yang memobilisasi dengan arah berlawanan atau melalui pencegahn gerakan yang terjadi disekitar sendi.<br />
2) Arah gerakan<br />
Arah gerakan harus bebas dari adanya nyeri sampai batas tahanan kapsular. Tahanan yang dimaksud mengarah kepad keterbatasan kapsul sendi. Gerakan sampai arah keterbatasan adalah suatu upaya untuk melakukan sesatu perubahan mekanik dalam kapsul sendi dan jaringan yang ada disekitarnya. Perubahan mekanik yang dimaksud berupa pelepasan jaringan yang mengalami perlengketan.<br />
Arah gerakan yng diberikan tidak boleh melampaui batas normal gerak sendi. Saat mengaplikasikan teknik gerak traksi, fisioterapis harus megetahui gerakan- gerakan sendi serta bentuk sendi yang bersangkutan. <br />
3) Proper Body Mechanic <br />
Terapis harus menggunakan prinsip-prinsip ergonomic dan berdiri atau memposisikan diri sedekat mungkin dengan pasien, tangan dan lengan terpis bertindak sebagai fulcrum dan levers serta posisi terapis harus mengikuti gerakan tersebut secara efisien.<br />
c) Dosis dan Derajat Traksi Shoulder<br />
1) Derajat traksi<br />
Derajat I: Osilasi pada MLPP, untuk mengurangi nyeri. Selalu digunakan pada saat melakuakn glide mobilisasi.<br />
Derajat II: Staccato pada mid range, untuk mengurangi nyeri.<br />
Derajat III: Staccato mencapai pembatasan LGS, untuk menambah mobilisasi sendi (traksi mobilisasi) dan untuk tes joint play movement (traction test).<br />
Derajat IV : Osilasi pada pembatasan LGS, yang berfungsi untuk menambah LGS dan joint play movement merasakan end feel.<br />
2) Dosis dan Kegunaan Traksi<br />
a. Derajat I atau II<br />
Sendi yang terasa nyeri pertama-tama harus diterapi dengan traksi. Biasanya digunakan derajat I atau II dengan interval 10 detik. Traksi dilakukan pelan-pelan kemudian secara perlahan traksi dilepaskan sehingga sendi kembali keposisi awal. Setelah sendi istirahat beberapa detik, prosedur diatas diulangi kembali. Amplitudo, durasi dan frekuensi gerakan sendi sangat bervariasi tergantung pada respon pasien terhadap terapi tersebut. Derajat I dan II berfungsi untuk menginhibisi nyeri dan mengatasi keterbatasan gerak.<br />
b. Derajat III dan IV<br />
Traksi-mobilisasi derajat III efektif untuk memperbaiki mobilitas sendi karena dapat meregangkan jaringan lunak sekitar persendian yang memendek. Traksi mobilisasi dipertahankan selama 7 detik atau lebih dengan kekuatan maksimal sesauai dengan toleransi pasien. Pada saat sendi istirahat traksi tidak perlu dilepaskan total ke posisi awal tetapi cukup diturunkan ke derajat II kemudian lakukan traksi derajat III lagi. Prosedur tersebut dilakukan berulang-ulang. Derajat III berfungsi untuk meningkatkan LGS dan relaksasi otot jika dilakukan dengan osilasi dan kecepatan rendah. Derajat IV lebih efektif untuk menambah lingkup gerak sendi<br />
d) Indikasi Traksi<br />
1) Nyeri dan Spasme Otot<br />
Nyeri dan spasme otot dapat ditangani dengan teknik gentle joint play untuk menstimulasi efek neurologis yang dapat menstimuli mekanoseptor dan inhibisi transmisi nociceptor pada level spinal atau brain stem. <br />
2) Hipomobilitas yang Reversibel<br />
Jaringan yang mengalami immobilisasi dapat menyebabkan berkurangnya kemampuan regangan sehingga terjadi pemendekan dan myofibril menjadi berkurang dan membentuk abnormal crosslink. Teknik osilasi dapat memperbaiki secara mekanik struktur jaringan yang mengalami pemendekan, dan teknik progresif stretching sendi untuk mengulur hipomobilitas kapsular dan ligamen.<br />
<br />
a) Keterbatasan Gerak yang Progresif<br />
Penyakit yang membatasi gerak secara progerasif dapat ditangani dengan teknik mobilisasi sendi untuk menjaga dan memelihara gerak yang ada.<br />
2) Imobilisasi yang Fungsional<br />
Ketika pasien tidak dapat melakukan gerakn pada satu sendi untuk beberapa waktu maka dapat diberikan traksi tanpa stretch untuk memelihara gerak sendi yang ada dan efek restriksi pada imobilisasi.<br />
e) Kontraindikasi Traksi <br />
1) Hipermobilitas<br />
Hipermobilitas pada sendi tidak boleh diberikan teknik ini kecuali dengan pertimbangan bahwa fisioterapis dapat menjaga dalam batasan gerak yang normal pada sendi tersebut. Selain itu tidak boleh diaplikasikan pada pasien yang mempunyai potensial nekrose pada ligament dan kapsul sendi.<br />
2) Efusi Sendi<br />
Efusi sendi tidak boleh dilakukan mobilisasi. Hal ini dikarenakan pada kapsul yang ditraksi akan mengalami penggelembungan karena menampung cairan dari luar. Keterbatasan ini berasal dari perubahan yang terjadi dari laur dsan respon otot terhadap nyeri bukan karena pemendekan otot. <br />
3) Inflamasi<br />
Pada tahap ini tidak boleh dilakukan traksi karena menimbulkan nyeri serta memperberat kerusakan pada jaringan.<br />
4) Fraktur humeri dan osteoporosis <br />
f) Prosedur Pelaksanaan Teknik Traksi Shoulder<br />
1) Pasien tidur telentang dan dalam keadaan rileks.<br />
2) Posisi awal sendi bahu pada posisi MLPP (bonnet position/ abduksi, internal rotasi 30) lakukan traksi derajat I kearah lateral serong keventro kranial dengan frekuensi osilasi 3x/detik dan repetisi 50 kali <br />
3) Fisioterapis memposisikan sendi bahu pada posisi keterbatasan abduksi, internal rotasi dan eksternal rotasi, kemudian lakukan traksi derajat IV pada pembatasan ROM ke arah lateral serong ventro kranial dengan frekuensi dan repetisi sama dengan no 2). Setelah dilakukan derajat IV kembali dilakukan derajat I dengan posisi MLPP<br />
<br />
<br />
<br />
FRAKTUR FEMUR<br />
<br />
Batang femur dapat mengalami fraktur oleh trauma <br />
langsung, puntiran (twisting), atau pukulan pada bagian depan <br />
lutut yang berada dalam posisi fleksi pada kecelakaan jalan <br />
raya. Femur merupakan tulang terbesar dalam tubuh dan batang <br />
femur pada orang dewasa sangat kuat. Dengan demikian, trauma <br />
langsung yang keras, seperti yang dapat dialami pada kecelaka-<br />
an automobil, diperlukan untuk menimbulkan fraktur batang <br />
femur. Perdarahan interna yang masif dapat menimbulkan <br />
renjatan berat. <br />
Penatalaksanaan fraktur ini mengalami banyak perubahan <br />
dalam waktu 10 tahun terakhir ini. Traksi dan spica casting atau <br />
cast bracing, meskipun merupakan penatalaksanaan non-invasif <br />
pilihan untuk anak-anak, mempunyai kerugian dalam hal me-<br />
merlukan masa berbaring dan rehabilitasi yang lama; oleh karena <br />
itu, penatalaksanaan ini tidak banyak digunakan pada orang <br />
dewasa. <br />
KLASIFIKASI <br />
Salah satu kiasifikasi fraktur batang femur dibagi berda-<br />
sarkan adanya luka yang berhubungan dengan daerah yang <br />
patah. Jadi, dalam klasifikasi ini, dapat dibagi menjadi : <br />
- Tertutup <br />
- Terbuka<br />
(1)<br />
. <br />
GAMBARAN KLINIS <br />
Bagian paha yang patah lebih pendek dan lebih besar <br />
dibanding dengan normal serta fragmen distal dalam posisi <br />
eksorotasi dan aduksi karena empat penyebab: <br />
1) Tanpa stabilitas longitudinal femur, otot yang melekat pada <br />
fragmen atas dan bawah berkontraksi dan paha memendek, <br />
yang menyebabkan bagian paha yang patah membengkak. <br />
2) Aduktor melekat pada fragmen distal dan abduktor pada <br />
fragmen atas. Fraktur memisahkan dua kelompok otot tersebut,<br />
yang selanjutnya bekerja tanpa ada aksi antagonis. <br />
3) Beban berat kaki memutarkan fragmen distal ke rotasi <br />
eksterna. <br />
4) Femur dikelilingi oleh otot yang mengalami laserasi oleh <br />
ujung tulang fraktur yang tajam dan paha terisi dengan darah, <br />
sehingga terjadi pembengkakan<br />
(1,2,3)<br />
. <br />
KOMPLIKASI <br />
a) Perdarahan, dapat menimbulkan kolaps kardiovaskuler. <br />
Hal ini dapat dikoreksi dengan transfusi darah yang memadai. <br />
b) Infeksi, terutama jika luka terkontaminasi dan debridemen <br />
tidak memadai. <br />
c) Non-union, lazim terjadi pada fraktur pertengahan batang <br />
femur, trauma kecepatan tinggi dan fraktur dengan interposisi <br />
jaringan lunak di antara fragmen. Fraktur yang tidak menyatu <br />
memerlukan bone grafting dan fiksasi interna. <br />
d) Malunion, disebabkan oleh abduktor dan aduktor yang be-<br />
kerja tanpa aksi antagonis pada fragmen atas untuk abduktor <br />
dan fragmen distal untuk aduktor. Deformitas varus diakibatkan <br />
oleh kombinasi gaya ini. <br />
e) Trauma arteri dan saraf jarang, tetapi mungkin terjadi<br />
(2)<br />
. <br />
PENATALAKSANAAN <br />
Pertolongan Pertama <br />
Perdarahan dari fraktur femur, terbuka atau tertutup, adalah <br />
antara 2 sampai 4 unit (1-2 liter). Jalur intravena perlu dipasang <br />
dari darah dikirim ke laboratorium untuk pemeriksaan <br />
hemoglobin dan reaksi silang. Jika tidak terjadi fraktur lainnya, <br />
kemungkinan transfusi dapat dihindari, tetapi bila timbul trauma <br />
lainnya, 2 unit darah perlu diberikan segera setelah tersedia. <br />
Fraktur terbuka biasanya terbuka dan dalam/luar dengan <br />
luka di sisi lateral atau depan paha. Debridemen luka perlu di- <br />
lakukan dengan cermat dalam ruang operasi dan semua benda <br />
asing diangkat. Jika luka telah dibersihkan secara menyeluruh,<br />
Cermin Dunia Kedokteran No. 120, 1997 49<br />
<br />
<br />
Mobilisasi lutut<br />
Mobilisasi sendi adalah suatu tehnik yang digunakan untuk menangani disfungsi sendi seperti kekakuan, hipomobilitas sendi reversibel dan nyeri. Mobilisasi merupakan gerakan pasif yang dilakukan oleh fisioterapis pada kecepatan yang cukup lambat sehingga pasien dapat menghentikan gerakan. Tehnik yang diaplikasikan dapat berupa gerakan osilasi, stakato, atau penguluran secara kontinyu untuk meningkatkan mobilitas dan mengurangi nyeri baik dengan gerakan fisiologis atau gerakan assesori. <br />
<br />
Gerakan fisiologis didasari oleh gerak osteokinamatik seperti fleksi, ekstensi, dan rotasi. Sedangkan gerakan assesori, didasari oleh gerak artrokinematik berupa traksi-distraksi, translasi, roll slide, dan manipulasi. <br />
<br />
b. Efek gerakan sendi<br />
1) Gerakan sendi akan menstimulasi aktifitas biologi dengan pengaliran cairan sinovial yang membawa nutrisi pada bagian avaskuler di kartilago sendi pada permukaan sendi dan fibrokertilago sendi.<br />
<br />
2) gerakan sendi dapat mempertahankan ekstensibilitas dan kekuatan tegangan pada jaringan artikular dan periartikular. Pada immobilisasi terjadi poliferasi lemak yang menyebabkan perlekatan intra artikular dan perubahan biokimia pada tendon, ligamen, dankapsul sendi sehingga menyebabkan kontraktur dan kelemahan ligamen.<br />
<br />
3) Impuls syaraf afferen dari reseptor sendi akan memberikan informasi ke sistem syaraf pusat yang memberikan kesadaran posisi dan gerakan.<br />
<br />
c. Indikasi<br />
1) Nyeri dan spasme otot<br />
Nyeri pada sendi dan spasme otot dapat ditangani dengan tehnik gentle joint play untuk menstimulasi efek neurofisiologi dan efek mekanik<br />
(a) Efek neurofisiologi<br />
Tehnik mobilisasi traksi osilasi menstimulasi mechanoreseptor yang dapat menghambat transmisi stimulasi nocicencoric pada level spinal cord atau brain stem.<br />
<br />
(b) Efek mekanik <br />
Tehnik mobilisasi traksi osilasi menyebabkan terjadinya pergerakan cairan sinovial yang membawa zat-zat gizi pada bagian yang bersifat avaskuler di kartilago artikular dan juga di intra artikular fibro kartilago. Tehnik mobilisasi ini membantu menjaga pertukaran zat-zat gizi serta mencegah nyeri dan efek degenerasi statik saat sendi mengalami pembengkakan atau nyeri dan keterbatasan gerak.<br />
<br />
2) Hypomobilitas sendi yang bersifat reversibel<br />
Tehnik mobilisasi traksi osilasi dapat digunakan untuk memperbaiki secara mekanik struktur jaringan yang mengalami pemendekan.<br />
<br />
3) Keterbatasan yang bersifat progresif<br />
<br />
Pada patologi jaringan yang dapat menyebabkan keterbatasan gerak secara progresif tehnik mobilisasi dapat memelihara gerakan dan memperlambat keterbatasan yang dapat terjadi.<br />
<br />
4) Immobilitas fungsional<br />
<br />
Tehnik traksi osilasi bermanfaat untuk menjaga mobilitas sendi dan gerakan yang mungkin terjadi juga mencegah terjadinya hambatan gerak yang merupakan efek dari immobilisasi.<br />
<br />
<br />
<br />
d. Kontraindikasi<br />
1) Hypermobilitas<br />
Pada hipermobilitas tidak dapat diberikan tehnik mobilisasi karena masalah yang ada pada hypermobilitas bukanlah gangguan mobilitas sendi melainkan stabilatas.<br />
2) Efusi sendi<br />
Pada sendi yang mengalami efusi tidak boleh dilakukan mobilisasi karena keterbatasan yang terjadi adalah karena penumpukan cairan dan karena adanya respon otot terhadap nyeri, bukan karena pemendekan otot ataupun kapsul ligamen.<br />
3) Inflamasi<br />
Pemberian mobilisasi pada fase inflamasi dapat menimbulkan nyeri dan memperberat kerusakan jaringan.<br />
<br />
e. Prinsip umum aplikasi mobilisasi sendi yang aman dan efektif :<br />
1) Pasien harus relax agar pemberian mobilisasi pada sendi bida meximal atau adekuat.<br />
2) Pasien harus seimbang baik pada posisi duduk ataupun berbaring.<br />
3) Terapis harus memegang atau menjaga kontak dengan pasien pada bagian yang akan ditreatmen.<br />
4) Satu bagian harus dipegang stabil atau difixasi saat bagian yang lain dimobilisasi.<br />
5) Jangan berikan tekanan pada bagian yang nyeri atau spasme, terlebih lagi pada daerah yang terdapat nyeri regang.<br />
6) Bila memungkinkam gunakan force minimum untuk mencapai peningkatan gerak suatu sendi.<br />
<br />
f. Mobilisasi roll slide fleksi-ekstensi<br />
1) Definisi <br />
Roll adalah suatu gerakan dimana perubahan jarak titik permukaan sendi lawan karakteristiknya adalah suatu tulang rolling terhadap yang lain, sedangkan slide yaitu suatu gerakan dimana hanya ada satu titik yang selalu berusaha pada permukaaan sendi lawan dan pada gerakan slide terjadi peragangan pada serabut oblique dari kapsul sendi.<br />
<br />
Mobilisasi roll slide fleksi-ekstensi pada sendi lutut merupakan salah satu bentuk mobilisasi berupa gerak pasif pada sendi lutut yang diadaptasi dari gerak fisiologis yang terjadi pada saat gerak fleksi dan ekstensi sesuai dengan osteokinematik dari sendi lutut dan pada intra artikular terdapat unsur gerak rotasi, translasi dan spin. <br />
<br />
2) Indikasi<br />
Mobilisasi roll slide digunakan untuk memobilisasi sendi apabila terjadi keterbatasan secara mekanik atau pemendekan capsuloligamentair dan dapat memelihara ROM sendi juga meminimalisir nyeri.<br />
<br />
3) Dosis dan pengguanaan<br />
a) Derajat I : Roll slide dengan amplitudo kecil diaplikasikan paralel pada permukaan sendi dan dilakukan pada awal derajat gerakan. Digunakan untuk mengurangi nyeri<br />
b) Derajat II : Tulang bergerak paralel ke permukaan sendi hingga terjadi slack dan jaringan sekitar sendi menegang. Digunakan untuk mengurangi nyeri <br />
c) Derajat III : Tulang bergerak paralel ke permukaan sendi dengan amplitudo cukup besar untuk mengulur kapsul sendi dan struktur periartikular disekitar sendi<br />
<br />
4) Mekanisme peningkatan ROM dengan mobilisasi roll slide fleksi ekstensi pada osteoartritis lutut<br />
<br />
Keterbatasan gerak yang ditandai dengan penurunan ROM sendi lutut pada osteoartrosis terjadi akibat adanya osteofit dan retriksi sendi karena adanya abnormal cross links pada kapsul ligamen sendi lutut. Selain itu jaringan disekitar sendi juga ikut terpengaruh dimana otot menjadi spasme dan mikrosirkulasi terganggu.<br />
Pemberian mobilisasi roll slide akan menstimulasi aktifitas biologi dengan pengaliran cairan sinovial yang membawa nutrisi pada bagian avaskuler di kartilago sendi pada permukaan sendi dan fibrokertilago sendi. Gerakan yang berulang-ulang pada mobilisasi roll slide akan meningkatkan mikrosirkulasi dan cairan yang keluar akan lebih banyak sehingga kadar air dan matriks pada jaringan meningkat dan jaringan lebih elastis. Selain itu pemberian roll slide yang didalamnya terdapat penggabungan unsur gerak translasi dengan gerak fisiologis dari sendi lutut baik fleksi maupun ekstensi dapat menambah dan mempertahankan elastisitas dari kapsul, ligamen, juga otot, dimana pada saat roll slide ke arah fleksi maka kapsul ligamen bagian anterior, posterior, medial, lateral dan juga mencapai serabut oblique pada jaringan ikat akan terulur dan otot bagian anterior juga terulur, kemudian meluruskan waving yang terjadi akibat abnormal cross links pada kapsul ligamen, dan dorongan pada tibia kearah fleksi dapat menambah ROM fleksi lutut. Begitu juga sebaliknya pada roll slide ke arah ekstensi akan mengulur kapsul ligamen dan otot bagian posterior, anterior, medial, lateral dan juga mencapai serabut oblique pada jaringan ikat akan terulur dan menambah ROM ekstensi sendi lutut.<br />
<br />
5) Prosedur pelaksanaan mobilisasi roll slide fleksi-ekstensi<br />
a) Arah fleksi<br />
(1) Berikan penjelasan pada pasien sebelum melakukan terapi.<br />
(2) Pasien tidur telungkup <br />
(3) Terapist berada didekat tungkai yang akan di terapi<br />
(4) Tangan kiri terapist memfiksasi di bagian distal tungkai bawah dan tangan kanan terapis ditempatkan pada bagian depan dari proximal tibia.<br />
(5) Posisikan tungkai semi fleksi lutut<br />
(6) Kemudian lakukan mobilisasi roll slide garde dan III dengan cara tangan kiri terapis memberi tarikan searah sumbu longitudinal selama gerakan dan tangan kanan terapis melakukan dorongan pada tibia ke arah fleksi <br />
(7) Pada akhir fleksi lakukan stretch minimal 6 detik setelah itu berikan istirahat sampai 4 detik kemudian lakukan kembali. Pengulangan gerakan tersebut 10 kali.<br />
<br />
FRAKTUR RADIUS DISTAL<br />
<br />
<br />
Fraktur radius distal adalah salah satu dari macam fraktur yang biasa terjadi pada pergelangan tangan. Umumnya terjadi karena jatuh dalam keadaan tangan menumpu dan biasanya terjadi pada anak-anak dan lanjut usia. Bila seseorang jatuh dengan tangan yang menjulur, tangan akan tiba-tiba menjadi kaku, dan kemudian menyebabkan tangan memutar dan menekan lengan bawah. Jenis luka yang terjadi akibat keadaan ini tergantung usia penderita. Pada anak-anak dan lanjut usia, akan menyebabkan fraktur tulang radius.<br />
<br />
Fraktur radius distal merupakan 15 % dari seluruh kejadian fraktur pada dewasa. Abraham Colles adalah orang yang pertama kali mendeskripsikan fraktur radius distalis pada tahun 1814 dan sekarang dikenal dengan nama fraktur Colles. (Armis, 2000). Ini adalah fraktur yang paling sering ditemukan pada manula, insidensinya yang tinggi berhubungan dengan permulaan osteoporosis pasca menopause. Karena itu pasien biasanya wanita yang memiliki riwayat jatuh pada tangan yang terentang. (Apley & Solomon, 1995)<br />
Biasanya penderita jatuh terpeleset sedang tangan berusaha menahan badan dalam posisi terbuka dan pronasi. Gaya akan diteruskan ke daerah metafisis radius distal yang akan menyebabkan patah radius 1/3 distal di mana garis patah berjarak 2 cm dari permukaan persendian pergelangan tangan. Fragmen bagian distal radius terjadi dislokasi ke arah dorsal, radial dan supinasi. Gerakan ke arah radial sering menyebabkan fraktur avulsi dari prosesus styloideus ulna, sedangkan dislokasi bagian distal ke dorsal dan gerakan ke arah radial menyebabkan subluksasi sendi radioulnar distal (Reksoprodjo, 1995)<br />
Momok cedera tungkai atas adalah kekakuan, terutama bahu tetapi kadang-kadang siku atau tangan. Dua hal yang harus terus menerus diingat : (1) pada pasien manula, terbaik untuk tidak mempedulikan fraktur tetapi berkonsentrasi pada pengembalian gerakan; (2) apapun jenis cedera itu, dan bagaimanapun cara terapinya, jari harus mendapatkan latihan sejak awal. (Apley & Solomon, 1995)<br />
Melihat masih cukup tingginya angka kejadian fraktur Colles maka perlu diketahui insidensi fraktur Colles di RSUD Saras Husada Purworejo, agar dapat dilakukan perawatan dan penanganan secara intensif pada tiap-tiap kasusnya.<br />
<br />
A. Definisi<br />
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan/atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa. (Sjamsuhidayat & de Jong, 1998). Cedera yang digambarkan oleh Abraham Colles pada tahun 1814 adalah fraktur melintang pada radius tepat di atas pergelangan tangan, dengan pergeseran dorsal fragmen distal. (Apley & Solomon, 1995)<br />
<br />
B. Anatomi dan Kinesiologi<br />
Radius bagian distal bersendi dengan tulang karpus yaitu tulang lunatum dan navikulare ke arah distal, dan dengan tulang ulna bagian distal ke arah medial. Bagian distal sendi radiokarpal diperkuat dengan simpai di sebelah volar dan dorsal, dan ligament radiokarpal kolateral ulnar dan radial. Antara radius dan ulna selain terdapat ligament dan simpai yang memperkuat hubungan tersebut, terdapat pula diskus artikularis, yang melekat dengan semacam meniskus yang berbentuk segitiga, yang melekat pada ligamen kolateral ulna. Ligamen kolateral ulna bersama dengan meniskus homolognya dan diskus artikularis bersama ligament radioulnar dorsal dan volar, yang kesemuanya menghubungkan radius dan ulna, disebut kompleks rawan fibroid triangularis (TFCC = triangular fibro cartilage complex) (Sjamsuhidayat & de Jong, 1998)<br />
Gerakan sendi radiokarpal adalah fleksi dan ekstensi pergelangan tangan serta gerakan deviasi radius dan ulna. Gerakan fleksi dan ekstensi dapat mencapai 90 derajat oleh karena adanya dua sendi yang bergerak yaitu sendi radiolunatum dan sendi lunatum-kapitatum dan sendi lain di korpus. Gerakan pada sendi radioulnar distal adalah gerak rotasi. (Sjamsuhidayat & de Jong, 1998)<br />
<br />
Gambar 1a. Sudut normal sendi radiokarpal di bagian ventral (tampak lateral)<br />
<br />
Gambar 1b. Sudut normal yang dibentuk oleh ulna terhadap sendi radiokarpal <br />
<br />
Sendi radiokarpal normalnya memiliki sudut 1 - 23 derajat pada bagian palmar (ventral) seperti diperlihatkan pada gambar 1a. Fraktur yang melibatkan angulasi ventral umumnya berhasil baik dalam fungsi, tidak seperti fraktur yang melibatkan angulasi dorsal sendi radiokarpal yang pemulihan fungsinya tidak begitu baik bila reduksinya tidak sempurna. Gambar 1b memperlihatkan sudut normal yang dibentuk tulang ulna terhadap sendi radiokarpal, yaitu 15 - 30 derajat. Evaluasi terhadap angulasi penting dalam perawatan fraktur lengan bawah bagian distal, karena kegagalan atau reduksi inkomplit yang tidak memperhitungkan angulasi akan menyebabkan hambatan pada gerakan tangan oleh ulna. (Simon & Koenigsknecht, 1987)<br />
<br />
C. Patofisiologi<br />
Trauma yang menyebabkan fraktur di daerah pergelangan tangan biasanya merupakan trauma langsung, yaitu jatuh pada permukaan tangan sebelah volar atau dorsal. Jatuh pada permukaan tangan sebelah volar menyebabkan dislokasi fragmen fraktur sebelah distal ke arah dorsal. Dislokasi ini menyebabkan bentuk lengan bawah dan tangan bila dilihat dari samping menyerupai garpu. (Sjamsuhidayat & de Jong, 1998) <br />
Benturan mengena di sepanjang lengan bawah dengan posisi pergelangan tangan berekstensi. Tulang mengalami fraktur pada sambungan kortikokanselosa dan fragmen distal remuk ke dalam ekstensi dan pergeseran dorsal. (Apley & Solomon, 1995) Garis fraktur berada kira-kira 3 cm proksimal prosesus styloideus radii. Posisi fragmen distal miring ke dorsal, overlapping dan bergeser ke radial, sehingga secara klasik digambarkan seperti garpu terbalik (dinner fork deformity). (Armis, 2000)<br />
<br />
D. Klasifikasi <br />
Ada banyak sistem klasifikasi yang digunakan pada fraktur ekstensi dari radius distal. Namun yang paling sering digunakan adalah sistem klasifikasi oleh Frykman. Berdasarkan sistem ini maka fraktur Colles dibedakan menjadi 4 tipe berikut : (Simon & Koenigsknecht, 1987)<br />
Tipe IA : Fraktur radius ekstra artikuler<br />
Tipe IB : Fraktur radius dan ulna ekstra artikuler<br />
Tipe IIA : Fraktur radius distal yang mengenai sendi radiokarpal<br />
Tipe IIB : Fraktur radius distal dan ulna yang mengenai sendi radiokarpal<br />
Tipe IIIA : Fraktur radius distal yang mengenai sendi radioulnar<br />
Tipe IIIB : Fraktur radius distal dan ulna yang mengenai sendi radioulnar<br />
Tipe IVA : Fraktur radius distal yang mengenai sendi radiokarpal dan sendi <br />
radioulnar<br />
Tipe IVB : Fraktur radius distal dan ulna yang mengenai sendi radiokarpal dan <br />
sendi radioulnar<br />
<br />
E. Trauma/Kelainan yang Berhubungan<br />
Fraktur ekstensi radius distal sering terjadi berbarengan dengan trauma atau luka yang berhubungan, antara lain : (Simon & Koenigsknecht, 1987)<br />
1. Fraktur prosesus styloideus (60 %)<br />
2. Fraktur collum ulna<br />
3. Fraktur carpal<br />
4. Subluksasi radioulnar distal<br />
5. Ruptur tendon fleksor<br />
6. Ruptur nervus medianus dan ulnaris<br />
<br />
F. Manifestasi Klinis<br />
Kita dapat mengenali fraktur ini (seperti halnya Colles jauh sebelum radiografi diciptakan) dengan sebutan deformitas garpu makan malam, dengan penonjolan punggung pergelangan tangan dan depresi di depan. Pada pasien dengan sedikit deformitas mungkin hanya terdapat nyeri tekan lokal dan nyeri bila pergelangan tangan digerakkan. (Apley & Solomon, 1995) Selain itu juga didapatkan kekakuan, gerakan yang bebas terbatas, dan pembengkakan di daerah yang terkena. <br />
<br />
Gambar 3. Dinner fork deformity<br />
<br />
<br />
<br />
G. Diagnosis<br />
Diagnosis fraktur dengan fragmen terdislokasi tidak menimbulkan kesulitan. Secara klinis dengan mudah dapat dibuat diagnosis patah tulang Colles. Bila fraktur terjadi tanpa dislokasi fragmen patahannya, diagnosis klinis dibuat berdasarkan tanda klinis patah tulang. (Sjamsuhidayat & de Jong, 1998)<br />
Pemeriksaan radiologik juga diperlukan untuk mengetahui derajat remuknya fraktur kominutif dan mengetahui letak persis patahannya (Sjamsuhidayat & de Jong, 1998). Pada gambaran radiologis dapat diklasifikasikan stabil dan instabil. Stabil bila hanya terjadi satu garis patahan, sedangkan instabil bila patahnya kominutif. Pada keadaan tipe tersebut periosteum bagian dorsal dari radius 1/3 distal tetap utuh. (Reksoprodjo, 1995). Terdapat fraktur radius melintang pada sambungan kortikokanselosa, dan prosesus stiloideus ulnar sering putus. Fragmen radius (1) bergeser dan miring ke belakang, (2) bergeser dan miring ke radial, dan (3) terimpaksi. Kadang-kadang fragmen distal mengalami peremukan dan kominutif yang hebat (Apley & Solomon, 1995)<br />
<br />
Gambar 4. (a) deformitas garpu makan malam, (b) fraktur tidak masuk dalam sendi pergelangan tangan, (c) Pergeseran ke belakang dan ke radial<br />
<br />
Proyeksi AP dan lateral biasanya sudah cukup untuk memperlihatkan fragmen fraktur. Dalam evaluasi fraktur, beberapa pertanyaan berikut perlu dijawab:<br />
1. Adakah fraktur ini juga menyebabkan fraktur pada prosesus styloideus ulna atau pada collum ulna ?<br />
2. Apakah melibatkan sendi radioulnar ?<br />
3. Apakah melibatkan sendi radiokarpal ?<br />
Proyeksi lateral perlu dievaluasi untuk konfirmasi adanya subluksasi radioulnar distal. Selain itu, evaluasi sudut radiokarpal dan sudut radioulnar juga diperlukan untuk memastikan perbaikan fungsi telah lengkap. (Simon & Koenigsknecht, 1987)<br />
<br />
H. Penatalaksanaan<br />
- Fraktur tak bergeser (atau hanya sedikit sekali bergeser), fraktur dibebat dalam slab gips yang dibalutkan sekitar dorsum lengan bawah dan pergelangan tangan dan dibalut kuat dalam posisinya.<br />
- Fraktur yang bergeser harus direduksi di bawah anestesi. Tangan dipegang dengan erat dan traksi diterapkan di sepanjang tulang itu (kadang-kadang dengan ekstensi pergelangan tangan untuk melepaskan fragmen; fragmen distal kemudian didorong ke tempatnya dengan menekan kuat-kuat pada dorsum sambil memanipulasi pergelangan tangan ke dalam fleksi, deviasi ulnar dan pronasi. Posisi kemudian diperiksa dengan sinar X. Kalau posisi memuaskan, dipasang slab gips dorsal, membentang dari tepat di bawah siku sampai leher metakarpal dan 2/3 keliling dari pergelangan tangan itu. Slab ini dipertahankan pada posisinya dengan pembalut kain krep. Posisi deviasi ulnar yang ekstrim harus dihindari; cukup 20 derajat saja pada tiap arah. <br />
<br />
Gambar 5. Reduksi : (a) pelepasan impaksi, (b) pronasi dan pergeseran ke depan, (c) deviasi ulnar<br />
Pembebatan : (d) penggunaan sarung tangan, (b) slab gips yang basah, (f) slab yang dibalutkan dan reduksi dipertahankan hingga gips mengeras<br />
Lengan tetap ditinggikan selama satu atau dua hari lagi; latihan bahu dan jari segera dimulai setelah pasien sadar. Kalau jari-jari membengkak, mengalami sianosis atau nyeri, harus tidak ada keragu-raguan untuk membuka pembalut. <br />
Setelah 7-10 hari dilakukan pengambilan sinar X yang baru; pergeseran ulang sering terjadi dan biasanya diterapi dengan reduksi ulang; sayangnya, sekalipun manipulasi berhasil, pergeseran ulang sering terjadi lagi. <br />
Fraktur menyatu dalam 6 minggu dan, sekalipun tak ada bukti penyatuan secara radiologi, slab dapat dilepas dengan aman dan diganti dengan pembalut kain krep sementara.<br />
<br />
Gambar 6. (a) Film pasca reduksi, (b) gerakan-gerakan yang perlu dipraktekkan oleh pasien secara teratur<br />
<br />
- Fraktur kominutif berat dan tak stabil tidak mungkin dipertahankan dengan gips; untuk keadaan ini sebaiknya dilakukan fiksasi luar, dengan pen proksimal yang mentransfiksi radius dan pen distal, sebaiknya mentransfiksi dasar-dasar metakarpal kedua dan sepertiga. (Apley & Solomon, 1995)<br />
Fraktur Colles, meskipun telah dirawat dengan baik, seringnya tetap menyebabkan komplikasi jangka panjang. Karena itulah hanya fraktur Colles tipe IA atau IB dan tipe IIA yang boleh ditangani oleh dokter IGD. Selebihnya harus dirujuk sebagai kasus darurat dan diserahkan pada ahli orthopedik. Dalam perawatannya, ada 3 hal prinsip yang perlu diketahui, sebagai berikut :<br />
• Tangan bagian ekstensor memiliki tendensi untuk menyebabkan tarikan dorsal sehingga mengakibatkan terjadinya pergeseran fragmen<br />
• Angulasi normal sendi radiokarpal bervariasi mulai dari 1 sampai 23 derajat di sebelah palmar, sedangkan angulasi dorsal tidak<br />
• Angulasi normal sendi radioulnar adalah 15 sampai 30 derajat. Sudut ini dapat dengan mudah dicapai, tapi sulit dipertahankan untuk waktu yang lama sampai terjadi proses penyembuhan kecuali difiksasi<br />
Bila kondisi ini tidak dapat segera dihadapkan pada ahli orthopedik, maka beberapa hal berikut dapat dilakukan :<br />
1. Lakukan tindakan di bawah anestesi regional<br />
2. Reduksi dengan traksi manipulasi. Jari-jari ditempatkan pada Chinese finger traps dan siku dielevasi sebanyak 90 derajat dalam keadaan fleksi. Beban seberat 8-10 pon digantungkan pada siku selama 5-10 menit atau sampai fragmen disimpaksi.<br />
3. Kemudian lakukan penekanan fragmen distal pada sisi volar dengan menggunakan ibu jari, dan sisi dorsal tekanan pada segmen proksimal menggunakan jari-jari lainnya. Bila posisi yang benar telah didapatkan, maka beban dapat diturunkan.<br />
4. Lengan bawah sebaiknya diimobilisasi dalam posisi supinasi atau midposisi terhadap pergelangan tangan sebanyak 15 derajat fleksi dan 20 derajat deviasi ulna.<br />
5. Lengan bawah sebaiknya dibalut dengan selapis Webril diikuti dengan pemasangan anteroposterior long arms splint<br />
6. Lakukan pemeriksaan radiologik pasca reduksi untuk memastikan bahwa telah tercapai posisi yang benar, dan juga pemeriksaan pada saraf medianusnya<br />
7. Setelah reduksi, tangan harus tetap dalam keadaan terangkat selama 72 jam untuk mengurangi bengkak. Latihan gerak pada jari-jari dan bahu sebaiknya dilakukan sedini mungkin dan pemeriksaan radiologik pada hari ketiga dan dua minggu pasca trauma. Immobilisasi fraktur yang tak bergeser selama 4-6 minggu, sedangkan untuk fraktur yang bergeser membutuhkan waktu 6-12 minggu.<br />
<br />
Gambar 7. Reduksi pada fraktur Colles<br />
<br />
I. Komplikasi<br />
Dini<br />
Sirkulasi darah pada jari harus diperiksa; pembalut yang menahan slab perlu dibuka atau dilonggarkan<br />
Cedera saraf jarang terjadi, dan yang mengherankan tekanan saraf medianus pada saluran karpal pun jarang terjadi. Kalau hal ini terjadi, ligament karpal yang melintang harus dibelah sehingga tekanan saluran dalam karpal berkurang.<br />
Distrofi refleks simpatetik mungkin amat sering ditemukan, tetapi untungnya ini jarang berkembang lengkap menjadi keadaan atrofi Sudeck. Mungkin terdapat pembengkakan dan nyeri tekan pada sendi-sendi jari, waspadalah jangan sampai melalaikan latihan setiap hari. Pada sekitar 5 % kasus, pada saat gips dilepas tangan akan kaku dan nyeri serta terdapat tanda-tanda ketidakstabilan vasomotor. Sinar X memperlihatkan osteoporosis dan terdapat peningkatan aktivitas pada scan tulang<br />
Lanjut<br />
Malunion sering ditemukan, baik karena reduksi tidak lengkap atau karena pergeseran dalam gips yang terlewatkan. Penampilannya buruk, kelemahan dan hilangnya rotasi dapat bersifat menetap. Pada umumnya terapi tidak diperlukan. Bila ketidakmampuan hebat dan pasiennya relatif lebih muda, 2,5 cm bagian bawah ulna dapat dieksisi untuk memulihkan rotasi, dan deformitas radius dikoreksi dengan osteotomi.<br />
Penyatuan lambat dan non-union pada radius tidak terjadi, tetapi prosesus styloideus ulnar sering hanya diikat dengan jaringan fibrosa saja dan tetap mengalami nyeri dan nyeri tekan selama beberapa bulan.<br />
Kekakuan pada bahu, karena kelalaian, adalah komplikasi yang sering ditemukan. Kekakuan pergelangan tangan dapat terjadi akibat pembebatan yang lama.<br />
Atrofi Sudeck , kalau tidak diatasi, dapat mengakibatkan kekakuan dan pengecilan tangan dengan perubahan trofik yang berat.<br />
Ruptur tendon (pada ekstensor polisis longus) biasanya terjadi beberapa minggu setelah terjadi fraktur radius bagian bawah yang tampaknya sepele dan tidak bergeser. Pasien harus diperingatkan akan kemungkinan itu dan diberitahu bahwa terapi operasi dapat dilakukan. (Apley & Solomon, 1995)<br />
<br />
<br />
setelah debridemen luka dapat ditutup; tetapi bila terkontami-<br />
nasi, luka lebih baik dibalut dan dirawat dengan jahitan primer <br />
yang ditunda (delayed primary suture). Antibiotika dan anti- <br />
tetanus sebaiknya diberikan, seperti pada setiap fraktur terbuka<br />
(1)<br />
. <br />
Penatalaksanaan Fraktur <br />
Penatalaksanaan fraktur ini mengalami banyak perubahan <br />
dalam waktu sepuluh tahun terakhir ini. Traksi dan spica cast-<br />
ing atau cast bracing mempunyai banyak kerugian dalam hal <br />
memerlukan masa berbaring dan rehabilitasi yang lama, meski- <br />
pun merupakan penatalaksanaan non-invasif pilihan untuk anak-<br />
anak. Oleh karena itu, tindakan ini tidak banyak dilakukan pada <br />
orang dewasa<br />
(4)<br />
. <br />
Bila keadaan penderita stabil dan luka telah diatasi, fraktur <br />
dapat diimobilisasi dengan salah satu dan empat cara berikut <br />
ini: <br />
1) Traksi. <br />
2) Fiksasi interna. <br />
3) Fiksasi eksterna. <br />
4) Cast bracing. <br />
Traksi <br />
Comminuted fracture dan fraktur yang tidak sesuai untuk <br />
intramedullary nailing paling baik diatasi dengan manipulasi di <br />
bawah anestesi dan balanced sliding skeletal traction yang <br />
dipasang melalui tibial pin. <br />
Traksi longitudinal yang memadai diperlukan selama 24 jam <br />
untuk mengatasi spasme otot dan mencegah pemendekan, dan <br />
fragmen harus ditopang di posterior untuk mencegah peleng- <br />
kungan. Enam belas pon biasanya cukup, tetapi penderita yang <br />
gemuk memerlukan beban yang lebih besar dari penderita yang <br />
kurus membutuhkan beban yang lebih kecil. Lakukan pe- <br />
meriksaan radiologis setelah 24 jam untuk mengetahui apakah <br />
berat beban tepat; bila terdapat overdistraction, berat beban <br />
dikurangi, tetapi jika terdapat tumpang tindih, berat ditambah. <br />
Pemeriksaan radiologi selanjutnya perlu dilakukan dua kali <br />
seminggu selama dua minggu yang pertama dan setiap minggu <br />
sesudahnya untuk memastikan apakah posisi dipertahankan. Jika <br />
hal ini tidak dilakukan, fraktur dapat terselip perlahan-lahan dan<br />
menyatu dengan posisi yang buruk. <br />
Fiksasi Interna <br />
Intramedullary nail ideal untuk fraktur transversal, tetapi <br />
untuk fraktur lainnya kurang cocok. Fraktur dapat dipertahankan <br />
lurus dan terhadap panjangnya dengan nail, tetapi fiksasi <br />
mungkin tidak cukup kuat untuk mengontrol rotasi. Nailing <br />
diindikasikan jika hasil pemeriksaan radiologi memberi kesan <br />
bahwa jaringan lunak mengalami interposisi di antara ujung <br />
tulang karena hal ini hampir selalu menyebabkan non-union. <br />
Keuntungan intramedullary nailing adalah dapat mem- <br />
berikan stabilitas longitudinal serta kesejajaran (alignment) serta <br />
membuat penderita dápat dimobilisasi cukup cepat untuk me- <br />
ninggalkan rumah sakit dalam waktu 2 minggu setelah fraktur. <br />
Kerugian meliput anestesi, trauma bedah tambahan dan risiko <br />
infeksi. <br />
Closed nailing memungkinkan mobilisasi yang tercepat <br />
dengan trauma yang minimal, tetapi paling sesuai untuk fraktur <br />
transversal tanpa pemendekan. Comminuted fracture paling baik <br />
dirawat dengan locking nail yang dapat mempertahankan pan-<br />
jang dan rotasi. <br />
Fiksasi Eksternat <br />
Bila fraktur yang dirawat dengan traksi stabil dan massa <br />
kalus terlihat pada pemeriksaan radiologis, yang biasanya pada <br />
minggu ke enam, cast brace dapat dipasang. Fraktur dengan <br />
intramedullary nail yang tidak memberi fiksasi yang rigid juga <br />
cocok untuk tindakan ini<br />
(2)<br />
. <br />
KEPUSTAKAAN <br />
1. Djoko Simbardjo. Fraktur Batang Femur. Dalam: Kumpulan Kuliah Ilmu <br />
Bedah, Bagian Bedah FKUI. <br />
2. Dandy DJ. Essential Orthopaedics and Trauma. Edinburg, London, <br />
Melborue, New York: Churchill Livingstone, 1989. <br />
3. Salter/ Textbook of Disorders and injuries of the Musculoskeletal System. <br />
2nd ed. Baltimore/London: Willians & Wilkins, 1983. <br />
4. Rosenthal RE. Fracture and Dislocation of the Lower Extremity. In: Early <br />
Care of the Injured Patient, ed IV. Toronto, Philadelphia: B.C. Decker, <br />
1990Puspo Widianotohttp://www.blogger.com/profile/18352577488779133633noreply@blogger.com0